Friday 17 December 2010

ggk

. Pengertian
Gagal ginjal adalah jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Brunner dan Suddarth 2001). Gagal ginjal kronik (GGK) adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia sebagai akibat dari retensi urea dan tertimbunnya sisa produksi akhir metabolisme protein dalam darah yang seharusnya dapat di eksresikan melalui urine (Mansjoer, A. 1999). Gagal ginjal kronik adalah penurunan faal ginjal yang terjadi secara berangsur-angsur dan umumnya tidak dapat pulih atau irreversible (Sidabutar, 1992).
2. Anatomi dan Fisiologi
Menurut syaifudin (1997), ginjal dapat di uraikan sebagai berikut :
Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak dibagian belakang dari kavum abdominalis dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuknya seperti biji kacang, jumlahnya dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.

Fungsi ginjal terdiri dari :
1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zaz-zat toksis atau racun.
2) Mempertahankan keseimbangan cairan.
3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
4) Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh.
5) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua, lapisan luar terdapat lapisan korteks (subtansi kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medula (substansi medulalis). Berbentuk kerucut yang disebut yang disebut renal pyramid, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut kapila renalis. Tiap-tiap pyramid dilapisi satu dengan yang lain oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah. Garis-garis yang terlihat pada pyramid disebut tubulus nofron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari : glomerulus, tubulus proksimal (tubulus kontorti satu), gulund hendle, tubulus distal (tubuli kontorti dua), dan tubulus urinaris (papila vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter, arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badan malpigi yang disebut glomerulus, pembuluh darah aferen yang bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan, arteri renalis bercabang menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri arkuata, arteri interloburalis yang berada ditepi ginjal bercabang menjadi kapiler menjadi gumpalan-gumpalan yang disebut glomerulus. Glomerulus dikelilingi oleh alat yang disebut simpai bowman, disini terjadi penyaringan pertama dan kapiler darah yang meninggalkan simpai bowman kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena kava inverior.
Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. Diatas ginjal terdapat kelenjar suprarenalis, kelenjar ini merupakan kelenjar buntu yang menghasilkan dua macam hormon yaitu hormon adrenalis dan hormon kortison. Adrenalis dihasilkan oleh medula.
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal secara perlahan dan terus-menerus dalam waktu lebih dari tiga bulan untuk membuang racun, mengatur jumlah air seni dan mineral. Di indonesia secara umum, dua diantara 10.000 penduduk terkena kelainan ini. Kendati begitu, bila indonesia semakin maju (dikalangan menengah dan atas), mungkin saja kasus ini semakin meningkat. Penyebab utama penyakit ini adalah kencing manis dan darah tinggi. Kurang lebih dari sepertiga kasus gagal ginjal kronik ini disebabkan oleh kelainan pada saringan ginjal, sumbatan pada saluran kencing, penyakit kista ginjal, batu ginjal dan infeksi,kelainan ginjal akibat obat penghilang rasa sakit. Gejala awalnya adalah penurunan berat badan, mual dan muntah, lemas, lesu, sakit kepala dan gatal-gatal seluruh badan. Gejala ini kemudian berkembang lebih lanjut menjadi jumlah air seni yang bertambah atau berkurang , sering kencing waktu malam, tubuh mudah berdarah, mual, penurunan kesadaran berupa lemas, mengantuk dan tidak bergairah, bingung, keram otot, kejang otot, pucat, bau nafas, nafsu makan berkurang, darah tinggi dan lain-lain (www.sinarharapan.co.id., 2003).
Batasan gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal lebih dari tiga bulan, yaitu kelainan struktur dan fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan kelainan patologik atau pertanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan, laju filtrasi glomerolus kurang dari 60 ml/mnt/1,73 m2 selama ± 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Jadi pada penyakit gagal ginjal kronik terdapat kelainan patologik ginjal, atau adanya kelainan urin, umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin, selama 3 bulan atau lebih yang tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus. Selain itu terdapat penyakit gagal ginjal kronik dimana laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/mnt/1,73 m2, meskipun tidak ditemukan kelainan pada urin, namun penurunan separuh fungsi ginjal tersebut bisa menimbulkan komplikasi penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dan komplikasi kardiovaskuler (www.sapri.blog-city.com.2005)

3. Etiologi
Menurut brunner dan lazarus dalam Wilson (1995), penyebab GGK paling banyak di New England adalah sebagai berikut : Glomerulonefritis kronik (24%), Nefropati diabetik (15%), Nefrosklerosis hipertensif (9%), penyakit ginjal polikistik (8%), dan pielonefritis kronik dan nefritis intertisial lain (8%).
Menurut brunner dan suddarth (2001) lansia merupakan kelompok yang paling berkembang cepat untuk mengalami penyakit GGK. Kondisi ini terjadi seiring dengan jalannya proses penuaan, sehingga menyebabkan penurunan fungsi organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit sistemik yang merupakan factor penyebab GGK.
Sedangkan menurut Wilson, ada 4 faktor utama dalam perkembangan gagal ginjal kronik yaitu, usia, ras, jenis kelamin dan riwayat keluarga. Insiden gagal ginjal kronik semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Secara keseluruhan, insidensi gagal ginjal kronik lebih besar terjadi pada laki-laki (56,3%) dari pada perempuan (43,7%), walaupun penyakit sistemik tertentu yang menyebabkan gagal ginjal kronik (seperti diabetes mellitus tipe 2 dan SLE) lebih sering terjadi pada perempuan.
Sebab-sebab gagal ginjal lronik yang sering ditemukan menurut Wilson (1995). Dapat dikelompokkan dalam 8 (delapan) klasifikasi yaitu sebagai berikut

4. Patofisiologi
Menurut Wilson (1999) ada dua pendekatan yang biasanya dilakukan untukmenjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron tubuh terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda. Stadium pertama dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini, kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) normal, dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal ini hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut. Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal. Dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN dan kreatinin serum meningkat melebihi batas normal. Pada tahap ini pula gejala nokturia dan poliuria mulai muncul. Stdium ketiga dan stadium akhir gagal ginjal progresf disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Pada stadium ini penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karna ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam darah.
Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh. Yang berpendapat bahwa, bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Ureum akan timbul bilamana jumlah nefron sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat di pertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini paling berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif. Yaiti kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh walaupun ada penurunan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) yang nyata.

5. Gejala Klinis
Menurut Wilson (1999) perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi glomerulus ( GFR ) sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah ( BUN ) dengan rusaknya masa nefron secara progresif oleh penyakit gagal ginjal kronik.
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dibagi menjadi tiga bagian :
a. Stadium pertama yang dinamakan penurunan cadangan ginjal.
Selama ini stadium kreatinin dan kadar BUN normal, dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal ini hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada gagal ginjal tersebut, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti.
b. Stadium kedua yang disebut insufisiensi ginjal
Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal, pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nocturia ( terbangun dari tidur pada malam hari untuk buang air kecil ) dan polyuria ( ekskresi urin yang berlebihan ) mulai timbul. Polyuria diakibatkan oleh kegagalan pemekatan. Gejala ini timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba- tiba : Nocturia ( berkemih dimalam hari ) didefinisikan sebagai gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kali dimalam hari.
c. Stadium ketiga disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila 90 % dari masa nefron telah hancur atau banyak sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oligurik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml perhari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Pada stadium akhir ini penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapatkan pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis.


6. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer ( 1999 ) pentalaksanaan pasien pada gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1. Tentukan tatalaksana penyebabnya
2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
3. Diet tinggi kalori dan rendah protein
4. Kontrol hipertensi
5. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
6. Deteksi dini dan tanda infeksi.
B. Konsep Teori Usia.
Usia adalah ulang tahun terakhir seseorang yang dihitung dalam tahun, semakin tinggi usia seseorang, semakin tinggi resikonya terkena GGK.
C. Konsep Teori Jenis Kelamin.
Jenis kelamin adalah identitas biologis seseorang. Pria lebih beresiko tinggi terkena GGK, walaupun penyakit sistemik tertentu yang menyebabkan GGK seperti diabetes mellitus tipe 2 lebih sering terjadi pada perempuan.

chikungunya

Demam Chikungunya
1. Pengertian
Demam chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes. Berbeda dengan demam berdarah dengue, pada demam chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan hebat, syok, maupun kematian. Distribusi geografis penyakit ini meliputi daerah tropis Subsahara Afrika, Asia, serta Amerika Selatan. Manifestasi klinisnya berlangsung antara 3-10 hari, yang ditandai oleh demam, nyeri sendi, nyeri otot, ruam makulopapuler, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, limfadenopati servikal, dan fotofobia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penyakit ini bersifat self-limiting, sehingga tidak ada terapi spesifik, hanya suportif dan simtomatik. Sampai sekarang belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk penyakit ini. Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memberantas nyamuk vektornya
Sepanjang tahun 2007 hingga awal tahun 2008 ini, selain merebak kasus demam berdarah dengue di sejumlah wilayah Indonesia, masyarakat direpotkan pula dengan ledakan kasus demam chikungunya. Penyebab penyakit ini adalah virus chikungunya (Chikungunya virus/CHIKV), yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang juga menularkan penyakit demam berdarah dengue. Demam chikungunya termasuk penyakit yang ringan. Manifestasi kliniknya menyerupai infeksi virus dengue, namun pada demam chikungunya tidak terjadi perdarahan hebat, renjatan (syok), maupun kematian. Akan tetapi karena kejadiannya tersebar luas maka demam chikungunya menimbulkan angka kesakitan dan kerugian ekonomi yang tinggi.
Kata chikungunya berasal dari bahasa Swahili (suatu suku bangsa di Afrika), yang berarti (posisi tubuhnya) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi (artralgia) yang hebat. Nyeri sendi ini terutama terjadi pada lutut, pergelangan kaki, serta persendian tangan dan kaki. Tidak ada terapi khusus untuk infeksi virus ini. Penyakit biasanya sembuh sendiri (self-limiting disease), walaupun rasa nyeri dapat bertahan selama berhari-hari sampai berbulanbulan.
2. Epidemiologi
Distribusi geografis demam chikungunya saat ini meliputi daerah tropis Subsahara Afrika (termasuk Afrika Barat, Tengah dan Selatan), Asia, serta Amerika Selatan. Berbagai wabah demam chikungunya dilaporkan terjadi selama abad ke-20 lalu. Infeksi chikungunya juga terdokumentasi secara serologis di Afrika, India, dan Asia Tenggara. Walaupun epidemi penyakit dengan demam, rash, dan nyeri sendi yang menyerupai demam chikungunya telah dilaporkan terjadi sejak tahun 1824 di India dan berbagai tempat lainnya di dunia, akan tetapi demam chikungunya baru diidentifikasi pada tahun 1952 oleh Marion Robinson dan WHR Lumsden, saat terjadi wabah di sepanjang perbatasan antara Tanzania (erstwhile Tanganyika) dan Mozambik
Virus chikungunya sendiri baru berhasil diisolasi oleh Ross pada tahun 1953 dari nyamuk dan manusia selama terjadi epidemi demam yang secara klinis sulit dibedakan dengan demam dengue di distrik Newala, Tanzania. Setelah wabah pertama di Tanzania (1952), menyusul wabah lainnya di Uganda (1963), Senegal (1967, 1975, 1983), Angola (1972), Afrika Selatan (1976), negara-negara Afrika Tengah (Zaire dan Zambia, 1978-1979), Zaire (1999-2000), Kenya (2004), Republik Persatuan Komoro (Januari 2005, 5. 202 kasus), serta pulau Reunion (2005). Selama tahun 2006 terjadi wabah demam chikungunya di Indian Ocean Islands (Komoro, Mauritius, Seychelles, Madagaskar, Mayotte, dan Reunion). Pada wabah di pulau Reunion tahun 2005-2006, terjadi 255. 000 kasus, dengan seroprevalensi 35%, 237 kematian, dan sangat banyak kasus asimtomatik. Dari Afrika penyakit ini menyebar ke negara-negara Amerika dan Asia hingga menimbulkan pandemi. Wabah demam chikungunya juga dilaporkan terjadi di India (1963, 1965, 1973), Srilanka (1969), Thailand (1969), Malaysia (1969), Filipina (1973), Vietnam (1975), dan Myanmar (1975). Pada tahun 1999 terjadi wabah di Port Klang, Malaysia yang mengenai 27 orang. Pada tahun 2006 terjadi wabah di India, yang diperkirakan lebih dari 1,3 juta kasus, dengan 1. 958 kasus konfirmasi. Gambaran epidemiologi klinis kasus-kasus yang terjadi di India tahun 2006-2007 adalah sebagai berikut: attack rate bervariasi antara 4-45%. Semua kelompok umur terkena, dengan jumlah terbanyak pada usia 15 tahun ke atas. Tidak dilaporkan adanya perbedaan jenis kelamin. Kasus dilaporkan baik dari daerah urban maupun rural. Kasus multipel dalam satu keluarga yang terjadi dalam satu minggu, kemungkinan akibat infeksi pada waktu yang sama.
Tahun 2006 juga wabah demam chikungunya kembali terjadi di Malaysia. 1 Selama tahun 2006 diperkirakan terdapat kurang lebih 2 juta kasus demam chikungunya di seluruh dunia. Demam chikungunya juga dilaporkan sebagai kasus impor di beberapa negara Eropa (Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Norwegia, Belgia, Inggris, dan Republik Czech) sebagai kasus impor. 1 Kasus impor di Italia mengenai para pelancong yang baru pulang dari daerah epidemik (Afrika dan India). Antara Juli-September 2006 dilaporkan ada 17 kasus (konfirmasi serologis). 20 Pada September 2007, dilaporkan juga terjadi 166 kasus demam chikungunya (27 kasus konfirmasi) di Italia. Di Indonesia, Kejadian Luar Biasa (KLB) demam chikungunya terjadi pertama kali di Samarinda pada tahun 1973. Selanjutnya tahun 1980 terjadi KLB di Kuala Tungkal, Jambi dan pada tahun 1982 di beberapa propinsi di Indonesia. Pada tahun 1983 terjadi KLB di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta. Selanjutnya KLB terus menyebar ke wilayahwilayah lain. Hingga tahun 1985, semua propinsi di Indonesia pernah melaporkan KLB demam chikungunya. Setelah vakum hampir 20 tahun, pada tahun 1999 kembali terjadi KLB di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pada tahun 2001 terjadi KLB di Aceh, Bogor (Oktober-November, 119 kasus), Bekasi, dan Depok. Tahun 2002 terjadi KLB di Bekasi (Februari-Juni, 200 kasus), Purworejo (Mei, 371 kasus), Klaten (Oktober, 37 kasus), Boyolali, dan Surabaya. Selanjutnya pada tahun 2003, KLB terjadi di Jember (Januari-Februari, 154 kasus), Klaten, Kudus, Tegal, Jepara, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Gresik, Bandung (Januari-Juni, 467 kasus), Bekasi (Maret, 50 kasus, 22 terkonfirmasi), Tangerang (Maret), Cirebon, Lombok Tengah, Bantul, Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow, Januari-Februari, 608 kasus), Nusa Tenggara Barat, dan Yogyakarta.
Tabel 1. Distribusi kasus demam chikungunya di dunia

Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, telah terangkum kasus demam chikungunya di semua daerah terjangkit di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 29 kabupaten/kota, 58 kecamatan dan 76 kelurahan dengan jumlah kasus sebanyak 8. 068 dan tanpa adanya kematian. Berdasarkan data periode 2001-2003 tersebut, jumlah kasus tertinggi pada tahun 2003. Pada tahun 2004 terjadi penurunan baik jumlah kasus di kecamatan maupun desa. Angka kematian antara tahun 2001-2004 tetap nol. Data Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan bahwa selama tahun 2001-2003 terdapat 389 kasus suspect yang diperiksa serologinya. Sampel berasal dari 22 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan daerah yang mengalami KLB, maupun jumlah kasus yang diperiksa serologinya di Indonesia tahun 2001-2003 dengan persentase ketepatan diagnosis (konfirmasi serologi) yang naik turun. Secara keseluruhan hasil serologi positif lebih banyak dijumpai pada wanita. Golongan usia yang terkena demam chikungunya paling banyak antara 30-40 tahun, dengan usia termuda 2,6 tahun dan tertua 77 tahun.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2001-2005), demam chikungunya telah menyebar ke 11 propinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2004, dilaporkan 1. 266 kasus tanpa kematian di 5 propinsi. Sementara itu pada tahun 2005 demam chikungunya telah dilaporkan di 4 propinsi, dengan 340 kasus dan tanpa kematian.



Tabel 2. Distribusi KLB demam chikungunya di Indonesia tahun 2001-Maret 2003

Tabel 3. Situasi KLB demam chikungunya di Indonesia tahun 2001-2004

Tabel 4. Kasus demam chikungunya di Indonesia selama tahun 2006-2007

Pada bulan Januari 2004, demam chikungunya mengenai 800 warga Bantul. Bulan April 2005 terjadi KLB di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat yang menyerang 248 orang. Bulan Juni 2005 virus chikungunya menyerang 35 penduduk Solo. 29 Bulan Juli 2005, KLB demam chikungunya menyerang 80 warga Teluk Naga, Tangerang. Bulan November 2005 terjadi KLB demam chikungunya di Trenggalek, Jawa Timur, yang mengenai 88 orang. Bulan Desember 2005, virus chikungunya menyerang lebih dari 100 orang warga Bekasi. Dalam 2 tahun terakhir, demam chikungunya juga telah menyerang beberapa kota dan propinsi di Indonesia (tabel 4). Demam chikungunya menampilkan profil epidemiologi yang menarik. Epidemi mayor timbul dan menghilang per siklus, biasanya dengan periode interepidemi antara 7-8 tahun, bahkan bisa mencapai 20 tahun, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999. Jadi virus chikungunya dapat menimbulkan KLB setelah sebelumnya menghilang selama beberapa tahun atau dekade. Hal ini berbeda dengan infeksi dengue yang cenderung bersifat endemis. Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor. Serangan demam chikungunya bersifat sporadis, artinya di berbagai tempat timbul serangan berskala kecil, misalnya mengenai beberapa desa, sehingga penyebarannya tidak merata. Hal ini berbeda dengan serangan infeksi dengue yang menyebar luas. Karena serangan demam chikungunya tidak muncul setiap tahun seperti infeksi dengue, maka tidak heran bila masyarakat menganggapnya sebagai suatu penyakit baru.
KLB demam chikungunya dapat berjumlah ratusan atau ribuan kasus, tetapi belum pernah ditemukan kematian. Dilaporkan angka serangan pada populasi yang rentan dapat mencapai 40-85% dan rasio pasien simtomatik dengan pasien asimtomatik sekitar 1,2:1. 1 Meskipun gambaran alamiah episode KLB demam chikungunya masih belum sepenuhnya dapat dimengerti, akan tetapi terlihat terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, yakni urbanisasi, pemanasan global, suseptibilitas manusia dan vektor terhadap infeksi, densitas tinggi vektor nyamuk, serta penyebaran vektor dan virus dari daerah endemik ke area geografi yang baru, terutama akibat meningkatnya perjalanan manusia dan perdagangan. Adanya berbagai epidemi demam chikungunya terbaru dan penyebaran nyamuk Aedes ke seluruh dunia merupakan faktor penting bagi penyebaran virus chikungunya ke wilayah baru melalui pelancong yang terinfeksi. Gelombang epidemi berkaitan dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk. Fenomena gelombang epidemi 20 tahunan sering dikaitkan dengan perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya, sehingga diperlukan waktu yang panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Co-circulation demam dengue pada banyak wilayah menyebabkan kasus-kasus demam chikungunya seringkali secara klinis didiagnosis salah sebagai demam dengue. Oleh karena itu insiden demam chikungunya dapat lebih besar dari yang dilaporkan.
3. Etiologi
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), yang disebut juga Buggy Creek virus. Virus ini termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Selain virus chikungunya, terdapat juga anggota Alphavirus lainnya yang dapat menyebabkan demam, ruam, dan artralgia, seperti virus O’nyong-nyong, Mayaro, Barmah Forest, Ross River, dan Sindbis. Virus chikungunya paling dekat hubungannya dengan virus O’nyong-nyong, meskipun secara genetik berbeda. Virus chikungunya terdiri dari 1 molekul single strand RNA, yang dibungkus oleh membran lipid, berbentuk spherical dan pleomorphic, dengan diameter ± 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan glikoprotein, yang terdiri dari 2 protein virus berbentuk heterodimer. Nucleocapsids virus ini isometrik dengan diameter 40 nm. Sekuens genom lengkapnya terdiri dari 11. 805 nukleotida. 8 Virus ini berkembangbiak dalam sitoplasma sel inangnya.
Virus dapat menyerang manusia dan hewan. Virus ini berpindah dari satu penderita ke penderita lain melalui gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes, seperti Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti (yang juga menularkan demam dengue dan demam kuning) merupakan vektor utama untuk demam chikungunya. Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini akan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Virus dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa. Masih belum diketahui bagaimana pola masuknya virus chikungunya ke Indonesia. 5 Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus ini adalah bangsa babon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic cycle) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Aedes africanus, Aedes luteocephalus, Aedes opok, Aedes furciper, Aedes taylori, Aedes cordelierri). Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953. Isolasi virus dari primata bukan manusia, vertebrata lain seperti tupai, kelelawar, serta spesies nyamuk zoofili (yang menggigit binatang) mendukung keberadaan siklus transmisi sylvatic di Afrika, yang dapat memelihara virus dalam hutan selama tahun-tahun interepidemik
Di Afrika dilaporkan selain menyerang manusia, virus chikungunya juga menyerang primata, dengan transmisi utama antara nyamuk dengan primata. Memang, setelah beberapa lama, karakteristik virus chikungunya yang semula bersiklus dari primata-nyamuk-primata, dapat pula bersiklus primata-nyamuk-manusia, bahkan manusia-nyamuk-manusia. Tidak semua virus asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di daerah permukiman (siklus urban), terutama di Asia, siklus virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes aegypti. Vektor chikungunya di Asia, selain Aedes aegypti juga Aedes Albopictus (the Asian tiger mosquito), sedangkan di Afrika adalah berbagai nyamuk hutan, seperti Aedes furcifer, Aedes africanus, Aedes luteocephalus, Aedes Dalzieli, dan sebagainya. Dilaporkan juga beberapa spesies Anopheles dan Culex dapat menjadi vektor chikungunya di Afrika.
Di Asia, tidaklah diketahui apakah dan bagaimana virus terpelihara di hutan. Tidak ada reservoir binatang yang telah diidentifikasi, walaupun ditemukannya antibodi penetralisir virus chikungunya pada monyet-monyet Malaysia yang menunjukkan kemungkinan primata ini sebagai pejamu. Pada virus chikungunya tidak ditemukan adanya transmisi transovarian pada nyamuk seperti pada virus dengue. Perbedaan geografi strain nyamuk Aedes mengubah suseptibilitasnya terhadap infeksi dan kemampuannya untuk menularkan virus, yang mungkin berperan menentukan dalam endemisitas virus chikungunya di daerah tersebut.
4. Patogenesis
Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor. Jumlah virus yang dapat memperbanyak diri pada nyamuk dari berbagai strain sangat bervariasi, yakni antara 1046-1074 PFU setiap nyamuk. Penelitian de Moor dan Stephen menunjukkan bahwa tingkat endemisitas virus chikungunya sangat berhubungan erat dengan populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut. Lamanya kehidupan nyamuk tersebut merupakan faktor penting yang menentukan luas tidaknya penyebaran virus chikungunya. Hampir keseluruhan data menunjukkan bahwa infeksi chikungunya terjadi di wilayah dimana nyamuk Aedes yang terinfeksi virus chikungunya menggigit manusia. Apabila nyamuk ditemukan sangat banyak dan menggigit banyak orang di sekitarnya maka kemungkinan kejadian infeksi dapat diestimasikan sangat tinggi, terutama pada ibu dan anak yang selalu tinggal di rumah sejak pagi hingga sore hari. Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus. Pada tikus didapatkan adanya miositis, serta perdarahan saluran cerna dan subkutan. Isolasi virus chikungunya kebanyakan diperoleh dari kasus-kasus berat dengan manifestasi perdarahan dan kelainan otot yang umumnya pada penderita dewasa. Pada manusia, virus chikungunya sudah dapat menimbulkan penyakit dalam 2 hari sesudah gigitan nyamuk. Penderita mengalami viremia yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit. Viremia berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5. Silent infection dapat terjadi, akan tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi belum dapat dimengerti. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG antichikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi.
5. Manifestasi Klinis
Demam chikungunya merupakan infeksi viral akut dengan onset mendadak. Masa inkubasinya berkisar antara 2-20 hari, namun biasanya 3-7 hari. Manifestasi klinis berlangsung 3-10 hari, yang ditandai oleh demam, nyeri sendi (artralgia), nyeri otot (mialgia), rash (ruam) makulopapuler, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, limfadenopati servikal, dan fotofobia.
Demam timbul mendadak tinggi, biasanya sampai 39-40°C, disertai menggigil intermiten. Fase akut ini menetap selama 2 atau 3 hari. Temperatur dapat kembali naik selama 1 atau 2 hari sesudah suatu gap selama 4-10 hari, menghasilkan kurve demam pelana kuda (saddle back fever curve).
Nyeri sendi biasanya berat, dapat menetap, mengenai banyak sendi (poliartikular), berpindah-pindah, terutama pada sendi-sendi kecil tangan (metakarpofalangeal), pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dan kaki dengan gejala yang lebih ringan pada sendi-sendi yang lebih besar. Karena rasa nyeri yang hebat, penderita seolah sampai tidak dapat berjalan. Nyeri pada saat bergerak memburuk pada pagi hari, membaik dengan latihan ringan, tetapi dapat timbul kembali oleh latihan berat. Persendian yang terkena kadang-kadang menjadi bengkak dan nyeri saat disentuh, akan tetapi biasanya tanpa disertai efusi. Gejala-gejala akut nyeri sendi umumnya berlangsung tidak lebih dari 10 hari. Pasien dengan manifestasi artikuler yang lebih ringan biasanya bebas gejala dalam beberapa mingggu, tetapi pada kasus-kasus yang lebih berat memerlukan waktu beberapa bulan untuk menghilang seluruhnya. Dalam proporsi yang kecil kasus nyeri sendi dapat menetap selama bertahun-tahun dan menyerupai artritis reumatoid. Biasanya keadaan demikian terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai riwayat sering nyeri tulang dan otot. Nyeri sendi yang memanjang biasanya tidak dijumpai pada infeksi dengue. Mialgia generalisata seperti nyeri pada punggung dan bahu biasa dijumpai. Karena gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, maka ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang. Dalam beberapa kasus didapatkan juga penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali (asimtomatik).
Kulit dan konjungtiva juga tampak memerah. Petekia atau ruam makulopapuler dapat dijumpai pada awal atau setelah beberapa hari perjalanan penyakit. Biasanya timbul bersamaan dengan penurunan demam yang biasanya terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 sakit. Ruam paling banyak dijumpai pada lengan dan tungkai, serta dapat berskuama. Selama penyakit akut, sebagian besar pasien mengeluh sakit kepala, tetapi biasanya tidak berat. Fotofobia ringan dan nyeri retro-orbita juga dapat terjadi. Injeksi konjungtiva juga terlihat pada beberapa kasus. Pada beberapa pasien didapatkan adanya faringitis. Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas juga bisa dijumpai. Kadangkadang timbul rasa mual sampai muntah. Uji torniquet jarang didapatkan positif. Pada beberapa pasien dapat terjadi perdarahan minor seperti epistaksis atau perdarahan gusi. Walaupun jarang, infeksi chikungunya juga dapat menimbulkan meningoensefalitis (radang otak dan selaput otak), terutama pada bayi baru lahir dan mereka dengan penyakit dasar sebelumnya. Wanita hamil dapat menularkan virus ke pada janinnya. Penyakit yang fullblown dengan gambaran klinis yang dramatik paling sering terjadi pada orang dewasa. Kasus-kasus berat dapat terjadi pada orang tua, bayi baru lahir dan penderita imunocompromise (kanker atau HIV/AIDS).
Rasa lemah pada demam chikungunya dapat berlangsung sampai beberapa minggu seperti pada demam dengue, West Nile fever, O’nyong-nyong fever, dan demam arbovirus lainnya. Anak-anak kurang sering mengalami nyeri sendi, tetapi lebih sering menunjukkan gejala seperti serangan demam mendadak, muntah, nyeri abdomen, dan konstipasi. Ruam dan injeksi konjungtiva juga biasa ditemukan. Gejala perdarahan ringan, seperti uji torniquet positif, epistaksis, dan petekie sering dijumpai di Asia. Pada anak usia kurang dari 3 tahun sering terjadi kejang.
Infeksi dengue dan chikungunya dapat timbul bersama-sama di suatu wilayah epidemi, seperti saat KLB di India. Oleh karena itu manifestasi klinik demam chikungunya harus dapat dibedakan dengan infeksi dengue. Pada dasarnya, gejala klinis demam chikungunya sulit dibedakan dengan gejala klinis infeksi dengue. Hanya saja pada demam chikungunya serangan demam lebih singkat; lebih banyak dijumpai ruam makulopapuler, injeksi konjungtiva, dan nyeri otot/sendi; serta tidak dijumpai adanya perdarahan hebat, renjatan, maupun kematian. Infeksi chikungunya baik klinis ataupun asimtomatik dianggap dapat memberikan imunitas seumur hidup. Dengan istirahat cukup, obat demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tujuh hari.
Tabel 5. Temuan klinik demam dengue klasik, demam chikungunya dan demam berdarah dengue

Keterangan:
1+=1-25% 2+=26-50% 3+=51-75% 4+=76-100%
Tabel 6. Gejala konstitusional non-spesifik demam berdarah dengue dan demam chikungunya berbeda bermakna secara statistik; bayi di bawah 5 bulan

Tabel 7. Perbandingan antara demam berdarah dengue dan demam chikungunya

Masih banyak anggapan di kalangan masyarakat, bahwa demam chikungunya atau flu tulang atau demam tulang sebagai penyakit yang berbahaya, sehingga membuat panik. Tidak jarang pula orang meyakini bahwa penyakit ini dapat mengakibatkan kelumpuhan. Memang, sewaktu virus berkembang biak di dalam darah, penderita merasa nyeri pada tulang-tulangnya terutama di seputar persendian sehingga tidak berani menggerakkan anggota tubuh. Namun, bukan berarti terjadi kelumpuhan.
6. Diagnosis
Diagnosis demam chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena demam chikungunya. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati servikal, dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa pasien mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit dapat menurun sedang. Laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein positif pada kasus-kasus akut.
Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan diagnosis, seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan aglutinasi/HI (Charles & Casals), complement fixation/CF (Futton & Dumbell), dan serum netralisasi; tes serologi modern dengan tehnik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); tehnik super modern dengan pemeriksaan PCR; serta teknik yang paling baru dengan RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat tergantung pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF ataupun netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang diambil saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang akurat dapat diperoleh dari serum yang diambil sesudah sakit dengan metode IgM capture ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikan serum akut dari kasus tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti adanya infeksi virus chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal berikut:
1. Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI)
2. Virus chikungunya (CHIKV) pada isolasi virus
3. IgM capture ELISA
Untuk diagnosis serologi diperlukan 10-15 ml serum whole blood. Serum fase akut diambil diambil segera sesudah muncul manifestasi klinis dan serum fase konvalesensi diambil 10-14 hari sesudah sampel pertama. Sampel dibawa ke laboratorium dalam suhu 4ÂșC (tidak dalam keadaan beku). Bila pemeriksaan tidak dapat segera dilakukan, maka serum dipisahkan dari sampel dan disimpan dalam freezer secepatnya. Diagnosis serologi dapat ditegakkan bila didapatkan peningkatan kadar antibodi 4 kali lipat antara serum fase akut dan konvalesensi atau didapatkannya antibodi IgM spesifik terhadap virus chikungunya (CHIKV). Tes serodiagnostik memperlihatkan peningkatan titer IgG CHIKV 4 kali lipat antara serum fase akut dan konvalesen. Akan tetapi, pengambilan serum berpasangan biasanya tidak dilakukan. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pemeriksaan IgM spesifik terhadap virus chikungunya pada serum fase akut bila serum berpasangan tidak dapat dikumpulkan. Tes yang biasa digunakan adalah IgM capture ELISA (MAC-ELISA). Hasil MAC-ELISA dapat diperoleh dalam 2-3 hari. Reaksi silang dengan antibodi Flavivirus, seperti O’nyong-nyong dan Semliki Forest terjadi pada pemeriksaan MAC-ELISA. Akan tetapi virus-virus tersebut relatif jarang di Asia Tenggara. Bila diperlukan konfirmasi lebih lanjut dapat dilakukan tes neutralisasi dan Hemagglutination Inhibition Assay (HIA).
Isolasi virus merupakan tes definitif terbaik. Untuk pemeriksaan ini diperlukan whole blood sebanyak 2-5 ml yang dimasukkan dalam tabung berheparin. Sampel diambil saat minggu pertama sakit, dibawa dengan es ke laboratorium. Virus chikungunya akan memberikan efek cytopathic terhadap berbagai dinding sel seperti sel BHK-21, HeLa dan Vero. Efek cytopathic itu harus dikonfirmasi dengan antiserum spesifik dan hasilnya dapat diperoleh dalam 1-2 minggu. Isolasi virus dilakukan di laboratorium BSL-3 untuk mengurangi risiko transmisi virus. Pemeriksaan kultur virus yang positif dilengkapi dengan neutralisasi memberikan diagnosis definitif adanya virus chikungunya.
Baru-baru ini telah dikembangkan tehnik reverse transcriptasepolymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendiagnosis virus chikungunya yang menggunakan nested primer pairs amplifying specific components dari 3 struktural gene regions, yakni Capsid (C), Envelope E-2 dan bagian dari Envelope E-1. Hasil PCR dapat diperoleh dalam 1-2 hari. Spesimen untuk pemeriksaan PCR adalah sama dengan untuk isolasi virus, yakni whole blood yang di beri heparin. 1 Hasil PCR untuk genom E-1 dan C baik secara sendiri ataupun bersama-sama memberikan hasil positif untuk virus chikungunya. Akan tetapi pemeriksaan khusus di atas lebih banyak digunakan untuk kepentingan epidemiologi dan penelitian, jarang dilakukan dalam praktik klinik sehari-hari. Oleh karena itu WHO membuat definisi kasus infeksi chikungunya sebagai berikut:
1. Kasus tersangka
Suatu kesakitan yang onsetnya akut, ditandai oleh timbulnya demam mendadak diikuti oleh gejala-gejala berupa artralgia, sakit kepala, nyeri punggung, fotofobia, dan ruam.
2. Kasus probable
Klinis seperti di atas dan serologi positif (pemeriksaan sampel serum tunggal yang diambil selama fase akut atau konvalesensi)
3. Kasus konfirmasi
Kasus probabel dengan disertai salah satu dari berikut ini:
- Kenaikan titer antibodi HI sebesar 4 kali pada sampel serum berpasangan
- Deteksi antibodi Iq M
- Isolasi virus dari serum
- Deteksi asam nukleat virus Chikungunya pada serum dengan RT-PCR

7. DiagnosisBanding
Artropati viral dapat dijumpai pada beberapa infeksi virus, seperti demam dengue, penyakit Mayaro (Mayaro fever, Uruma fever), Ross River, Sindbiss (Ockelbo) dan Baermah forest, demam O’nyong-nyong, chikungunya, dan penyakit virus lainnya (penyakit Pogosta, demam Karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis banding dari demam chikungunya. Gejala sendi akibat infeksi virus ini biasanya hanya berlangsung singkat seminggu, kecuali pada beberapa kasus demam chikungunya. Di Australia dan Pasifik Barat, demam Ross River sering menyebabkan epidemi penyakit artralgia yang disebabkan virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk. Di Afrika, demam chikungunya sulit dibedakan dengan O’nyong-nyong yang disebabkan oleh O’nyong-nyong virus (ONNV), yang juga termasuk famili Togaviridae dan genus Alphavirus. O’nyong-nyong ditandai oleh demam ringan, poliartralgia simetris, limfadenopati, eksantem papuler atau makulopapuler generalisata dan nyeri sendi. Berbeda dengan demam chikungunya yang vektor utamanya adalah nyamuk Aedes, pada O’nyong-nyong vektor utamanya adalah nyamuk Anopheles.
8. Penatalaksanaan
Demam chikungunya bukan merupakan infeksi yang mengancam nyawa. Penyakit ini bersifat self-limiting sehingga tidak ada terapi spesifik, hanya suportif dan simtomatik, yakni dengan istirahat, analgetik non-aspirin (ibuprofen, naproksen, natrium diklofenak, atau parasetamol), pemberian cairan (atasi dehidrasi), makanan bergizi serta mengatasi kejang. Pada umumnya penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Hanya sebagian kecil kasus yang memerlukan perawatan di rumah sakit, yakni yang dengan gejala cukup berat. 16 Istirahat diindikasikan selama terdapat gejala persendian akut. 1 Pergerakan dan latihan ringan dapat memperbaiki kekakuan dan nyeri pagi hari, tetapi latihan berat dapat mengeksaserbasi gejala rematik.
Untuk memperbaiki keadaan umum, penderita dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar atau minum jus buah segar. Pemberian vitamin diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit. Minum banyak juga dianjurkan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat selama demam. Belum ada antiviral untuk virus chikungunya. Penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder tidak bermanfaat. Masa konvalesen dapat berlangsung lama (1 tahun atau lebih) sehingga diperlukan obat antiinflamasi non-steroid jangka panjang dan rehabilitasi. Pemberian aspirin sebaiknya dihindari karena akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan ataupun sindrom Reye. Pemberian steroid juga tidak dianjurkan. Pada artritis refrakter yang tidak berkurang dengan pemberian obat antiinflamasi non-steroid, klorokuin 250 mg direkomendasikan. Dalam uji terbuka, klorokuin dapat memperbaiki gejala pasien dengan artritis kronik sesudah infeksi virus chikungunya, tetapi perlu dibuktikan menggunakan uji dengan kontrol.
9. Prognosis
Prognosis penderita demam chikungunya cukup baik sebab penyakit ini tidak menimbulkan kematian. Belum ada penelitian yang secara jelas memperlihatkan bahwa demam chikungunya dapat secara langsung menyebabkan kematian. Terdapat banyak kemungkinan penyebab kematian yang terjadi selama KLB demam chikungunya. Walaupun risiko penyakit yang serius rendah, terdapat beberapa kelompok yang berisiko mengalami penyakit yang lebih berat, yakni wanita hamil, penderita immunocompromise (kanker atau HIV/AIDS), penderita penyakit kronik berat (penyakit jantung, paru, ginjal, diabetes melitus) dan orang tua
Karena infeksi virus chikungunya baik klinis ataupun silent akan memberikan imunitas seumur hidup, maka penyakit ini sulit menyerang penderita yang sama. Tubuh penderita akan membentuk antibodi yang akan membuatnya kebal terhadap serangan virus ini di kemudian hari. Dengan demikian, kecil kemungkinannya untuk terkena lagi. Imunitas yang terbentuk dapat bertahan dalam jangka waktu lama, hingga dua puluh tahunan. Sesudah suatu kejadian luar biasa, mulai dari anak-anak sampai orang tua seperti sudah terimunisasi. Baru generasi berikutnya, dua puluh tahun kemudian, tidak imun lagi.
10. Pencegahan
Sampai sekarang belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk penyakit ini. Vaksin virus chikungunya hidup yang dikembangkan oleh U. S. Army, yang terbukti aman dan imunogenik dalam uji fase II, masih belum diteliti lebih jauh. Jadi, cara terbaik untuk menghindari infeksi virus chikungunya dalah dengan mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk. Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut, sama seperti yang disarankan dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue. Nyamuk ini berkembang biak di genangan air bersih seperti dalam bak mandi, tong air, vas bunga dan kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih. Selain itu juga senang hidup di benda-benda yang menggantung, seperti baju-baju yang ada di belakang pintu kamar; serta tempat yang gelap dan pengap. Oleh karena itu, cara yang murah dan efektif untuk memberantas nyamuk ini adalah dengan menguras tempat penampungan air bersih, bak mandi, vas bunga dan sebagainya, minimal seminggu sekali, mengingat nyamuk tersebut berkembang biak dari telur sampai menjadi dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari. Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan menampung air bersih, terutama pada musim hujan. Pintu dan jendela rumah sebaiknya dibuka setiap hari dari pagi sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut.
Untuk membasmi nyamuk dewasa dapat digunakan insektisida dari golongan malathion, sedangkan untuk mematikan jentikjentiknya digunakan temephos (larvasida yang mengandung 50% EC). Malathion dipakai dengan cara pengasapan, bukan dengan menyemprotkannya ke dinding, karena Aedes aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung. Temephos digunakan dengan cara mencampur 2,5 ml temephos dengan 10 liter air. Tiap 20 ml suspensi tersebut dapat digunakan untuk menyemprot 1 m2 area. WHO juga merekomendasikan penggunaan pirentrum 0,1-0,2% untuk penyemprotan dalam ruangan pada area berisiko tinggi dimana terdapat cluster kasus. Gigitan nyamuk dapat dihindari dengan menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang, memasang kawat nyamuk serta menggunakan kelambu saat tidur di siang hari. Selain dengan cara di atas, dapat juga dilakukan pencegahan individu dengan cara khusus seperti penggunaan obat oles kulit (insect repellent) yang mengandung DEET (diethyltoluamide) atau zat aktif EPA (Enviromental Protection Agency) lainnya. Pasien yang terkena demam chikungunya juga sebaiknya membatasi paparan terhadap gigitan nyamuk untuk menghindari penyebaran infeksi lebih lanjut, dengan beristirahat dalam ruangan tertutup atau di dalam kelambu. Daerah sekitar rumah sakit yang merawat pasien demam chikungunya juga sebaiknya bebas dari vektor chikungunya. Selain upaya perorangan, diperlukan kerjasama yang kuat antar otoritas kesehatan masyarakat untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding site) nyamuk. Hal yang tidak kalah penting adalah surveillance epidemiologi dan entomologi yang intensif. Laporan kasus-kasus demam sebaiknya diberikan oleh masyarakat dan sektor terkait untuk dimonitor secara ketat


DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Country Officer for India. Chikungunya fever. Chikungunya fever main. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.whoindia.org/EN/Section3/Section406.htm
2. WHO Regional Office for South-East Asia. Chikungunya fever information sheet. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.searo.who.int/en/Section10/Section2246.htm
3. Chikungunya fever: essential data. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.CBWInfo.com
4. Kompas Cyber Media. Chikungunya. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0502/25/112020.htm
5. Judarwanto W. Penatalaksanaan demam chikungunya. [cited 2007 November 11]. Available from URL: http://www.childrenfamily.com
6. Hendro R, Rahardjo E, Maha MS, et al. Investasi kejadian Luar biasa (KLB) chikungunya di desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten Bekasi tahun 2003. [cited 2007 November 11]. Available from URL:http://www.kalbe.co.id
7. Division of Vector-Borne Infectious Diseases CDC. Chikungunya fever fact sheet. [cited 2007 November 15). Available from URL:http://www.cdc.org
8. Chhabra M, Mittal V, Bhattacharya D, et al. Chikungunya fever: a re-emerging viral infection. Indian J Med Microbial 2008; 26(1):5-12
9. Chikungunya. [cited 2007 November 15]. Available from URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Chikungunya


A. Konsep Dasar Infeksi
1. Pengertian
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005).
Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh. (Kozier, et al, 1995).
Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi. Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi. Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. (Harry wahyudhy Utama, 2006).
Infeksi dapat didefinisikan sebagai kolonisasi merugikan dari organisme inang, oleh spesies asing. Dalam kasus seperti itu, spesies asing, yang juga dapat disebut organisme penyebab infeksi, mulai memanfaatkan sumber daya dari tuan rumah. Pada manusia, efek negatif akan mewujudkan diri dalam bentuk luka kronis, hilangnya suatu gangren, anggota tubuh yang terinfeksi dan, dalam beberapa kasus, bahkan kematian.. Spesies asing biasanya terdiri dari organisme mikroskopis, seperti bakteri, virus, parasit, jamur, prion, viroid, dan sebagainya.

B. Faktor Penyebab Infeksi
Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen (agen infeksi), sedangkan mikroorganisme yang tidak menimbulkan penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit timbul jika pathogen berkembang biak dan menyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika penyakit bias ditularkan dari satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan penyakit menular (contagius). Mikroorganisme mempunyai keragaman dalam virulensi/keganasan dan juga beragam dalam menyebabkan beratnya suatu penyakit yang disebabkan.
Penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
a) Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies bakteri
dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan dapat hidup didalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
b) Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya harus masuk dalam sel hidup untuk diproduksi.
c) Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur

d) Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda.
C. Tipe Infeksi
a) Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora yang
menetap/flora residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan berkembang biak
tetapi tidak dapat menimbulkan penyakit. Infeksi terjadi ketika mikroorganisme yang menetap tadi sukses menginvasi/menyerang bagian tubuh host/manusia yang sistem pertahanannya tidak efektif dan pathogen menyebabkan kerusakan jaringan.
b) Infeksi lokal : spesifik dan terbatas pada bagain tubuh dimana mikroorganisme tinggal.
c) Infeksi sistemik : terjadi bila mikroorganisme menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menimbulkan kerusakan.
d) Bakterimia : terjadi ketika dalam darah ditemukan adanya bakteri
e) Septikemia : multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi sistemik
f) Infeksi akut : infeksi yang muncul dalam waktu singkat
g) Infeksi kronik : infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama (dalam hitungan bulan sampai tahun)


D. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.
1. Agen Infeksi
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora
transient maupun resident. Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun
dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari host/penjamu.
2. Reservoar (sumber mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya microorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.
3. Portal Of Exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar (portal of exit untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya. Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane mukosa yang rusak serta darah.
4. Cara Penularan
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara
seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau darahnya;kontak tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka penderita; peralatan yang terkontaminasi; makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau lalat.
5. Portal Masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.


6. Daya Tahan Hospes (MANUSIA)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen. Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.
7. Proses Infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang diberikan.
Berbagai komponen dari sistem imun memberikan jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik, yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas. Pada beberapa keadaan, komponen komponen baik respon spesifik maupun nonspesifik bisa gagal dan hal tersebut mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres.
Efek dan gejala nyata yang berhubungan dengan kelainan pertahanan hospes
bervariasi berdasarkan pada sistem imun yang rusak. Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah adalah: infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
a. Periode inkubasi
Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala pertama.
Contoh: flu 1-3 hari, campak 2-3 minggu, mumps/gondongan 18 hari
b. Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik (malaise, demam ringan,
keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit
ke orang lain.
c. Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis infeksi.
Contoh: demam dimanifestasikan dengan sakit tenggorokan, mumps dimanifestasikan dengan sakit telinga, demam tinggi, pembengkakan kelenjar parotid dan saliva.
d. Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi

E. Penampilan Klinis Dan Gejala
1. Infeksi sistemik
Penyebab infeksi sistemik terdiri dari bakteri atau virus. Ciri utama seperti infeksi adalah bahwa hal itu mempengaruhi aliran darah dari seorang individu, dengan hasil bahwa gejala menyebar ke seluruh tubuh. Dalam hal ini, patogen didistribusikan ke seluruh tubuh, bukannya terkonsentrasi di satu daerah. toksin bakteri adalah alasan utama yang mengarah ke infeksi sistemik.. Contoh yang umum sebagian besar infeksi sistemik dingin, flu, mononucleosis, radang tenggorokan, dll
2. Tanda dan Gejala Infeksi Sistemik
a. Nyeri: Ketika seseorang menderita infeksi sistemik, ia / dia mengalami sakit di daerah seperti dahi dan punggung.. Dalam kasus ekstrim, orang tersebut mengalami sakit tubuh juga.
b. Menggigil: infeksi sistemik memicu menggigil, yang membuat seseorang menggigil bahkan setelah mengenakan pakaian wol lapisan.
c. Demam: Demam adalah tanda-tanda infeksi sistemik. Tergantung pada tingkat keparahan infeksi, orang mungkin menderita dari rendah ke demam tinggi.
d. Mual: infeksi sistemik memicu rasa mual. Orang itu bereaksi terhadap bau tertentu dengan muntah-muntah.
e. Muntah: Muntah merupakan salah satu gejala utama infeksi sistemik. Orang tersebut akan memiliki kecenderungan muntah, bahkan setelah mengkonsumsi makanan biasa.
f. Kelemahan: Secara keseluruhan kelemahan dalam tubuh merupakan gejala infeksi sistemik.
3. Infeksi lokal
Infeksi lokal dapat dijelaskan sebagai bahwa infeksi, yang tidak mempengaruhi seluruh tubuh individu. Rather,. Sebaliknya, itu adalah terbatas pada bagian tertentu dari tubuh Ini tidak menyerang aliran darah dan terbatas pada permukaan luar tubuh. Beberapa contoh yang paling umum dari infeksi lokal meliputi luka terinfeksi, sebuah memotong terinfeksi, dll
4. Tanda dan Gejala Infeksi Lokal
a. Demam: Demam adalah gejala sistemik hanya yang dapat disebabkan oleh infeksi lokal.
b. Bau busuk: Sebuah debit bau busuk dari daerah yang terkena adalah pertanda bahwa orang tersebut telah mengakui masalah infeksi lokal.
c. Panas di Situs: Dalam beberapa kasus, infeksi lokal dapat menyebabkan pembengkakan di daerah yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan panas di situs.
d. Nyeri: Nyeri di daerah, yang telah terinfeksi, merupakan tanda yang sangat terlihat infeksi lokal.
e. Pus: Satu dapat mengetahui apakah luka terinfeksi atau tidak, dengan mengamati jumlah nanah dilepaskan dari sana.
f. Kemerahan dan Pembengkakan: infeksi lokal dapat menyebabkan kemerahan dan pembengkakan di daerah yang terkena

F. Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Infeksi
Kata imun berasal dari bahasa Latin ‘immunitas’ yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit menular Sistem imun (kekebalan tubuh) adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel protein, antibodi dan sitokin/kemokin, serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing (proses imun).seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya yang masuk ke dalam tubuh.
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya manusia dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit. Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung.

G. Tindakan pencegahan infeksi.
1. Anteroom
Ruangan berukuran kecil yang menghubungkan koridor dengan ruangan lain yang biasanya ruangan isolasi.
2. Antiseptik berbasis alcohol
Bahan mengandung alkohol yang dirancang untuk digosokkan di tangan sebagai antiseptik.
3. Disinfeksi
Proses yang menghilangkan semua mikroorganisme patogen, kecuali spora, dari benda mati, dengan tujuan mengurangi risiko infeksi.
4. Fasilitas pelayanan kesehatan
Setiap unit yang terlibat dalam perawatan pasien secara langsung. Konteks klinis di mana pelayanan kesehatan diberikan (misalnya, rumah sakit, klinik pasien rawat jalan, rumah).
5. Keluarga yang merawat (Caregiver)
Orang yang memberikan dukungan dan bantuan, baik formal atau informal, melalui berbagai kegiatan bagi orang cacat atau sakit jangka panjang, atau orang lanjut usia. Orang ini bisa memberikan dukungan emosional atau finansial, dan juga siap memberikan bantuan dalam berbagai tugas .
6. Kuantum
Jumlah atau banyaknya partikel.
7. Limbah klinis
Disebut juga limbah infeksius, limbah berbahaya ini dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Limbah ini meliputi: limbah hewan yang terkontaminasi; darah manusia dan produk darah; limbah dari tempat isolasi; limbah patologis (misalnya, jaringan manusia); dan benda tajam yang dibuang (jarum suntik, pisau bedah, atau peralatan medis yang sudah rusak). Definisi ini bisa bervariasi tergantung pada undang-undang dan peraturan setempat.
8. Masker bedah
Masker bedah atau masker operasi yang melindungi keluarga yang merawat terhadap patogen yang ditularkan melalui droplet dan/atau sebagai bagian dari pelindung wajah bagi kegiatan pelayanan pasien yang mungkin menimbulkan percikan atau cipratan darah, cairan tubuh, sekret, atau ekskresi.
9. Pandemi
Epidemi yang terjadi di seluruh dunia atau pada daerah yang sangat luas, yang melintasi perbatasan beberapanegara, dan biasanya mempengaruhi banyak orang
10. Pembersihan
Proses menghilangkan kotoran dari peralatan dan permukaan secara manual dengan menggunakan deterjen dan air atau surfaktan (misalnya, enzymatic cleaner), atau proses yang menggunakan energi (misalnya, pembersih ultrasonik) dengan bahan yang sesuai.
11. Pengendalian sumber infeksi
Cara mengurangi emisi droplet saat pasien batuk atau bersin, seperti menutup mulut dan hidung dengan tangan atau dengan cara lain (misalnya, menggunakan tisu, saputangan, masker kain, atau masker bedah), untuk mengurangi penyebaran droplet dari pasien yang terinfeksi/terkolonisasi. Pembersihan tangan harus dilakukan segera setelah kontak dengan sekresi pernapasan.

DAFTAR PUSTAKA

Cara pengendalian infeksi terbaik untuk skin-piercing intradermal, injeksi subkutan dan kedalam – otot, Jejaring Global Safe Injeksi Aman dan Dewan Perawat Internasional, World Health Organization, Geneva, 2001.

Indoor air pollution: an introduction for health professionals. New York, N.Y.: Environmental Protection Agency: Consumer Product Safety Commission; American Lung Association; 1995.

Perry dan potter, 2005. Keterampilan dan prosedur dasar, Jakarta, EGC.

Potter, P.A. 2004 Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek edisi 4, alih
bahasa Renata Komalasari, Jakarta, EGC

Pedoman untuk mencegah penularan HIV dalam facilitas kesehatan, World Health Organization, Geneva, Program Global mengenai AIDS, 1995 (GPA/TCO/HCS/95.1).

Lembaran fakta mengenai HIV/AIDS bagi perawat dan bidan, World Health Organization, Geneva, 2000

Widodo judarwanto, 2006. Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Virus. Diakses dari judarwanto@gmail.com, www.childrenallergyclinic.wordpress.com/ tanggal 20 november 2010.

Saturday 7 August 2010

hepatitis

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan pembangunan Indonesia sehat adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal. Derajat kesehatan yang optimal akan dilihat dari unsure kualitas hidup serta unsur-unsur mortalitas (angka kematian) yang mempengaruhinya, yaitu morbiditas (angka kesakitan) serta status gizi. Indikasi morbiditas, salah satunya adalah Hepatitis (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2002).
Penyakit Hepatitis diumpamakan seperti pohon yang terus berkembang dari tahun ketahun. Hepatitis adalah penyakit yang dapat merusak dan dapat berlangsung lama dan menjadi berat. (health). Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota family Hevadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut sirosa hati atau kanker hati. (Filbert Anthony, 2006).
Imunisasi hepatitis B sedini mungkin setelah lahir, mengingat sekitar 33 % ibu melahirkan di negara berkembang adalah pengidap HBsAg ( Hepatitis B serum Antigen ) positif dengan perkiraan transmisi maternal 40 % ( Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1999). Pemberian imunisasi hepatitis B kepada bayi sedini mungkin menjadi prioritas program imunisasi hepatitis B. hal ini akan memberikan perlindungan segera bagi bayi tersebut dari infeksi yang sudah terjadi (melalui penularan perinatal). (Bambang. H, 2002).
Imunisasi hepatitis B cukup efektif untuk mencegah penyakit hepatitis B dan juga untuk mencegah kanker hati. Vaksin ini memberikan daya lindung yang sangat tinggi (> 96 %) tehadap penyakit hepatitis B, sebagaimana telah terbukti pada berbagai percobaan klinis dari jutaan pemakainya. Bila jadwal vaksin telah dijalani selengkapnya, maka daya lindungnya akan bertahan lebih kurang selama 5 tahun, setelah ini dapat diberikan tambahan imunisasi untuk memperpanjang daya lindungnya.
Persentase cakupan imunisasi Hepatitis B1 di Indonesia yang diberikan pada bayi dengan usia kurang dari 7 hari pada tahun 2000 sebesar 3 % dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi 10 %, sedangkan cakupan imunisasi Hepatitis B yang diberikan pada bayi dengan usia lebih dari 7 hari pada tahun 2000 sebesar 90% mengalami penurunan pada tahun 2002 menjadi 50 %. Cakupan imunisasi Hepatitis B1 secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 93 % menjadi 60 % pada tahun 2002.
Jumlah bayi di Bengkulu pada tahun 2009 adalah 8.251 bayi, dengan hasil Cakupan imunisasi Hepatitis B1 yang diberikan pada bayi dengan usia 0-7 hari masih sangat rendah yaitu hanya 3.443 bayi dari 8.251 bayi keseluruhan ( 29,7 % ) (Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, 2009).
Faktor – faktor yang mempengaruhi cakupan imunisasi : 1) Perilaku, 2) Sikap, 3) pengetahuan (Penelitian Muhammad Ali, 2003). Pengetahuan merupakan suatu hasil yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan sasuatu objek tertentu melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui proses melihat, mendengar selain itu melalui pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan formal dan non formal (Notoatmodjo, 2003). Sehingga pengetahuan tentang imunisasi hepatitis B1 dapat mempengaruhi terhadap cakupan imunisasi hepatitis B1.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang Hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap ketepatan pemberian imunisasi hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rendahnya cakupan imunisasi hepatitis B1 maka penulis merumuskan masalah bagaimana ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian imunisasi hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan Ibu terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
b. Diperolehnya gambaran pemberian imunisasi Hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
c. Diperolehnya hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan pemberian imunisasi hepatitis B1 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2010.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Memenuhi syarat untuk menyelesaikan Jurusan D III Keperawatan Bengkulu tahun 2010, selanjutnya penulis ini dapat menjadi media penulis dalam mengaplikasikan berbagai ilmu pengetahuan yang telah penulis dapatkan di bangku kuliah dalam bentuk karya tulis ilmiah yang berfungsi mengasah kemampuan penulis.
2. Bagi Akademik
Diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan dapat memotivasi untuk melakukan penelitian yang lebih baik dan memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat, bahan evaluasi terhadap kegiatan perkuliahan yang telah dilaksanakan sehingga akan bermanfaat untuk pengembangan pendidikan selanjutnya dan dapat dijadikan referensi penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama.
3. Bagi puskesmas
Memberikan informasi masalah Hepatitis B1 sehingga dapat memperketat pengawasan kesehatan terhadap bayi usia 0 – 7 hari.

Hepatitis B

Hepatitis B
Hepatitis B adalah penyakit yang dapat merusak dan dapat berlangsung lama dan menjadi berat. (health, 2006)
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota family Hevadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut sirosa hati atau kanker hati. (Filbert Anthony, 2006).
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pada tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia. Virus termasuk DNA virus. Virus hepatits B berupa partikel 2 lapis berukuran 42 nm yang disebut “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen HbsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat Hepatitis B core antigen (HbcAg) dan Hepatitis B e antigen (HbeAg) antigen permukaan (HbsAg) terdiri atas lipo protein. Virus Hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari.
2.1.2 Cara Penularan
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara, yaitu :
1) Parenteral
Dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tattoo.

2) Non Parenteral
Karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.
Secara epidemologi penularan penyakit infeksi virus Heptitis B dibagi 2 cara penting, yaitu :
1) Penularan Vertikal
Yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang HbsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal. Resiko infeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar Negara satu dan yang lain berkaitan dengan kelompok etnik.
2) Penularan Horizontal
Yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B kepada orang lain di sekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual.
2.1.3 Gejala
Umumnya tidak ada gejala dan tanda-tanda selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Infeksi sering kali tidak disertai gejala apapun, akan tetapi pada hepatitis B akut memiliki gambaran ikterus yang jelas. Hepatitis B akut memiliki gambaran gejala klinis yang terjadi atas 3 fase, yaitu:
1) Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mu,ai tampak kelainan hati ( kadar bilirubin serum, SGOT dan SPGT, Fosfatose Alkali meningkat).

2) Fase Ikterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan splenomegali , timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. Setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase, pembesaran hati masih ada dan terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.
2.1.4. Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling efektif terhadap infeksi virus Hepatitis B (VHB).
Secara umum pencegahan mencakup sterilisasi instrument kesehatan, alat dialysis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis, penyuluhan perihal sex yang aman, penggunaan jarum sunting disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir) menutup luka.
Selain itu idealnya skrining ibu hamil (trisemester ke-1 dan ke-3) terutama resiko tinggi dan skrining populasis resiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan sex ganda, tenaga medis, pasien dialysis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB). Sedangkan secara khusus imunisasi universal bayi baru lahir telah berhasil menurunkan prevelens VHB. (Boerhan Hidayat, Purnawati, S. Pujianto, 2005)

2.1.5. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatits B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah :
1) Alat suntik (spluit dan jarum) sekali dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut:
a. Isi kemasan 0,5 cc
b. Ukuran jarum 25 G x 5/8”
c. Dimensi; panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm
d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject
e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject-Hb 12 water pack.
2) Alat suntik yang tidak perlu diisi vaksin oleh petugas sebelum disuntikan, karena sudah terisi dari pabriknya, setiap uniject sudah dilengkapi dengan alat pemantau suhu VVM (Vaksin Vial Monitor).
3) Alat suntik yang tidak perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah strelil dari pabriknya.
4) Alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik hanya dapat dipakai satu kali saja.
2.1.6. Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Jadwal pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilihat dalam table berikut:
Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Umur Vaksin Keterangan
Saat Lahir Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HBsAg ibu positif, dalam watu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semua status HBsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HBsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
1 Bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan
6 Bulan Hepatitis B-3 HB-3 pada umur 6 bulan. Untuk mendapat respon imun yang optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
2.1.7. Efek samping/ Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hepatitis B
KIPI adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (dapat sampai 3 bulan).
Pemantauan KIPI ditujukan pada setiap kelainan yang terjadi pada periode pasca imunisasi. Pemantauan suntikan yang aman ditujukan pada sasaran suntikan, petugas dan masyarakat serta lingkungan terkait.
Menurut WHO : 1999, klasifikasi KIPI adalah sebagai berikut :
1) Reaksi vaksin
Induksi vaksin yaitu intrinsic vaksin dengan individu. Potensiasi vaksin yaitu gejala yang timbuldipicu oleh vaksin. Kejadian disebabkan atau dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara benar. Disebabkan oleh sifat dasar vaksin.
2) Kesalahan Program
Kejadian disebabkan oleh kesalahan dalam persiapan, penanganan, ataupun pemberian vaksin.
3) Kebetulan
Kejadian terjadi setelah imunisasi tetapi tidak disebabkan oleh vaksin.
4) Reaksi Suntikan
Kejadian yang disebabkan oleh rasa takut/ gelisah atau sakit dari tindakan penyuntikan dan bukan dari vaksin.
5) Tidak Diketahui
Penyebab kejadian ini tidak dapat ditetapkan.
Gejala KIPI ringan (sering dijumpai) pada pemberian imunisasi hepatitis B, reaksi local pada anak adalah 5 % pada orang dewasa adalah 15 % demam >380C yaitu 1-6%, dan tidak dijumpai iritabel, malaise dan gejala sistemik.

2.2. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen. (IDAI, 2005)
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan kekebalan di dalam tubuh bayi dan anak guna melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak. (Sulianti, S. 2007). Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit (I.G.N. Ranuh, dkk., 2001:5).
Imunisasi adalah membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memberikan antigen atau vaksin pada bayi.(Elizabet,MD). Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat antibody untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. (Aziz Alimut Hidayat.2008).
Imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dan pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.(DEPKES RI.2009).
Terdapat dua macam Imunisasi, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2005, yaitu :
a. Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian imunisasi berupa pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibody sendiri. Contohnya adalah imunisasi campak, polio, BCG, Hepatitis B, DPT.
b. Imunisasi Pasif
Penyuntikan sejumlah antibody, sehingga kadar antibiotic dalam tubuh meningkat, contohnya adalah pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibody dari ibunya melelalui darah placenta selama masa kandungan, misalnya antibody terhadap campak.
Terdapat 2 macam imunisasi menurut Litbang, yaitu :
1. Imunisasi dasar ialah pemberian kekebalan I, II, III pada bayi.
2. Imunisasi ulang ialah pemberian kekebalan setelah imunisasi dasar.

2.2.1.Tujuan Imunisasi
Tujuan Imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu. (Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005)
2.2.2. Manfaat Imunisasi
Manfaat dari Imunisasi adalah :
1) Untuk Anak
Mencegah penderita yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.
2) Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.
3) Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara.
2.2.3. Standar Ketetapan Imunisasi
Target universal Child Immunization (UCI) dalam cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B harus mencapai 80 %, baik tingkat nasional, propinsi dan kabupaten bahkan disetiap desa. (Satgas Imuniasai-IDAI, 2005)
2.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pacaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan bau. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan pada manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah-masalah kehidupan manusia, pengetahuan diibaratkan sebagai suatu alat yang dihadapi. (Notoatmodjo, 1997)
2.3.1. Unsur- unsur Pengetahuan
Menurut Lengeveld dalam Ahmad (1994), ada tiga macam unsure pengetahuan yaitu :
a. Pengamatan (mencamkan) yaitu menggunakan indera lahir atau batin untuk menangkap objek.
b. Sasaran objek yaitu sesuatu objek yang menjadi bahan pengetahuan.
c. Kesadaran (jiwa) yaitu salah satu dari alam yang ada pada diri manusia.
2.3.2. Batas-batas pengetahuan
Menurut Gazalba (1992) ada tiga batasan pengetahuan yaitu :
a. Pengetahuan Indera : lapangannya segala sesuatu yang dapat disentuh oleh panca indera secara langsung, biasanya segala sesuatu yang dapat ditangkapnya oleh panca indera.
b. Pengetahuan Ilmu : lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset/eksperimen) : Batasannya segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan peneliti.
c. Pengetahuan Filsafat : lapangannya segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alami) dan nisbi (relatif) batasannya adalah batasan alam.
2.3.3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
a. Faktor pendidikan dan pelatihan.
b. Faktor lingkungan.
c. Faktor intern.
d. Faktor pengalaman.
e. Faktor ekonomi.
2.3.4. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), ada enam tingkat pengetahuan :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, termasuk di dalamnya adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari.
2. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek tang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan rumus, hukum, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain.



4. Analisis (analysis).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi untuk penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.3.6. Hubungan tingkat Pengetahuan terhadap pemberian Imunisasi Hepatitis B1
Para ahli psikologi kognitif berpendapat bahwa kegiatan belajar merupakan proses yang bersifat internal yang berhubungan dengan banyak factor eksternal sehingga akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Faktor internal itu antara lain pendidikan, ekonomi, social budaya, pengalaman, media massa dan lain-lain (Notoadmojo, 2000).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang rendah kemungkinan dapat mengurangi rasa percaya dalam hal wawasan dan kemampuan dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuan seseorang maka akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 1999). Teori ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana ibu akan dapat berupaya mengatasi, mencegah dan melakukan suatu tindakan untuk penyakit Hepatitis dengan pengetahuan yang lebih luas dan kompleks.

Hepatitis B

Hepatitis B
Hepatitis B adalah penyakit yang dapat merusak dan dapat berlangsung lama dan menjadi berat. (health, 2006)
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota family Hevadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut sirosa hati atau kanker hati. (Filbert Anthony, 2006).
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pada tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia. Virus termasuk DNA virus. Virus hepatits B berupa partikel 2 lapis berukuran 42 nm yang disebut “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen HbsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat Hepatitis B core antigen (HbcAg) dan Hepatitis B e antigen (HbeAg) antigen permukaan (HbsAg) terdiri atas lipo protein. Virus Hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari.
2.1.2 Cara Penularan
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara, yaitu :
1) Parenteral
Dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tattoo.

2) Non Parenteral
Karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.
Secara epidemologi penularan penyakit infeksi virus Heptitis B dibagi 2 cara penting, yaitu :
1) Penularan Vertikal
Yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang HbsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal. Resiko infeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar Negara satu dan yang lain berkaitan dengan kelompok etnik.
2) Penularan Horizontal
Yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B kepada orang lain di sekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual.
2.1.3 Gejala
Umumnya tidak ada gejala dan tanda-tanda selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Infeksi sering kali tidak disertai gejala apapun, akan tetapi pada hepatitis B akut memiliki gambaran ikterus yang jelas. Hepatitis B akut memiliki gambaran gejala klinis yang terjadi atas 3 fase, yaitu:
1) Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mu,ai tampak kelainan hati ( kadar bilirubin serum, SGOT dan SPGT, Fosfatose Alkali meningkat).

2) Fase Ikterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan splenomegali , timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. Setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase, pembesaran hati masih ada dan terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.
2.1.4. Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling efektif terhadap infeksi virus Hepatitis B (VHB).
Secara umum pencegahan mencakup sterilisasi instrument kesehatan, alat dialysis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis, penyuluhan perihal sex yang aman, penggunaan jarum sunting disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir) menutup luka.
Selain itu idealnya skrining ibu hamil (trisemester ke-1 dan ke-3) terutama resiko tinggi dan skrining populasis resiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan sex ganda, tenaga medis, pasien dialysis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB). Sedangkan secara khusus imunisasi universal bayi baru lahir telah berhasil menurunkan prevelens VHB. (Boerhan Hidayat, Purnawati, S. Pujianto, 2005)

2.1.5. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatits B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah :
1) Alat suntik (spluit dan jarum) sekali dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut:
a. Isi kemasan 0,5 cc
b. Ukuran jarum 25 G x 5/8”
c. Dimensi; panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm
d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject
e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject-Hb 12 water pack.
2) Alat suntik yang tidak perlu diisi vaksin oleh petugas sebelum disuntikan, karena sudah terisi dari pabriknya, setiap uniject sudah dilengkapi dengan alat pemantau suhu VVM (Vaksin Vial Monitor).
3) Alat suntik yang tidak perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah strelil dari pabriknya.
4) Alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik hanya dapat dipakai satu kali saja.
2.1.6. Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Jadwal pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilihat dalam table berikut:
Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Umur Vaksin Keterangan
Saat Lahir Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HBsAg ibu positif, dalam watu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semua status HBsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HBsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
1 Bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan
6 Bulan Hepatitis B-3 HB-3 pada umur 6 bulan. Untuk mendapat respon imun yang optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
2.1.7. Efek samping/ Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hepatitis B
KIPI adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (dapat sampai 3 bulan).
Pemantauan KIPI ditujukan pada setiap kelainan yang terjadi pada periode pasca imunisasi. Pemantauan suntikan yang aman ditujukan pada sasaran suntikan, petugas dan masyarakat serta lingkungan terkait.
Menurut WHO : 1999, klasifikasi KIPI adalah sebagai berikut :
1) Reaksi vaksin
Induksi vaksin yaitu intrinsic vaksin dengan individu. Potensiasi vaksin yaitu gejala yang timbuldipicu oleh vaksin. Kejadian disebabkan atau dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara benar. Disebabkan oleh sifat dasar vaksin.
2) Kesalahan Program
Kejadian disebabkan oleh kesalahan dalam persiapan, penanganan, ataupun pemberian vaksin.
3) Kebetulan
Kejadian terjadi setelah imunisasi tetapi tidak disebabkan oleh vaksin.
4) Reaksi Suntikan
Kejadian yang disebabkan oleh rasa takut/ gelisah atau sakit dari tindakan penyuntikan dan bukan dari vaksin.
5) Tidak Diketahui
Penyebab kejadian ini tidak dapat ditetapkan.
Gejala KIPI ringan (sering dijumpai) pada pemberian imunisasi hepatitis B, reaksi local pada anak adalah 5 % pada orang dewasa adalah 15 % demam >380C yaitu 1-6%, dan tidak dijumpai iritabel, malaise dan gejala sistemik.

2.2. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen. (IDAI, 2005)
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan kekebalan di dalam tubuh bayi dan anak guna melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak. (Sulianti, S. 2007). Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit (I.G.N. Ranuh, dkk., 2001:5).
Imunisasi adalah membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memberikan antigen atau vaksin pada bayi.(Elizabet,MD). Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat antibody untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. (Aziz Alimut Hidayat.2008).
Imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dan pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.(DEPKES RI.2009).
Terdapat dua macam Imunisasi, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2005, yaitu :
a. Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian imunisasi berupa pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibody sendiri. Contohnya adalah imunisasi campak, polio, BCG, Hepatitis B, DPT.
b. Imunisasi Pasif
Penyuntikan sejumlah antibody, sehingga kadar antibiotic dalam tubuh meningkat, contohnya adalah pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibody dari ibunya melelalui darah placenta selama masa kandungan, misalnya antibody terhadap campak.
Terdapat 2 macam imunisasi menurut Litbang, yaitu :
1. Imunisasi dasar ialah pemberian kekebalan I, II, III pada bayi.
2. Imunisasi ulang ialah pemberian kekebalan setelah imunisasi dasar.

2.2.1.Tujuan Imunisasi
Tujuan Imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu. (Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005)
2.2.2. Manfaat Imunisasi
Manfaat dari Imunisasi adalah :
1) Untuk Anak
Mencegah penderita yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.
2) Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.
3) Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara.
2.2.3. Standar Ketetapan Imunisasi
Target universal Child Immunization (UCI) dalam cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B harus mencapai 80 %, baik tingkat nasional, propinsi dan kabupaten bahkan disetiap desa. (Satgas Imuniasai-IDAI, 2005)
2.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pacaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan bau. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan pada manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah-masalah kehidupan manusia, pengetahuan diibaratkan sebagai suatu alat yang dihadapi. (Notoatmodjo, 1997)
2.3.1. Unsur- unsur Pengetahuan
Menurut Lengeveld dalam Ahmad (1994), ada tiga macam unsure pengetahuan yaitu :
a. Pengamatan (mencamkan) yaitu menggunakan indera lahir atau batin untuk menangkap objek.
b. Sasaran objek yaitu sesuatu objek yang menjadi bahan pengetahuan.
c. Kesadaran (jiwa) yaitu salah satu dari alam yang ada pada diri manusia.
2.3.2. Batas-batas pengetahuan
Menurut Gazalba (1992) ada tiga batasan pengetahuan yaitu :
a. Pengetahuan Indera : lapangannya segala sesuatu yang dapat disentuh oleh panca indera secara langsung, biasanya segala sesuatu yang dapat ditangkapnya oleh panca indera.
b. Pengetahuan Ilmu : lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset/eksperimen) : Batasannya segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan peneliti.
c. Pengetahuan Filsafat : lapangannya segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alami) dan nisbi (relatif) batasannya adalah batasan alam.
2.3.3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
a. Faktor pendidikan dan pelatihan.
b. Faktor lingkungan.
c. Faktor intern.
d. Faktor pengalaman.
e. Faktor ekonomi.
2.3.4. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), ada enam tingkat pengetahuan :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, termasuk di dalamnya adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari.
2. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek tang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan rumus, hukum, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain.



4. Analisis (analysis).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi untuk penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.3.6. Hubungan tingkat Pengetahuan terhadap pemberian Imunisasi Hepatitis B1
Para ahli psikologi kognitif berpendapat bahwa kegiatan belajar merupakan proses yang bersifat internal yang berhubungan dengan banyak factor eksternal sehingga akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Faktor internal itu antara lain pendidikan, ekonomi, social budaya, pengalaman, media massa dan lain-lain (Notoadmojo, 2000).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang rendah kemungkinan dapat mengurangi rasa percaya dalam hal wawasan dan kemampuan dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuan seseorang maka akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 1999). Teori ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana ibu akan dapat berupaya mengatasi, mencegah dan melakukan suatu tindakan untuk penyakit Hepatitis dengan pengetahuan yang lebih luas dan kompleks.