Friday 17 December 2010

chikungunya

Demam Chikungunya
1. Pengertian
Demam chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes. Berbeda dengan demam berdarah dengue, pada demam chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan hebat, syok, maupun kematian. Distribusi geografis penyakit ini meliputi daerah tropis Subsahara Afrika, Asia, serta Amerika Selatan. Manifestasi klinisnya berlangsung antara 3-10 hari, yang ditandai oleh demam, nyeri sendi, nyeri otot, ruam makulopapuler, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, limfadenopati servikal, dan fotofobia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penyakit ini bersifat self-limiting, sehingga tidak ada terapi spesifik, hanya suportif dan simtomatik. Sampai sekarang belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk penyakit ini. Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memberantas nyamuk vektornya
Sepanjang tahun 2007 hingga awal tahun 2008 ini, selain merebak kasus demam berdarah dengue di sejumlah wilayah Indonesia, masyarakat direpotkan pula dengan ledakan kasus demam chikungunya. Penyebab penyakit ini adalah virus chikungunya (Chikungunya virus/CHIKV), yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang juga menularkan penyakit demam berdarah dengue. Demam chikungunya termasuk penyakit yang ringan. Manifestasi kliniknya menyerupai infeksi virus dengue, namun pada demam chikungunya tidak terjadi perdarahan hebat, renjatan (syok), maupun kematian. Akan tetapi karena kejadiannya tersebar luas maka demam chikungunya menimbulkan angka kesakitan dan kerugian ekonomi yang tinggi.
Kata chikungunya berasal dari bahasa Swahili (suatu suku bangsa di Afrika), yang berarti (posisi tubuhnya) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi (artralgia) yang hebat. Nyeri sendi ini terutama terjadi pada lutut, pergelangan kaki, serta persendian tangan dan kaki. Tidak ada terapi khusus untuk infeksi virus ini. Penyakit biasanya sembuh sendiri (self-limiting disease), walaupun rasa nyeri dapat bertahan selama berhari-hari sampai berbulanbulan.
2. Epidemiologi
Distribusi geografis demam chikungunya saat ini meliputi daerah tropis Subsahara Afrika (termasuk Afrika Barat, Tengah dan Selatan), Asia, serta Amerika Selatan. Berbagai wabah demam chikungunya dilaporkan terjadi selama abad ke-20 lalu. Infeksi chikungunya juga terdokumentasi secara serologis di Afrika, India, dan Asia Tenggara. Walaupun epidemi penyakit dengan demam, rash, dan nyeri sendi yang menyerupai demam chikungunya telah dilaporkan terjadi sejak tahun 1824 di India dan berbagai tempat lainnya di dunia, akan tetapi demam chikungunya baru diidentifikasi pada tahun 1952 oleh Marion Robinson dan WHR Lumsden, saat terjadi wabah di sepanjang perbatasan antara Tanzania (erstwhile Tanganyika) dan Mozambik
Virus chikungunya sendiri baru berhasil diisolasi oleh Ross pada tahun 1953 dari nyamuk dan manusia selama terjadi epidemi demam yang secara klinis sulit dibedakan dengan demam dengue di distrik Newala, Tanzania. Setelah wabah pertama di Tanzania (1952), menyusul wabah lainnya di Uganda (1963), Senegal (1967, 1975, 1983), Angola (1972), Afrika Selatan (1976), negara-negara Afrika Tengah (Zaire dan Zambia, 1978-1979), Zaire (1999-2000), Kenya (2004), Republik Persatuan Komoro (Januari 2005, 5. 202 kasus), serta pulau Reunion (2005). Selama tahun 2006 terjadi wabah demam chikungunya di Indian Ocean Islands (Komoro, Mauritius, Seychelles, Madagaskar, Mayotte, dan Reunion). Pada wabah di pulau Reunion tahun 2005-2006, terjadi 255. 000 kasus, dengan seroprevalensi 35%, 237 kematian, dan sangat banyak kasus asimtomatik. Dari Afrika penyakit ini menyebar ke negara-negara Amerika dan Asia hingga menimbulkan pandemi. Wabah demam chikungunya juga dilaporkan terjadi di India (1963, 1965, 1973), Srilanka (1969), Thailand (1969), Malaysia (1969), Filipina (1973), Vietnam (1975), dan Myanmar (1975). Pada tahun 1999 terjadi wabah di Port Klang, Malaysia yang mengenai 27 orang. Pada tahun 2006 terjadi wabah di India, yang diperkirakan lebih dari 1,3 juta kasus, dengan 1. 958 kasus konfirmasi. Gambaran epidemiologi klinis kasus-kasus yang terjadi di India tahun 2006-2007 adalah sebagai berikut: attack rate bervariasi antara 4-45%. Semua kelompok umur terkena, dengan jumlah terbanyak pada usia 15 tahun ke atas. Tidak dilaporkan adanya perbedaan jenis kelamin. Kasus dilaporkan baik dari daerah urban maupun rural. Kasus multipel dalam satu keluarga yang terjadi dalam satu minggu, kemungkinan akibat infeksi pada waktu yang sama.
Tahun 2006 juga wabah demam chikungunya kembali terjadi di Malaysia. 1 Selama tahun 2006 diperkirakan terdapat kurang lebih 2 juta kasus demam chikungunya di seluruh dunia. Demam chikungunya juga dilaporkan sebagai kasus impor di beberapa negara Eropa (Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Norwegia, Belgia, Inggris, dan Republik Czech) sebagai kasus impor. 1 Kasus impor di Italia mengenai para pelancong yang baru pulang dari daerah epidemik (Afrika dan India). Antara Juli-September 2006 dilaporkan ada 17 kasus (konfirmasi serologis). 20 Pada September 2007, dilaporkan juga terjadi 166 kasus demam chikungunya (27 kasus konfirmasi) di Italia. Di Indonesia, Kejadian Luar Biasa (KLB) demam chikungunya terjadi pertama kali di Samarinda pada tahun 1973. Selanjutnya tahun 1980 terjadi KLB di Kuala Tungkal, Jambi dan pada tahun 1982 di beberapa propinsi di Indonesia. Pada tahun 1983 terjadi KLB di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta. Selanjutnya KLB terus menyebar ke wilayahwilayah lain. Hingga tahun 1985, semua propinsi di Indonesia pernah melaporkan KLB demam chikungunya. Setelah vakum hampir 20 tahun, pada tahun 1999 kembali terjadi KLB di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pada tahun 2001 terjadi KLB di Aceh, Bogor (Oktober-November, 119 kasus), Bekasi, dan Depok. Tahun 2002 terjadi KLB di Bekasi (Februari-Juni, 200 kasus), Purworejo (Mei, 371 kasus), Klaten (Oktober, 37 kasus), Boyolali, dan Surabaya. Selanjutnya pada tahun 2003, KLB terjadi di Jember (Januari-Februari, 154 kasus), Klaten, Kudus, Tegal, Jepara, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Gresik, Bandung (Januari-Juni, 467 kasus), Bekasi (Maret, 50 kasus, 22 terkonfirmasi), Tangerang (Maret), Cirebon, Lombok Tengah, Bantul, Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow, Januari-Februari, 608 kasus), Nusa Tenggara Barat, dan Yogyakarta.
Tabel 1. Distribusi kasus demam chikungunya di dunia

Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, telah terangkum kasus demam chikungunya di semua daerah terjangkit di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 29 kabupaten/kota, 58 kecamatan dan 76 kelurahan dengan jumlah kasus sebanyak 8. 068 dan tanpa adanya kematian. Berdasarkan data periode 2001-2003 tersebut, jumlah kasus tertinggi pada tahun 2003. Pada tahun 2004 terjadi penurunan baik jumlah kasus di kecamatan maupun desa. Angka kematian antara tahun 2001-2004 tetap nol. Data Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan bahwa selama tahun 2001-2003 terdapat 389 kasus suspect yang diperiksa serologinya. Sampel berasal dari 22 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan daerah yang mengalami KLB, maupun jumlah kasus yang diperiksa serologinya di Indonesia tahun 2001-2003 dengan persentase ketepatan diagnosis (konfirmasi serologi) yang naik turun. Secara keseluruhan hasil serologi positif lebih banyak dijumpai pada wanita. Golongan usia yang terkena demam chikungunya paling banyak antara 30-40 tahun, dengan usia termuda 2,6 tahun dan tertua 77 tahun.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2001-2005), demam chikungunya telah menyebar ke 11 propinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2004, dilaporkan 1. 266 kasus tanpa kematian di 5 propinsi. Sementara itu pada tahun 2005 demam chikungunya telah dilaporkan di 4 propinsi, dengan 340 kasus dan tanpa kematian.



Tabel 2. Distribusi KLB demam chikungunya di Indonesia tahun 2001-Maret 2003

Tabel 3. Situasi KLB demam chikungunya di Indonesia tahun 2001-2004

Tabel 4. Kasus demam chikungunya di Indonesia selama tahun 2006-2007

Pada bulan Januari 2004, demam chikungunya mengenai 800 warga Bantul. Bulan April 2005 terjadi KLB di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat yang menyerang 248 orang. Bulan Juni 2005 virus chikungunya menyerang 35 penduduk Solo. 29 Bulan Juli 2005, KLB demam chikungunya menyerang 80 warga Teluk Naga, Tangerang. Bulan November 2005 terjadi KLB demam chikungunya di Trenggalek, Jawa Timur, yang mengenai 88 orang. Bulan Desember 2005, virus chikungunya menyerang lebih dari 100 orang warga Bekasi. Dalam 2 tahun terakhir, demam chikungunya juga telah menyerang beberapa kota dan propinsi di Indonesia (tabel 4). Demam chikungunya menampilkan profil epidemiologi yang menarik. Epidemi mayor timbul dan menghilang per siklus, biasanya dengan periode interepidemi antara 7-8 tahun, bahkan bisa mencapai 20 tahun, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999. Jadi virus chikungunya dapat menimbulkan KLB setelah sebelumnya menghilang selama beberapa tahun atau dekade. Hal ini berbeda dengan infeksi dengue yang cenderung bersifat endemis. Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor. Serangan demam chikungunya bersifat sporadis, artinya di berbagai tempat timbul serangan berskala kecil, misalnya mengenai beberapa desa, sehingga penyebarannya tidak merata. Hal ini berbeda dengan serangan infeksi dengue yang menyebar luas. Karena serangan demam chikungunya tidak muncul setiap tahun seperti infeksi dengue, maka tidak heran bila masyarakat menganggapnya sebagai suatu penyakit baru.
KLB demam chikungunya dapat berjumlah ratusan atau ribuan kasus, tetapi belum pernah ditemukan kematian. Dilaporkan angka serangan pada populasi yang rentan dapat mencapai 40-85% dan rasio pasien simtomatik dengan pasien asimtomatik sekitar 1,2:1. 1 Meskipun gambaran alamiah episode KLB demam chikungunya masih belum sepenuhnya dapat dimengerti, akan tetapi terlihat terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, yakni urbanisasi, pemanasan global, suseptibilitas manusia dan vektor terhadap infeksi, densitas tinggi vektor nyamuk, serta penyebaran vektor dan virus dari daerah endemik ke area geografi yang baru, terutama akibat meningkatnya perjalanan manusia dan perdagangan. Adanya berbagai epidemi demam chikungunya terbaru dan penyebaran nyamuk Aedes ke seluruh dunia merupakan faktor penting bagi penyebaran virus chikungunya ke wilayah baru melalui pelancong yang terinfeksi. Gelombang epidemi berkaitan dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk. Fenomena gelombang epidemi 20 tahunan sering dikaitkan dengan perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya, sehingga diperlukan waktu yang panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Co-circulation demam dengue pada banyak wilayah menyebabkan kasus-kasus demam chikungunya seringkali secara klinis didiagnosis salah sebagai demam dengue. Oleh karena itu insiden demam chikungunya dapat lebih besar dari yang dilaporkan.
3. Etiologi
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), yang disebut juga Buggy Creek virus. Virus ini termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Selain virus chikungunya, terdapat juga anggota Alphavirus lainnya yang dapat menyebabkan demam, ruam, dan artralgia, seperti virus O’nyong-nyong, Mayaro, Barmah Forest, Ross River, dan Sindbis. Virus chikungunya paling dekat hubungannya dengan virus O’nyong-nyong, meskipun secara genetik berbeda. Virus chikungunya terdiri dari 1 molekul single strand RNA, yang dibungkus oleh membran lipid, berbentuk spherical dan pleomorphic, dengan diameter ± 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan glikoprotein, yang terdiri dari 2 protein virus berbentuk heterodimer. Nucleocapsids virus ini isometrik dengan diameter 40 nm. Sekuens genom lengkapnya terdiri dari 11. 805 nukleotida. 8 Virus ini berkembangbiak dalam sitoplasma sel inangnya.
Virus dapat menyerang manusia dan hewan. Virus ini berpindah dari satu penderita ke penderita lain melalui gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes, seperti Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti (yang juga menularkan demam dengue dan demam kuning) merupakan vektor utama untuk demam chikungunya. Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini akan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Virus dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa. Masih belum diketahui bagaimana pola masuknya virus chikungunya ke Indonesia. 5 Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus ini adalah bangsa babon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic cycle) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Aedes africanus, Aedes luteocephalus, Aedes opok, Aedes furciper, Aedes taylori, Aedes cordelierri). Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953. Isolasi virus dari primata bukan manusia, vertebrata lain seperti tupai, kelelawar, serta spesies nyamuk zoofili (yang menggigit binatang) mendukung keberadaan siklus transmisi sylvatic di Afrika, yang dapat memelihara virus dalam hutan selama tahun-tahun interepidemik
Di Afrika dilaporkan selain menyerang manusia, virus chikungunya juga menyerang primata, dengan transmisi utama antara nyamuk dengan primata. Memang, setelah beberapa lama, karakteristik virus chikungunya yang semula bersiklus dari primata-nyamuk-primata, dapat pula bersiklus primata-nyamuk-manusia, bahkan manusia-nyamuk-manusia. Tidak semua virus asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di daerah permukiman (siklus urban), terutama di Asia, siklus virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes aegypti. Vektor chikungunya di Asia, selain Aedes aegypti juga Aedes Albopictus (the Asian tiger mosquito), sedangkan di Afrika adalah berbagai nyamuk hutan, seperti Aedes furcifer, Aedes africanus, Aedes luteocephalus, Aedes Dalzieli, dan sebagainya. Dilaporkan juga beberapa spesies Anopheles dan Culex dapat menjadi vektor chikungunya di Afrika.
Di Asia, tidaklah diketahui apakah dan bagaimana virus terpelihara di hutan. Tidak ada reservoir binatang yang telah diidentifikasi, walaupun ditemukannya antibodi penetralisir virus chikungunya pada monyet-monyet Malaysia yang menunjukkan kemungkinan primata ini sebagai pejamu. Pada virus chikungunya tidak ditemukan adanya transmisi transovarian pada nyamuk seperti pada virus dengue. Perbedaan geografi strain nyamuk Aedes mengubah suseptibilitasnya terhadap infeksi dan kemampuannya untuk menularkan virus, yang mungkin berperan menentukan dalam endemisitas virus chikungunya di daerah tersebut.
4. Patogenesis
Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor. Jumlah virus yang dapat memperbanyak diri pada nyamuk dari berbagai strain sangat bervariasi, yakni antara 1046-1074 PFU setiap nyamuk. Penelitian de Moor dan Stephen menunjukkan bahwa tingkat endemisitas virus chikungunya sangat berhubungan erat dengan populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut. Lamanya kehidupan nyamuk tersebut merupakan faktor penting yang menentukan luas tidaknya penyebaran virus chikungunya. Hampir keseluruhan data menunjukkan bahwa infeksi chikungunya terjadi di wilayah dimana nyamuk Aedes yang terinfeksi virus chikungunya menggigit manusia. Apabila nyamuk ditemukan sangat banyak dan menggigit banyak orang di sekitarnya maka kemungkinan kejadian infeksi dapat diestimasikan sangat tinggi, terutama pada ibu dan anak yang selalu tinggal di rumah sejak pagi hingga sore hari. Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus. Pada tikus didapatkan adanya miositis, serta perdarahan saluran cerna dan subkutan. Isolasi virus chikungunya kebanyakan diperoleh dari kasus-kasus berat dengan manifestasi perdarahan dan kelainan otot yang umumnya pada penderita dewasa. Pada manusia, virus chikungunya sudah dapat menimbulkan penyakit dalam 2 hari sesudah gigitan nyamuk. Penderita mengalami viremia yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit. Viremia berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5. Silent infection dapat terjadi, akan tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi belum dapat dimengerti. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG antichikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi.
5. Manifestasi Klinis
Demam chikungunya merupakan infeksi viral akut dengan onset mendadak. Masa inkubasinya berkisar antara 2-20 hari, namun biasanya 3-7 hari. Manifestasi klinis berlangsung 3-10 hari, yang ditandai oleh demam, nyeri sendi (artralgia), nyeri otot (mialgia), rash (ruam) makulopapuler, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, limfadenopati servikal, dan fotofobia.
Demam timbul mendadak tinggi, biasanya sampai 39-40°C, disertai menggigil intermiten. Fase akut ini menetap selama 2 atau 3 hari. Temperatur dapat kembali naik selama 1 atau 2 hari sesudah suatu gap selama 4-10 hari, menghasilkan kurve demam pelana kuda (saddle back fever curve).
Nyeri sendi biasanya berat, dapat menetap, mengenai banyak sendi (poliartikular), berpindah-pindah, terutama pada sendi-sendi kecil tangan (metakarpofalangeal), pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dan kaki dengan gejala yang lebih ringan pada sendi-sendi yang lebih besar. Karena rasa nyeri yang hebat, penderita seolah sampai tidak dapat berjalan. Nyeri pada saat bergerak memburuk pada pagi hari, membaik dengan latihan ringan, tetapi dapat timbul kembali oleh latihan berat. Persendian yang terkena kadang-kadang menjadi bengkak dan nyeri saat disentuh, akan tetapi biasanya tanpa disertai efusi. Gejala-gejala akut nyeri sendi umumnya berlangsung tidak lebih dari 10 hari. Pasien dengan manifestasi artikuler yang lebih ringan biasanya bebas gejala dalam beberapa mingggu, tetapi pada kasus-kasus yang lebih berat memerlukan waktu beberapa bulan untuk menghilang seluruhnya. Dalam proporsi yang kecil kasus nyeri sendi dapat menetap selama bertahun-tahun dan menyerupai artritis reumatoid. Biasanya keadaan demikian terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai riwayat sering nyeri tulang dan otot. Nyeri sendi yang memanjang biasanya tidak dijumpai pada infeksi dengue. Mialgia generalisata seperti nyeri pada punggung dan bahu biasa dijumpai. Karena gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, maka ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang. Dalam beberapa kasus didapatkan juga penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali (asimtomatik).
Kulit dan konjungtiva juga tampak memerah. Petekia atau ruam makulopapuler dapat dijumpai pada awal atau setelah beberapa hari perjalanan penyakit. Biasanya timbul bersamaan dengan penurunan demam yang biasanya terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 sakit. Ruam paling banyak dijumpai pada lengan dan tungkai, serta dapat berskuama. Selama penyakit akut, sebagian besar pasien mengeluh sakit kepala, tetapi biasanya tidak berat. Fotofobia ringan dan nyeri retro-orbita juga dapat terjadi. Injeksi konjungtiva juga terlihat pada beberapa kasus. Pada beberapa pasien didapatkan adanya faringitis. Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas juga bisa dijumpai. Kadangkadang timbul rasa mual sampai muntah. Uji torniquet jarang didapatkan positif. Pada beberapa pasien dapat terjadi perdarahan minor seperti epistaksis atau perdarahan gusi. Walaupun jarang, infeksi chikungunya juga dapat menimbulkan meningoensefalitis (radang otak dan selaput otak), terutama pada bayi baru lahir dan mereka dengan penyakit dasar sebelumnya. Wanita hamil dapat menularkan virus ke pada janinnya. Penyakit yang fullblown dengan gambaran klinis yang dramatik paling sering terjadi pada orang dewasa. Kasus-kasus berat dapat terjadi pada orang tua, bayi baru lahir dan penderita imunocompromise (kanker atau HIV/AIDS).
Rasa lemah pada demam chikungunya dapat berlangsung sampai beberapa minggu seperti pada demam dengue, West Nile fever, O’nyong-nyong fever, dan demam arbovirus lainnya. Anak-anak kurang sering mengalami nyeri sendi, tetapi lebih sering menunjukkan gejala seperti serangan demam mendadak, muntah, nyeri abdomen, dan konstipasi. Ruam dan injeksi konjungtiva juga biasa ditemukan. Gejala perdarahan ringan, seperti uji torniquet positif, epistaksis, dan petekie sering dijumpai di Asia. Pada anak usia kurang dari 3 tahun sering terjadi kejang.
Infeksi dengue dan chikungunya dapat timbul bersama-sama di suatu wilayah epidemi, seperti saat KLB di India. Oleh karena itu manifestasi klinik demam chikungunya harus dapat dibedakan dengan infeksi dengue. Pada dasarnya, gejala klinis demam chikungunya sulit dibedakan dengan gejala klinis infeksi dengue. Hanya saja pada demam chikungunya serangan demam lebih singkat; lebih banyak dijumpai ruam makulopapuler, injeksi konjungtiva, dan nyeri otot/sendi; serta tidak dijumpai adanya perdarahan hebat, renjatan, maupun kematian. Infeksi chikungunya baik klinis ataupun asimtomatik dianggap dapat memberikan imunitas seumur hidup. Dengan istirahat cukup, obat demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tujuh hari.
Tabel 5. Temuan klinik demam dengue klasik, demam chikungunya dan demam berdarah dengue

Keterangan:
1+=1-25% 2+=26-50% 3+=51-75% 4+=76-100%
Tabel 6. Gejala konstitusional non-spesifik demam berdarah dengue dan demam chikungunya berbeda bermakna secara statistik; bayi di bawah 5 bulan

Tabel 7. Perbandingan antara demam berdarah dengue dan demam chikungunya

Masih banyak anggapan di kalangan masyarakat, bahwa demam chikungunya atau flu tulang atau demam tulang sebagai penyakit yang berbahaya, sehingga membuat panik. Tidak jarang pula orang meyakini bahwa penyakit ini dapat mengakibatkan kelumpuhan. Memang, sewaktu virus berkembang biak di dalam darah, penderita merasa nyeri pada tulang-tulangnya terutama di seputar persendian sehingga tidak berani menggerakkan anggota tubuh. Namun, bukan berarti terjadi kelumpuhan.
6. Diagnosis
Diagnosis demam chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena demam chikungunya. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati servikal, dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa pasien mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit dapat menurun sedang. Laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein positif pada kasus-kasus akut.
Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan diagnosis, seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan aglutinasi/HI (Charles & Casals), complement fixation/CF (Futton & Dumbell), dan serum netralisasi; tes serologi modern dengan tehnik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); tehnik super modern dengan pemeriksaan PCR; serta teknik yang paling baru dengan RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat tergantung pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF ataupun netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang diambil saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang akurat dapat diperoleh dari serum yang diambil sesudah sakit dengan metode IgM capture ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikan serum akut dari kasus tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti adanya infeksi virus chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal berikut:
1. Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI)
2. Virus chikungunya (CHIKV) pada isolasi virus
3. IgM capture ELISA
Untuk diagnosis serologi diperlukan 10-15 ml serum whole blood. Serum fase akut diambil diambil segera sesudah muncul manifestasi klinis dan serum fase konvalesensi diambil 10-14 hari sesudah sampel pertama. Sampel dibawa ke laboratorium dalam suhu 4ÂșC (tidak dalam keadaan beku). Bila pemeriksaan tidak dapat segera dilakukan, maka serum dipisahkan dari sampel dan disimpan dalam freezer secepatnya. Diagnosis serologi dapat ditegakkan bila didapatkan peningkatan kadar antibodi 4 kali lipat antara serum fase akut dan konvalesensi atau didapatkannya antibodi IgM spesifik terhadap virus chikungunya (CHIKV). Tes serodiagnostik memperlihatkan peningkatan titer IgG CHIKV 4 kali lipat antara serum fase akut dan konvalesen. Akan tetapi, pengambilan serum berpasangan biasanya tidak dilakukan. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pemeriksaan IgM spesifik terhadap virus chikungunya pada serum fase akut bila serum berpasangan tidak dapat dikumpulkan. Tes yang biasa digunakan adalah IgM capture ELISA (MAC-ELISA). Hasil MAC-ELISA dapat diperoleh dalam 2-3 hari. Reaksi silang dengan antibodi Flavivirus, seperti O’nyong-nyong dan Semliki Forest terjadi pada pemeriksaan MAC-ELISA. Akan tetapi virus-virus tersebut relatif jarang di Asia Tenggara. Bila diperlukan konfirmasi lebih lanjut dapat dilakukan tes neutralisasi dan Hemagglutination Inhibition Assay (HIA).
Isolasi virus merupakan tes definitif terbaik. Untuk pemeriksaan ini diperlukan whole blood sebanyak 2-5 ml yang dimasukkan dalam tabung berheparin. Sampel diambil saat minggu pertama sakit, dibawa dengan es ke laboratorium. Virus chikungunya akan memberikan efek cytopathic terhadap berbagai dinding sel seperti sel BHK-21, HeLa dan Vero. Efek cytopathic itu harus dikonfirmasi dengan antiserum spesifik dan hasilnya dapat diperoleh dalam 1-2 minggu. Isolasi virus dilakukan di laboratorium BSL-3 untuk mengurangi risiko transmisi virus. Pemeriksaan kultur virus yang positif dilengkapi dengan neutralisasi memberikan diagnosis definitif adanya virus chikungunya.
Baru-baru ini telah dikembangkan tehnik reverse transcriptasepolymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendiagnosis virus chikungunya yang menggunakan nested primer pairs amplifying specific components dari 3 struktural gene regions, yakni Capsid (C), Envelope E-2 dan bagian dari Envelope E-1. Hasil PCR dapat diperoleh dalam 1-2 hari. Spesimen untuk pemeriksaan PCR adalah sama dengan untuk isolasi virus, yakni whole blood yang di beri heparin. 1 Hasil PCR untuk genom E-1 dan C baik secara sendiri ataupun bersama-sama memberikan hasil positif untuk virus chikungunya. Akan tetapi pemeriksaan khusus di atas lebih banyak digunakan untuk kepentingan epidemiologi dan penelitian, jarang dilakukan dalam praktik klinik sehari-hari. Oleh karena itu WHO membuat definisi kasus infeksi chikungunya sebagai berikut:
1. Kasus tersangka
Suatu kesakitan yang onsetnya akut, ditandai oleh timbulnya demam mendadak diikuti oleh gejala-gejala berupa artralgia, sakit kepala, nyeri punggung, fotofobia, dan ruam.
2. Kasus probable
Klinis seperti di atas dan serologi positif (pemeriksaan sampel serum tunggal yang diambil selama fase akut atau konvalesensi)
3. Kasus konfirmasi
Kasus probabel dengan disertai salah satu dari berikut ini:
- Kenaikan titer antibodi HI sebesar 4 kali pada sampel serum berpasangan
- Deteksi antibodi Iq M
- Isolasi virus dari serum
- Deteksi asam nukleat virus Chikungunya pada serum dengan RT-PCR

7. DiagnosisBanding
Artropati viral dapat dijumpai pada beberapa infeksi virus, seperti demam dengue, penyakit Mayaro (Mayaro fever, Uruma fever), Ross River, Sindbiss (Ockelbo) dan Baermah forest, demam O’nyong-nyong, chikungunya, dan penyakit virus lainnya (penyakit Pogosta, demam Karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis banding dari demam chikungunya. Gejala sendi akibat infeksi virus ini biasanya hanya berlangsung singkat seminggu, kecuali pada beberapa kasus demam chikungunya. Di Australia dan Pasifik Barat, demam Ross River sering menyebabkan epidemi penyakit artralgia yang disebabkan virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk. Di Afrika, demam chikungunya sulit dibedakan dengan O’nyong-nyong yang disebabkan oleh O’nyong-nyong virus (ONNV), yang juga termasuk famili Togaviridae dan genus Alphavirus. O’nyong-nyong ditandai oleh demam ringan, poliartralgia simetris, limfadenopati, eksantem papuler atau makulopapuler generalisata dan nyeri sendi. Berbeda dengan demam chikungunya yang vektor utamanya adalah nyamuk Aedes, pada O’nyong-nyong vektor utamanya adalah nyamuk Anopheles.
8. Penatalaksanaan
Demam chikungunya bukan merupakan infeksi yang mengancam nyawa. Penyakit ini bersifat self-limiting sehingga tidak ada terapi spesifik, hanya suportif dan simtomatik, yakni dengan istirahat, analgetik non-aspirin (ibuprofen, naproksen, natrium diklofenak, atau parasetamol), pemberian cairan (atasi dehidrasi), makanan bergizi serta mengatasi kejang. Pada umumnya penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Hanya sebagian kecil kasus yang memerlukan perawatan di rumah sakit, yakni yang dengan gejala cukup berat. 16 Istirahat diindikasikan selama terdapat gejala persendian akut. 1 Pergerakan dan latihan ringan dapat memperbaiki kekakuan dan nyeri pagi hari, tetapi latihan berat dapat mengeksaserbasi gejala rematik.
Untuk memperbaiki keadaan umum, penderita dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar atau minum jus buah segar. Pemberian vitamin diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit. Minum banyak juga dianjurkan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat selama demam. Belum ada antiviral untuk virus chikungunya. Penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder tidak bermanfaat. Masa konvalesen dapat berlangsung lama (1 tahun atau lebih) sehingga diperlukan obat antiinflamasi non-steroid jangka panjang dan rehabilitasi. Pemberian aspirin sebaiknya dihindari karena akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan ataupun sindrom Reye. Pemberian steroid juga tidak dianjurkan. Pada artritis refrakter yang tidak berkurang dengan pemberian obat antiinflamasi non-steroid, klorokuin 250 mg direkomendasikan. Dalam uji terbuka, klorokuin dapat memperbaiki gejala pasien dengan artritis kronik sesudah infeksi virus chikungunya, tetapi perlu dibuktikan menggunakan uji dengan kontrol.
9. Prognosis
Prognosis penderita demam chikungunya cukup baik sebab penyakit ini tidak menimbulkan kematian. Belum ada penelitian yang secara jelas memperlihatkan bahwa demam chikungunya dapat secara langsung menyebabkan kematian. Terdapat banyak kemungkinan penyebab kematian yang terjadi selama KLB demam chikungunya. Walaupun risiko penyakit yang serius rendah, terdapat beberapa kelompok yang berisiko mengalami penyakit yang lebih berat, yakni wanita hamil, penderita immunocompromise (kanker atau HIV/AIDS), penderita penyakit kronik berat (penyakit jantung, paru, ginjal, diabetes melitus) dan orang tua
Karena infeksi virus chikungunya baik klinis ataupun silent akan memberikan imunitas seumur hidup, maka penyakit ini sulit menyerang penderita yang sama. Tubuh penderita akan membentuk antibodi yang akan membuatnya kebal terhadap serangan virus ini di kemudian hari. Dengan demikian, kecil kemungkinannya untuk terkena lagi. Imunitas yang terbentuk dapat bertahan dalam jangka waktu lama, hingga dua puluh tahunan. Sesudah suatu kejadian luar biasa, mulai dari anak-anak sampai orang tua seperti sudah terimunisasi. Baru generasi berikutnya, dua puluh tahun kemudian, tidak imun lagi.
10. Pencegahan
Sampai sekarang belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk penyakit ini. Vaksin virus chikungunya hidup yang dikembangkan oleh U. S. Army, yang terbukti aman dan imunogenik dalam uji fase II, masih belum diteliti lebih jauh. Jadi, cara terbaik untuk menghindari infeksi virus chikungunya dalah dengan mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk. Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut, sama seperti yang disarankan dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue. Nyamuk ini berkembang biak di genangan air bersih seperti dalam bak mandi, tong air, vas bunga dan kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih. Selain itu juga senang hidup di benda-benda yang menggantung, seperti baju-baju yang ada di belakang pintu kamar; serta tempat yang gelap dan pengap. Oleh karena itu, cara yang murah dan efektif untuk memberantas nyamuk ini adalah dengan menguras tempat penampungan air bersih, bak mandi, vas bunga dan sebagainya, minimal seminggu sekali, mengingat nyamuk tersebut berkembang biak dari telur sampai menjadi dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari. Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan menampung air bersih, terutama pada musim hujan. Pintu dan jendela rumah sebaiknya dibuka setiap hari dari pagi sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut.
Untuk membasmi nyamuk dewasa dapat digunakan insektisida dari golongan malathion, sedangkan untuk mematikan jentikjentiknya digunakan temephos (larvasida yang mengandung 50% EC). Malathion dipakai dengan cara pengasapan, bukan dengan menyemprotkannya ke dinding, karena Aedes aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung. Temephos digunakan dengan cara mencampur 2,5 ml temephos dengan 10 liter air. Tiap 20 ml suspensi tersebut dapat digunakan untuk menyemprot 1 m2 area. WHO juga merekomendasikan penggunaan pirentrum 0,1-0,2% untuk penyemprotan dalam ruangan pada area berisiko tinggi dimana terdapat cluster kasus. Gigitan nyamuk dapat dihindari dengan menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang, memasang kawat nyamuk serta menggunakan kelambu saat tidur di siang hari. Selain dengan cara di atas, dapat juga dilakukan pencegahan individu dengan cara khusus seperti penggunaan obat oles kulit (insect repellent) yang mengandung DEET (diethyltoluamide) atau zat aktif EPA (Enviromental Protection Agency) lainnya. Pasien yang terkena demam chikungunya juga sebaiknya membatasi paparan terhadap gigitan nyamuk untuk menghindari penyebaran infeksi lebih lanjut, dengan beristirahat dalam ruangan tertutup atau di dalam kelambu. Daerah sekitar rumah sakit yang merawat pasien demam chikungunya juga sebaiknya bebas dari vektor chikungunya. Selain upaya perorangan, diperlukan kerjasama yang kuat antar otoritas kesehatan masyarakat untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding site) nyamuk. Hal yang tidak kalah penting adalah surveillance epidemiologi dan entomologi yang intensif. Laporan kasus-kasus demam sebaiknya diberikan oleh masyarakat dan sektor terkait untuk dimonitor secara ketat


DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Country Officer for India. Chikungunya fever. Chikungunya fever main. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.whoindia.org/EN/Section3/Section406.htm
2. WHO Regional Office for South-East Asia. Chikungunya fever information sheet. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.searo.who.int/en/Section10/Section2246.htm
3. Chikungunya fever: essential data. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.CBWInfo.com
4. Kompas Cyber Media. Chikungunya. [cited 2007 November 8]. Available from URL: http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0502/25/112020.htm
5. Judarwanto W. Penatalaksanaan demam chikungunya. [cited 2007 November 11]. Available from URL: http://www.childrenfamily.com
6. Hendro R, Rahardjo E, Maha MS, et al. Investasi kejadian Luar biasa (KLB) chikungunya di desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten Bekasi tahun 2003. [cited 2007 November 11]. Available from URL:http://www.kalbe.co.id
7. Division of Vector-Borne Infectious Diseases CDC. Chikungunya fever fact sheet. [cited 2007 November 15). Available from URL:http://www.cdc.org
8. Chhabra M, Mittal V, Bhattacharya D, et al. Chikungunya fever: a re-emerging viral infection. Indian J Med Microbial 2008; 26(1):5-12
9. Chikungunya. [cited 2007 November 15]. Available from URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Chikungunya


No comments:

Post a Comment