BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1
Pengertian
Diabetes mellitus (DM) adalah
keadaan hiperglikemik kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan
hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf
dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan
mikroskop elektron (Mansjoer, 1999).
Diabetes mellitus adalah gangguan
metabolic yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dan manifestasikan
berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price A. Sylvia, 1994).
Diabetes mellitus adalah kelainan
kronik berupa gangguan metabolisme karbohidrat karena defisiensi insulin atau
penggunaan karbohidrat secara berlebih (Nurachman, 2001).
Diabetes mellitus adalah sekelompok
kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah/hiperglikemia (Baughman,
2000).
Dari beberapa pengertian di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa diabetes mellitus adalah suatu keadaan dimana
tubuh tidak bisa mengendalikan kadar gula dalam darah, sehingga tubuh mengalami
kelebihan gula dalam darah (hiperglikemia) dan menimbulkan berbagai komplikasi.
2.1.2
Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas adalah kelenjar eksokrin
dan endokrin bertandan dengan panjang kira-kira 15 cm, lebar 5 cm dan beratnya
rata-raga 60-90 gram. Pankreas terletak pada retoperitoneal abdomen bagian
atas, di depan vertebrata lumbalis I dan II, diantara duodenum dan lien atau
kelenjar usus dua belas jari dan belakang lambung. Pankreas terdiri dari 3
(tiga) bagian yaitu kepala, badan dan ekor pankreas.
Kepala pankreas terletak di sebelah
kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya. Badan
pankreas terletak di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I. Ekor
pankreas bagian yang runcing di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh lympa
(lien). Pankreas mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fungsi endokrin dan fungsi
eksokrin. Fungsi endokrin dilaksanakan oleh pulau langerhans, sedangkan fungsi
eksokrin dilakukan oleh sel-sel sekretino. Lobulanya membentuk getah pankreas
yang berisi enzim dan elektrolit.
Pulau langerhans terdiri dari empat
sel :
1.
Sel-sel Alpha
Membuat atau menghasilkan hormon glukagon. Suatu hormon
yang meningkatkan kadar glukosa darah.
2.
Sel-sel Betha
Menghasilkan hormon insulin yaitu suatu hormon yang
berperan penting dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
3.
Sel-sel Delta
Menghasilkan hormon stomatostatin dan gastin. Hormon
stomastostatin memberikan efek growth hormon, thyrotropin, insulin dan
glikogen. Gastin memberikan pengaruh dalam meningkatkan tonus otot
gastrointestinal, meningkatkan sekresi mukosa usus.
Fungsi hormon insulin mengendalikan
kadar glukosa dan bisa digunakan sebagai pengobatan, memperbaiki kemampuan sel
tubuh dalam mengobservasi dan menggunakan glukosa dan lemak. Fungsi pulau
langerhans sebagai nurisekresi dalam pengeluaran homeostatis nutrisi,
menghambat sekresi insulin, glikogen dan polipeptida pankreas (Price A. Sylvia,
1994).
2.1.3
Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam-macam meskipun pada akhirnya akan
mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus baik pada IDDM
maupun NIDDM (Price A. Sylvia, 1994).
Secara garis besar penyebab dari
diabetes mellitus ini digolongkan menjadi dua faktor yaitu :
1.
Faktor genetik
Penyakit autoimun yang ditemukan secara genetik dengan
gejala-gejala yang pada akhirnya menuju pada proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.
2.
Faktor non genetik
Dapat disebabkan oleh infeksi virus yang dianggap
sebagai faktor utama seperti virus rubella, hepatitis, coksali, mononukrosis
infecsiosa. Gangguan nutrisi seperti : obesitas, malnutrisi, protein, alcohol
bisa juga disebabkan obat-obatan, stress yang pada akhirnya dapat menstimulasi
autoimun yang bersifat sitotoksik terhadap sel bheta (Price A. Sylvia, 1994).
Insulin Dependen Diabetes Mellitus
(IDDM) disebabkan oleh penghancuran sel betha pulau langerhans akibat proses
autoimun. Sedangkan pada Non Insulin Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan
kegagalan relatif sel betha dan resistensi insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Sel betha tidak mampu mengimbangi retensi insulin ini sepenuhnya, artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan
glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, artinya sel betha
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, 1999).
2.1.4
Patofisiologi Diabetes Mellitus
Dalam keadaan normal jika terdapat
insulin, maka asupan glukosa (produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori
akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses ini
disebut glikogenesis yang dapat mencegah hiperglikemia (kadar glukosa dalam
darah > 110 mg/dl).
Jika kadar glukosa darah melebihi
normal, maka timbulnya glikosuria ini disebabkan karena tubuli-tubuli ginjal
tidak sanggup lagi untuk mereabsorbsi semua glukosa yang ada dalam tubuli,
glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang dapat menimbulkan
peningkatan jumlah urin (poliuria), sehingga timbul rasa haus yang berlebihan
(polidipsia), karena glukosa hilang bersama urine. Dengan hilangnya kalori dan
starvasi selluler selera makan menjadi meningkat dan penderita akan sering
makan (polifagia) (Guyton, 1987).
Jika terdapat defisit insulin, empat
perubahan metabolik terjadi menimbulkan hiperglikemia :
1.
Transport glukosa yang
melintasi membran sel-sel berkurang.
2.
Glikogenesis berkurang dan
tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3.
Glikolisis meningkat, sehingga
cadangan glikogen berkurang dan glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara
terus-menerus melebihi kebutuhan.
4.
Glukoneogenesis meningkat dan
lebih banyak lagi glukosa “hati” yang tercurah ke dalam darah dari hasil
pemecahan asam amino dan lemak (Sjaifoellah, 1996).
2.1.5
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut Baughman (2000) diabetes
mellitus diklasifikasikan menjadi :
1. Diabetes mellitus tipe I : Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sel-sel betha dari pulau langerhans pankreas yang
normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh autoimun, diperlukan suntikan
insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitan mendadak biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun.
2.
Diabetes mellitus tipe II : Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas insulin.
Paling sering terjadi pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada
mereka yang obesitas.
3.
Sindrom atau kondisi lainnya
seperti : Diabetes Mellitus Gestasional (GDM), awitan selama kehamilan (pada
trimester kedua dan ketiga)
2.1.6
Manifestasi Klinis
1.
Diabetes mellitus tipe I
a.
Gejala muncul secara tiba-tiba
b.
Hiperglikemia
c.
Glikosuria, diuresis osmotik
d.
Poliuria, polidipsia dan
polifagia
e.
Gejala lain termasuk keletihan
dan kelemahan
f.
Berat badan menurun
g.
Ketoasidosis diabetik (DAK)
menyebabkan tanda-tanda dan gejala nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi,
nafas bau buah, jika tidak diatasi terjadi perubahan tingkat kesadaran, koma
dan kematian.
2.
Diabetes mellitus tipe II
a.
Gejala lamban (selama tahunan),
intoleransi glukosa progresif.
b.
Gejala seringkali ringan
seperti keletihan, mudah tersinggunh, poliuria, polidipsia, polifagia, luka
pada kulit yang sulit sembuh, kesemutan, mengantuk, infeksi vaginal,
penglihatan kabur (bila kadar glukosa sangat tinggi) (Baughman, 2000).
2.1.7
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penderita
diabetes mellitus dapat diketahui dengan hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
tersebut terdiri dari : elektrolit, penurunan gula darah, blood urea nitrogen
(BUN), serum kalasinin, dan test urin untuk menilai kadar glikosuria.
1.
Pemeriksaan darah/true glukosa
a.
Gula darah puasa (normal 70-110
mg/dl)
b.
Gula darah post prandial
diambil 2 jam setelah makan (normal kurang dari 140 mg/dl) digunakan untuk
skrining atau evaluasi pengobatan.
c.
Test toleransi glukosa oral /
TTGO (normal kurang dari 115 mg/dl) terutama pada penderita bebas diit dan
beraktifitas fisik.
d.
Lipid-lipid dalam darah sering
meningkat pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol, terutama dalam keadaan
kerosit.
e.
Jumlah eritrosit biasanya tidak
berkurang, jumlah leukosit juga normal, jika terdapat ketosis dan asidosit
berat, maka jumlah leukosit bisa meningkat sampai dengan 20.000/m3.
2.
Pemeriksaan urine
a.
Pemeriksaan Benedict (reduksi)
adanya glukosa dalam urine yang merupakan karakteristik untuk diabetes
mellitus.
b.
Konsentrasi gula dalam urine
bisa mencapai 10%, jika ada ketosis menahan urine, urine dapat mengandung
zat-zat keton dalam jumlah besar (Sjaifoellah, 1996).
3.
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang
mempunyai resiko diabetes mellitus, namun tidak menunjukkan adanya gejala
diabete mellitus. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan penderita
dengan diabetes mellitus, TGT (Toleransi Gula Terganggu), GDPT (Gula Darah
Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. (PB.
Perkeni, 2006).
Tabel 2.1. Nilai diagnostik untuk tes toleransi
glukosa
|
Darah
Vena
Mg/dL
|
Darah
Kapiler
mg/dL
|
Plasma
vena
Mg/dL
|
DM
Glukosa darah puasa
dan/atau 2 jam sesudah beban
TGT
Glukosa darah puasa
2 jam sesudah beban
|
> 120
> 180
<
120
> 120-< 150
|
> 120
> 200
<
120
> 140-< 200
|
> 140
> 200
<
140
> 140-<200 span="">200>
|
(Sumber : Sjaifoellah, 1996).
2.1.8
Komplikasi Diabetes Mellitus
Menurut
Baughman (2000) komplikasi yang berkaitan dengan diabetes mellitus digolongkan
sebagai komplikasi akut dan komplikasi kronis.
1.
Komplikasi akut
Komplikasi yang terjadi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan jangka pendek dalam glukosa darah, yaitu :
a.
Hipoglikemia
Adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kadar
glukosa dalam darah sampai dibawah 60 mg/dl. Gejala berkeringat, tremor, rasa
lapar, mual, berdebar, pusing, kesadaran menurun sampai koma.
b.
Ketoasidosis diabetik (DKA)
Adalah peningkatan jumlah keton dalam plasma akibat
peningkatan glukosa.
c.
Sindrom hyperglikemik
hiperosmolar non-ketotic (HHNK).
Adalah suatu sintrom yang ditandai dengan hiperglikemi
berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai menurunnya
kesadaran.
2.
Komplikasi kronis
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun awitan, yaitu :
a.
Makrovaskular (penyakit pembuluh
darah besar) : mengenai sirkulasi koroner, vaskular perifer dan vaskular
serebral. Glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu panjang akan menaikkan
kadar kolesterol dan trigliseri darah. Lama-kelamaan akan terjadi
aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah.
b.
Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil) :
1)
Mengenai mata (retinopati) adalah
penumputan zat-zat sisa metabolisme, gula oleh sel-sel lensa mata. Bentuk
kerusakan bisa berupa bocor dan keluar cairan atau darah yang membuat retina
bengkak atau endapan lemak yang disebut eksudat. Selain itu terjadi
cabang-cabang abnormal pembuluh darah yang rapuh yang mengakibatkan penglihatan
yang kabur.
2)
Mengenai ginjal (nefropati)
Diagnosis nefropati ditegakkan jika didapatkan kadar
albumin > 30 mg di dalam urin dalam 24 jam pada 2 dari tiga kali
pemeriksaan yang pada akhirnya berlanjut menjadi gagal ginjal stadium akhir.
c.
Penyakit neuropati : mengenai
saraf sensorik-motorik dan autonomal serta menunjang masalah seperti impotensi
dan ulkus pada kaki.
2.1.9
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan adalah
untuk menormalisasi aktivitas insulin dan kadar gula darah untuk menurunkan
perkembangan komplikasi neuropati dan vaskular. Tujuan terapeutik pada
masing-masing tipe diabetes adalah untuk mencapai kadar glukosa darah
(euglikemia) tanpa mengalami hipoglikemia dan tanpa mengganggu aktivitas
sehari-hari penderita dengan serius. Terdapat lima komponen penatalaksanaan untuk diabetes
yaitu : diit, olahraga/latihan, pemantauan, obat-obatan (sesuai kebutuhan) dan
penyuluhan.
1.
Komponen penatalaksanaan
diabetes mellitus :
a.
Pengobatan utama dari diabetes
mellitus tipe I adalah insulin
b.
Pengobatan utama dari diabetes
mellitus tipe II adalah penurunan berat badan.
c.
Aktivitas/latihan/olahraga
penting dalam meningkatkan keefektifan insulin
d.
Gunakan preparat hipoglikemia
oral jika diit dan olahraga tidak berhasil mengontrol kadar glukosa darah.
e.
Karena pengobatan bervariasi
sepanjang perjalanan penyakit akibat perubahan gaya hidup, status fisik dan emosional, juga
kemajuan terapi, secara konstan dikaji dan modifikasi rencana pengobatan juga
penyesuaian sehari-hari dalam pengobatan. Penting untuk memberikan penyuluhan basik
bagi penderita maupun keluarga (Baughman, 2000).
2.
Dasar perawatan diabetes
mellitus dititikberatkan untuk :
a.
Memberikan energi yang cukup
untuk mencapai/mempertahankan berat badan normal
b.
Mencegah terjadinya
hipoglikemia post prandial yang berlebihan.
c.
Mencegah terjadinya
hiperglikemia apabila memakai obat insulin (Sjaifoellah, 1996)
3.
Obat-obatan anti diabetik
a.
Golongan sulfonamide
Mekanisme kerja golongan obat ini adalah :
1)
Menstimulasi pelepasan insulin
yang tersimpan
2)
Menurunkan ambang sekresi
insulin
3)
Menekan pengeluaran glukogen
Obat ini bekerja dengan menstimulasi sel bheta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan.
b.
Golongan binguanid
Berfungsi untuk menurunkan kadar gula darah menjadi
normal dan tidak menyebabkan hypoglikemia.
c.
Golongan inhibitor alfa
glukosinase
Berfungsi menghambat kerja enzim alfa glukosinase di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hyperglikemia post prandial.
d.
Golongan insulin
Berfungsi meningkatkan glukosa disportat pada sel dan
mengurangi produksi glukosa hati.
e.
Insulin
Berfungsi mengendalikan kadar glukosa darah (Sjaifoellah,
1996).
2.2 Diit
Diit adalah penatalaksanaan yang
penting dari ke-2 tipe diabetes mellitus. Makanan yang masuk harus dibagi
merata sepanjang hari, ini harus konsisten dari hari ke hari. Sangat penting
bagi penderita diabetes mellitus untuk mengkoordinasikan antara makanan yang
masuk dan aktivitas sehari-hari (Moore MC, 1997).
Diit juga merupakan awal dari usaha
mengendalikan diabetes. Diit harus dapat memenuhi kebutuhan gula tubuh, tetapi
tidak boleh berlebihan. Kunci diit diabetes adalah memilih karbohidrat yang
aman. Makan makanan yang mengandung karbohidrat halus dan lemak harus dihindari
karena kurang sekali mengandung serat sehingga mudah diubah menjadi gula di
dalam darah (Vitahealth, 2004).
Meskipun demikian, penderita
diabetes mellitus tetap membutuhkan gula dalam batas yang dibutuhkan tubuh.
Keberadaan gula dalam tubuh dibutuhkan sel untuk menjalankan fungsinya.
Penderita diabetes mellitus juga tetap membutuhkan zat-zat makanan dalam bentuk
protein, hidrat arang, lemak, mineral dan vitamin. Intinya, penderita diabetes
mellitus membutuhkan makanan empat sehat lima
sempurna yang dalam konsep baru dikenal dengan menu seimbang (Kompas, 2003).
2.2.1
Tujuan Diit pada Diabetes Mellitus
Menurut Sjaifoellah (1996) tujuan
umum penatalaksanaan diit pada diabetes mellitus adalah :
1.
Mencapai dan mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati kadar normal.
2.
Mencapai dan mempertahankan
lipid mendekati kadar yang optimal.
3.
Mencegah komplikasi akut dan
kronik.
4.
Meningkatkan kualitas hidup.
2.2.2
Perencanaan Makan dan Kebutuhan Kalori pada Diabetes Mellitus
Pada dasarnya kebutuhan kalori pada
diabetes tidak berbeda dengan non diabetes, yaitu harus dapat memenuhi
kebutuhan untuk aktivitas baik fisik maupun psikis, dan untuk mempertahankan
berat badan supaya mendekati idaman. Prinsip dasar dari pemenuhan kalori
diabetes adalah :
1.
Cukup kalori untuk mencapai
atau mempertahankan BB idaman.
2.
Perhatikan adanya komplikasi,
sesuaikan dengan komplikasi
3.
Cukup vitamin dan mineral (Sjaifoellah,
1996)
Menurut
Mansjoer (1999) standar diit diabetes mellitus dipakai 8 (delapan) macam diit
yaitu dengan ukuran karbohidrat 40%, protein 15-20% dan lemak 30-40%.
Tabel 2.2.
Standar Diit Diabetes Mellitus
Macam
diit
|
Kalori
|
Protein
(gr)
|
Lemak
(gr)
|
Karbohidrat
(gr)
|
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
|
1100
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500
|
50
55
60
65
70
80
85
90
|
30
35
40
45
50
55
65
65
|
160
195
225
260
300
325
350
390
|
Keterangan :
Diit I
s/d III : Diberikan untuk penderita yang terlalu gemuk/obesitas
Diit IV
s/d VI : Diberikan untuk penderita yang berat badannya normal.
Diit
VII s/d VIII : Diberikan untuk penderita yang kurus atau juvaniele diabetes
dengan komplikasi.
Berat
badan ideal = 90% x (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg
|
|
Untuk mengetahui berapa jumlah kalori yang
dibutuhkan seorang penderita diabetes terlebih dahulu harus mengetahui berapa
berat badan ideal seseorang. Cara menghitung berat badan ideal menurut Brocca :
(Sjaifoellah, 1996).
Berat
badan ideal = tinggi badan dalam cm-100 x 1 kg
|
|
Catatan : pada laki-laki dengan tinggi badan
< 160 cm atau pada wanita < 150 cm
berlaku rumus :
Setelah mengetahui berat badan
ideal, baru dapat menghitung jumlah kalori yang dibutuhkan seorang penderita
diabetes mellitus. Ada
beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang penderita
diabetes mellitus :
1.
Menghitung kebutuhan basal
dahulu dengan cara mengalikan berat badan ideal dengan jumlah kalori :
a.
Berat badan ideal dalam kg x 30
kkal untuk laki-laki.
b.
Berat badan ideal dalam kg x 25
kkal untuk perempuan.
2.
Kemudian ditambahkan dengan
jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari :
a.
Kerja ringan : ditambah 10%
dari kalori basal.
b.
Kerja sedang : ditambah 20%
dari kalori basal.
c.
Kerja berat : ditambah 40-100%
dari kalori basal.
2.2.3
Hubungan Diit dengan Gula Darah
Pada orang normal zat gula yang
berlebih dalam tubuh disimpan menjadi otot dan lemak dengan bantuan hormon
insulin. Insulin ini bertugas mengatur kadar gula dalam darah. Sedangkan pada
penderita diabetes mellitus, hormon insulin yang seharusnya mengatur kadar gula
darah tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga kadar gula darah tetap tinggi
(Kompas, 2003).
Mereka yang tidak menderita diabetes
mellitus, masih dapat mengkonpensasi banyaknya konsumsi makanan dan kegiatan
fisik karena kapasitas sekresi insulinnya masih utuh. Tetapi penderita diabetes
mellitus tidak sanggup mensekresi insulin secara normal karena kemampuannya
hilang. Tubuh orang normal dapat menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan
dalam jumlah makanan yang masuk dan kegiatan fisik dari jam ke jam dengan
mengubah sekresi insulin, akan tetapi penderita diabetes mellitus tidak dapat
melakukan hal itu jika mereka tidak terus menerus mengatur dosis insulinnya untuk
mencegah fluktuasi yang tinggi dalam kadar glukosanya (Price A. Sylvia, 1994).
Dengan melakukan diit tinggi
karbohidrat, rendah lemak, tinggi serat dan mengurangi konsumsi gula yang
disesuaikan dengan batas toleransi penderita dapat mengurangi kerja insulin dan
memacu keaktifan produksi insulin, sehingga kadar gula darah dapat dikontrol
menjadi normal atau mendekati normal (Kompas, 2003).
2.3
Olahraga
Dari sudut ilmu kesehatan, tidak
diragukan lagi bahwa olahraga, apabila dilakukan sebagaimana mestinya menguntungkan
bagi kesehatan dan kekuatan pada umumnya. Selain itu telah lama pula olahraga
digunakan sebagai bagian pengobatan diabetes mellitus. Namun karena olahraga
bagi pengidap diabetes mellitus (bagi orang normal juga demikian) dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak biasa, bahkan mungkin tidak diharapkan maka
harus diperhatikan waktu penderita diabetes berolahraga, jenis olahraga dan
hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan olahraga (Sjaifoellah, 1996).
Olahraga atau latihan fisik adalah
salah satu cara dalam pengaturan kadar gula darah pada penderita diabetes
mellitus. Selain untuk menjaga kebugaran olahraga juga dapat menurunkan berat
badan, mempermudah transport glukosa ke dalam sel, dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (Vitahealth, 2004).
2.3.1
Jenis Olahraga pada Penderita Diabetes Mellitus
Jenis olahraga yang baik untuk
pengidap diabetes mellitus adalah olahraga yang memperbaiki kesegaran jasmani.
Oleh karena itu, harus dipilih jenis olahraga yang memperbaiki semua komponen
kesegaran jasmani yaitu yang memenuhi ketahanan, kekuatan, kelenturan tubuh
(fleksbilitas), keseimbangan, ketangkasan, tenaga dan kecepatan. Agar memenuhi,
latihan olahraga sebaiknya bersifat kontinyu (continous), ritmis (rhythmical), interval, progresif, dan
latihan ketahanan (enducance).
1. Latihan kontinue
Latihan harus berkesinambungan,
terus-menerus tanpa berhenti, contoh :
jogging selama 30 menit tanpa istirahat.
2. Latihan ritmis
Dipilih yang berirama yaitu
otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Contoh jalan kaki,
berenang.
3. Latihan interval
Olahraga yang dilakukan
selang seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat kemudian
lambat.
4. Latihan progresif
Latihan yang dilakukan
harus berangsur-angsur dari sedikit kelatihan yang lebih berat secara bertahap.
5. Latihan daya tahan
Untuk memperbaiki sistem
kardiovaskuler, sebelum mengikuti program latihan/olahraga harus dilakukan
pemeriksaan kardiovaskular terlebih dahulu. Dilakukan selama 3 hari dalam 1
minggu (Sjaifoellah, 1996).
2.3.2
Takaran Latihan Olahraga Pada Diabetes Mellitus
Terapi olahraga juga mempunyai dosis
dan takaran. Jika dosis kurang, manfaat yang diharapkan akan kurang dan jika
berlebihan akan merugikan tubuh. Takaran olahraga yang perlu diperhatikan adalah
:
1.
Intensitas latihan
Olahraga yang
bersifat ringan hingga sedang yaitu menghasilkan 60-70% detak jantung maksimum
atau MHR (Maximum Heart Rate).
Perhitungannya adalah (220-umur) dikalikan faktor keamanan (60-70%).
2.
Lama latihan
Minimal lama latihan adalah 25 menit, lebih baik jika
dilakukan selama 40-90 menit, bahan bakar yang digunakan sebagai sumber tenaga
adalah yang berasal dari asam lemak, sehingga glukosa darah dan lemak darah
(kolesterol akan digunakan tubuh, maka kadar kedua zat tersebut akan menuju
normal.
3.
Frekuensi latihan
Yang dimaksud frekuensi latihan adalah frekuensi latihan
setiap minggu. Latihan olahraga yang dilakukan 3 kali seminggu memberi efek
cukup, dan latihan olahraga yang dilakukan 4 kali memberi efek baik, dan lebih
baik jika latihan olahraga dilakukan 6 kali dalam seminggu (Sjaifoellah, 1996).
2.3.3
Hal yang Perlu Diperhatikan oleh
Penderita Diabetes yang Berolahraga
Menurut Sjaifoellah (1996) pengidap
diabetes mellitus yang melakukan olahraga harus memperhatikan hal berikut :
1.
Jangan memulai olahraga jika
kadar glukosa darah rendah, misal sebelum makan.
2.
Sepatu yang dipakai harus
benar-benar pas, karena luka sekecil apapun dapat menimbulkan komplikasi parah.
3.
Latihan harus didampingi oleh
orang yang tahu mengatasi hipoglikemia.
4.
Penderita DM harus selalu
membawa permen/gula saat latihan untuk pertolongan bila terjadi hipoglikemia.
5.
Lakukan pemeriksaan kaki
secermat mungkin selesai latihan, untuk kemungkinan terjadi perlukan dan
dilakukan pertolongan yang diperlukan (Sjaifoellah, 1996)
2.3.4
Hubungan Olahraga dengan Gula Darah
Pada orang normal glukosa disimpan
dalam otot dan hati sebagai cadangan tenaga yang berbentuk glikogen. Glikogen
yang disimpan dalam hati sebanyak 80-120 gram dan glikogen otot 300-400 gram.
Sedangkan pada pengidap diabetes mellitus, persediaan glikogen otot dan hati
relatif lebih sedikit pada orang normal. Kekurangan glikogen ini sejalan dengan
kekurangan insulin yang ada.
Peran insulin yang pasti dalam
respon metabolik terhadap olahraga tergantung pada ketersediaan insulin.
Terlalu banyak insulin akan menurunkan produk glukosa hati dan menurunkan
lipolisis. Apabila insulin dalam jumlah yang cukup atau hanya sedikit
berkurang, olahraga menurunkan kadar glukosa darah akibat pemakaian yang
meningkat dan perbaikan dalam glikogenesis hati. Jadi hasil keseluruhannya
adalah menguntungkan.
Efek baik lain dari olahraga bagi
pengidap diabetes mellitus adalah perbaikan ikatan insulin dengan reseptornya
dan perbaikan pada sensitivitas insulin. Peningkatan sensitivitas insulin hampir
selalu proporsional dengan kesegaran jasmani. Olahraga juga berpengaruh
terhadap agregasi trombosit pada pengidap diabetes mellitus yang melakukan
olahraga secara teratur. Perbaikan ini mungkin memberikan efek baik terhadap
pencegahan penyakit trombosit pada diabetes mellitus (Sjaifoellah, 1996).
2.4 Konsep Dasar Asuhan
Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan
merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat
dengan penderita, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan
yang optimal dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2.4.1
Pengkajian
Adapun data yang perlu dikaji atau
dikumpulkan :
1.
Data biografi
Data biografi yang perlu dikumpulkan
meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, pendidikan,
pekerjaan, umur berapa mulai menderita DM.
2.
Riwayat kesehatan
a.
Riwayat kesehatan sekarang
Pada riwayat kesehatan sekarang pada penderita diabetes
mellitus, biasanya penderita mudah letih, kecapean, poliuria, polipagia,
polidipsia, dan kadang disertai penurunan BB/tidak, serta riwayat menyeluruh
yang mempengaruhi kadar gula darah seperti : intake makanan, stress, infeksi,
penggunaan obat atau penyakit lainnya.
b.
Riwayat kesehatan dahulu
Sejarah atau riwayat penyakit masa lalu terutama
mengenai yang pernah dialami masa anak-anak, operasi, kebiasaan sosial, berat
badan dan apakah penyakit yang sekarang merupakan penyakit kronis serta riwayat
apakah pernah dirawat sebelumnya.
c.
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat yang terpenting adalah apakah ada anggota keluarga
yang menderita penyakit yang sama.
d.
Riwayat psikososial
Biasanya keadaan emosi penderita, rasa cemas, takut,
mudah tersinggung dan kadang penderita pemurung lebih suka berdiam diri.
Biasanya ditemukan pribadi menarik diri dalam sistem interaksi sosial.
3.
Kebutuhan sehari-hari
Yang perlu
dikaji pada penderita diabetes mellitus yaitu : banyak makan, pola eliminasi
BAK, kebiasaan sering BAK dimalam hari, warna urine kuning pucat, dehidrasi,
pola eliminasi BAB (diare atau konstipasi), pola istirahat dan tidur, serta
pola aktivitas cepat lelah.
4.
Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum : penderita lemah
Kesadaran komposmentis sampai koma, tanda-tanda vital
dalam batas normal, kecuali hipoglikemia bisa hipotensi.
b.
Mata
Fungsi penglihatan terganggu bisa ditemui dengan diplopia,
katarak retinopati.
c.
Sistem vaskuler
Terjadi impotensi.
d.
Abdomen
Akan ditemukan turgor kulit yang jelek karena terjadi
dehidrasi akibat poliuria.
e.
Genitalia
Cenderung akan mengalami penurunan libido (impotensi)
pada laki-laki dan vagina discharge bagi perempuan.
f.
Extremitas
Fungsi pergerakan menurun, sensasi perabaan menurun.
5.
Data spiritual
Menurunnya tingkat kepercayaan penderita terhadap agama karena
cenderung penderita menolak keadaannya.
6.
Data penunjang
Data penunjang meliputi program therapi dan pemeriksaan
diagnostik. Adapun pemeriksaan diagnostik adalah :
a.
Test toleransi glukosa (TTG)
menunjang lebih besar dari 200 mg/dl. Biasanya test ini dianjurkan untuk penderita
yang menunjukkan kadar glukosa darah meningkat di bawah kondisi stress.
b.
Gula darah puasa (FBS) normal
atau di atas normal (normal : 70-120 mg/dl).
c.
Essei hemoglobin glikosat di
atas rentang normal. Test ini mengukur persentse glukosa yang melekat pada
hemoglobin. Glukosa tetap melekat pada hemoglobin (rentang normal 5-6%).
d.
Urinalisis positif terhadap
glukosa dan keton.
e.
Kadar serum trigliserida dan
kolesterol dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan
peningkatan protensitas pada terjadinya aterosklerosis (Barbara Engram, 1999).
2.4.2
Diagnosa
Adapun kemungkinan diagnosa yang
mungkin timbul pada penderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1.
Defisit volume cairan aktual dan
potensial berhubungan dengan penurunan asupan cairan (Barbara C-Long, 1989).
2.
Perubahan nutrisi : lebih dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan pelanggaran intake (Susan Mautin, hal 404).
3.
Kelelahan berhubungan dengan kurangnya
produksi energi metabolic, gangguan kimia tubuh (insifisiensi insulin), energi
yang meningkat (hypermetabolik) (Marlyn, 1989).
4.
Perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan efek dari penyakit, pengurangan aliran arteri
(Marlyn, 1989).
5.
Potensial terhadap infeksi
berhubungan dengan hiperglikemia (Susan Marlyn Tucher, Edisi V).
6.
Kecemasan penderita dan
keluarga berhubungan dengan ketidaktahuan tentang penyakit dan perawatan (Maril
S, 1999).
7.
Disfungsi seksual berhubungan
dengan penurunan sensor perabaan (Marlyn E, Doengoes, 1989).
8.
Potensial komplikasi
hiperglikemia dan hipoglikemia berhubungan dengan ketidaktahuan penderita
tentang diit (Lynda Juall Carpenito, 2000).
9.
Gangguan konsep diri
berhubungan dengan pengaruh status kesehatan dan konsekuensi penyakit kronis
(Marlyn E, Doengoes, 1989).
2.4.3
Intervensi Keperawatan
Setelah mengumpulkan data lalu
membuat intervensi keperawatan :
1.
Defisit volume cairan aktual
atau potensial berhubungan dengan asupan cairan.
Intervensi :
a.
Tanyakan pada penderita waktu
adanya gejala seperti kencing berlebihan
b.
Observasi tanda-tanda vital
c.
Monitor intake dan output
d.
Timbang berat badan
e.
Berikan cairan yang telah
ditentukan
2.
Perubahan nutrisi : lebih dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan pelanggaran intake/diit.
Intervensi :
a.
Jelaskan pada penderita tujuan
therapi diit.
b.
Anjurkan penderita untuk
menjalankan diit yang telah ditentukan.
c.
Anjurkan penderita untuk
melakukan aktivitas dan latihan sesuai kemampuannya.
d.
Bantu penderita untuk
memecahkan masalah yang mempengaruhi ketaatan diit.
3.
Kelelahan berhubungan dengan
produksi energi metabolic, gangguan kimia (insufisiensi insulin) energi yang
meningkat (hipermetabolik).
Intervensi :
a.
Diskusikan tentang penghematan
energi ketiga beraktivitas
b.
Ganti aktivitas dengan waktu
istirahat
c.
Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah beraktivitas.
4.
Perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan efek perjalanan penyakit
Intervensi
:
a.
Kaji sirkulasi darah pada
daerah ekstremitas (terutama darah perifer)
b.
Anjurkan penderita untuk tidak
membiarkan kaki tergantung dalam waktu yang lama.
c.
Anjurkan penderita untuk
menghindari sepatu yang sempit.
d.
Diskusikan tentang komplikasi
penyakit dari hasil pertukaran vaskuler seperti pada luka.
e.
Berikan cara tentang perawatan
kaki yang tepat.
5.
Potensial terhadap infeksi pada
kulit berhubungan dengan hiperglikemia
Intervensi :
a.
Observasi tanda-tanda infeksi
b.
Anjurkan pada penderita untuk
tidak menggerakan daerah yang mungkin rentan terhadap infeksi.
6.
Kecemasan penderita dan
keluarga berhubungan dengan ketidaktahuan tentang penyakit dan proses perawatan
Intervensi
:
a.
Jelaskan pada penderita dan
keluarga tentang masalah/resiko yang terjadi sesuai dengan penyakitnya,
b.
Berikan kesempatan pada penderita
untuk bertanya
c.
Beri penkes tentang diit
melalui konsul ke tim medis, anti diit.
7.
Disfungsi seksual berhubungan
dengan menurunnya kemampuan sensori.
Intervensi : berikan
pendidikan kesehatan terhadap pasangan (sexual
education).
8.
Potensial komplikasi
hiperglikemia/hipoglikemia berhubungan dengan ketidaktauan tentang diit.
Intervensi
:
a.
Pantau kadar gula darah sebelum
pemberian obat-obatan hipoglikemia sebelum makan serta satu jam sebelum tidur.
b.
Observasi tanda dan gejala dari
hipoglikemia/hiperglikemia
9.
Gangguan konsep diri
berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan konsekuensi penyakit kronik.
Intervensi
:
a.
Bina hubungan saling percaya
b.
Dorong penderita untuk
mengatakan perasaannya terutama cara ia merasakan sesuatu, berpikir atau
memandang dirinya.
c.
Jaga privasi dan lingkungan
individu.
2.5 Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang dan
tinjauan pustaka di atas maka kerangka konseptual tentang hubungan diit dan
olahraga dengan kestabilan gula darah pada penderita diabetes mellitus
penelitian ini adalah :
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Variabel independen dan dependen
2.6 Definisi Operasional
Tabel 2.3. Definisi Operasional Variabel
Independen
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Cara Ukur
|
Alat Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Diit
|
Diit yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah diit yang dianjurkan untuk penderita diabetes
mellitus yang berobat di poliklinik penyakit dalam RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
|
Wawancara
|
wawancara
|
Taat, jika sesuai dengan diit yang telah
ditentukan = 1
Tidak Taat, jika tidak sesuai dengan diit
yang telah ditentukan = 0
|
Nominal
|
2
|
Olahraga
|
Olahraga yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah olahraga untuk penderita diabetes
mellitus yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
|
Wawancara
|
Wawancara
|
Teratur, jika melakukan olahraga >
3 kali seminggu dengan waktu minimal 25 menit = 1
Tidak teratur, jika melakukan olahraga <
3 kali seminggu dengan waktu
< 25 menit = 0
|
Ordinal
|
3
|
Kestabilan gula
darah
|
Gula darah yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah kadar gula darah pada penderita diabetes
mellitus yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
|
Melihat kartu/status berobat penderita
|
Observasi pendoku mentasian
|
Stabil = 1
Jika kadar gula darah:
Puasa 70-120 mg/dl
Post prandial 140-200 mg/dl
Tidak stabil = 0
Puasa > 120 mg/dl
Post prandial > 200 mg/dl
|
Nominal
|
2.7 Hipotesis
1. Ho : Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara diit dengan kestabilan gula darah pada penderita diabetes mellitus di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara diit
dengan kestabilan gula darah pada
penderita diabetes mellitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
2. Ho : Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara olahraga dengan kestabilan gula
darah pada penderita diabetes mellitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu.
Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara
olahraga dengan kestabilan gula darah
pada penderita diabetes mellitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan ketaatan diit dan olahraga dengan kestabilan gula darah
pada penderita diabetes mellitus. Tempat penelitian ini di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu dari tanggal 08 November sampai 15 November 2006.
4.1 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk
mengetahui gambaran tentang ketaatan diit, olahraga dan kestabilan gula darah
pada penderita diabetes mellitus di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
1.
Ketaatan Diit
Gambaran tentang ketaatan diit dapat dilihat pada tabel
4.1.
Tabel 4.1.
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Ketaatan Diit Penderita DM
Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Diit
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Tidak Taat
|
30
|
60%
|
Taat
|
20
|
40%
|
Total
|
50
|
100%
|
Sumber : Data primer, 2006.
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 50
orang sampel terdapat 30 orang (60%) yang tidak taat diit dan 20 orang (40%)
yang taat diit.
2.
Olahraga
Gambaran tentang olahraga pada penderita diabetes
mellitus dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Keteraturan Olahraga Penderita
DM Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Olahraga
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Tidak Teratur
|
42
|
84%
|
Teratur
|
8
|
16%
|
Total
|
50
|
100%
|
Sumber : Data primer, 2006.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 50
orang sampel terdapat 42 orang (84%) tidak teratur berolahraga dan 8 orang
(16%) teratur olahraganya.
3.
Kestabilan Gula Darah
Gambaran tentang kestabilan gula darah pada penderita
diabetes mellitus dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3.
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kestabilan Gula Darah Penderita
DM Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Gula
Darah
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Tidak Stabil
|
32
|
64%
|
Stabil
|
18
|
36%
|
Total
|
50
|
100%
|
Sumber : Data primer, 2006.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 50
orang sampel terdapat 32 orang (64%) gula darahnya tidak stabil dan 18 orang
(36%) gula darahnya stabil.
4.2 Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat
hubungan ketaatan diit dan olahraga dengan kestabilan gula darah pada penderita
diabetes melitus di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.
Hubungan Ketaatan Diit dengan
Kestabilan Gula Darah
Hasil analisis hubungan antara ketaatan diit dengan
kestabilan gula darah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.4.
Tabulasi Silang Antara Ketaatan Diit dengan Kestabilan Gula Darah
Pada Penderita Diabetes Melitus di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Diit
|
Kestabilan Gula Darah
|
Total
|
X2
|
p
|
C
|
OR
|
Tidak Stabil
|
Stabil
|
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
Tidak taat
Taat
|
28
4
|
93,3
20,0
|
2
16
|
6,7
80,0
|
30
20
|
100
100
|
24,917
|
0,000
|
0,599
|
56,000
|
Jumlah
|
32
|
64,0
|
8
|
36,0
|
50
|
100
|
Sumber : Data primer, 2006.
Pada tabel di atas ternyata dari 30
orang responden yang tidak taat diit terdapat 28 orang responden gula darahnya
tidak stabil atau 93,3% dari 30 orang dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang
diharapkan terjadi) = 19,2, dan terdapat 2 orang responden gula darahnya stabil
atau 6,7% dari 30 orang dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan
terjadi) = 10,8. Sedangkan dari 20 orang responden yang taat diit terdapat 4
orang responden tidak stabil gula darahnya atau 20,0% dari 20 orang responden
dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 12,8, dan terdapat
16 orang responden yang gula darahnya stabil atau 80% dari 20 orang responden
dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 7,2. Total
responden yang tidak taat dan taat diit dengan gula darah yang tidak stabil ada
32 orang atau 64,0% dari 50 orang responden yang berobat di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Dari total responden yang tidak taat dan taat
diit dengan gula darah yang stabil ada 18 orang atau 36% dari 50 orang
responden yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 18,0.
Dari tabel 4.4 di atas semua sel
frekuensi ekspektasi nilainya lebih dari 5. Expected
count minimum adalah 7,2 sehingga memenuhi
syarat untuk dilakukan uji chi-square,
karena tidak ada sel harapannya kurang dari 5, maka kriteria yang digunakan
adalah continuity correction.
Hasil uji chi-square continuity
correction diperoleh nilai sig. =
0,000 < α = 0,01 dan tentunya akan lebih kecil dari α = 0,05. Dengan
demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat perbedaan kestabilan
gula darah antara penderita taat diit dengan penderita tidak taat diit atau ada
hubungan yang signifikan antara diit dengan kestabilan gula darah pada
penderita diabetes melitus di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
Hal ini sesuai dengan penelitian
Laboratories dan Epidemiologi WHO (1999) yang membuktikan bahwa peningkatan
masukan makanan berlemak jenuh, rendah karbohidrat serta penurunan masukan
makanan berserat dapat berakibat menurunnya kesensitifan insulin dan
ketidaknormalan toleransi glukosa. Hans Diehl (1998) juga mengatakan bahwa gula
darah pada penderita diabetes mellitus dapat dibuat normal dan dapat
menyingkirkan pemakaian obat dan insulin jika penderita mau makan makanan dari
tumbuh-tumbuhan alami yang mengandung banyak serta, mengurangi makanan-makanan
berlemak, minyak, produk hewani, gula dan mau mengatur jumlah waktu dan macam
makanan yang dikonsumsinya.
Analisa symmetric measures digunakan untuk melihat kekuatan hubungan.
Kekuatan hubungan ini dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi (C). Nilai
ini akan dibandingkan dengan nilai koefisien kontingensi maksimum. Semakin
dekat nilai koefisien kontingensi kepada koefisien kontingensi maksimum, maka
semakin besar kekuatan hubungan antara kedua faktor, yang rumusnya adalah : Cmax = dengan m adalah harga
minimum dari banyak baris dan banyak kolom, jika dihitung nilai C = 0,707
(Sudjana, 1996).
Singgih santoso berpendapat jika
nilai koefisien kontingensi kurang dari 0,5 maka kekuatan hubungan dianggap
rendah dan jika nilai koefisien kontigensi di atas 0,5 kekuatan hubungan
dianggap tinggi.
Hasil analisis diperoleh dari
koefisien kontingensi sebesar 0,599. Nilai ini cukup dekat dengan 0,707 dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kekuatan hubungan antara ketaatan diit dengan
kestabilan gula darah adalah kuat (Sudjana, 1996).
Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh James Anderson dalam Diehl (1998) bahwa peningkatan lemak
dalam diit menurunkan kepekaan penderita diabetes mellitus terhadap insulin dan
kadar gula darah akan selalu berubah sesuai dengan jumlah lemak dan pola diit
yang dilakukan. Peningkatan jumlah lemak yang dikonsumsi dan pola diit yang
tidak terkontrol akan meningkatkan kadar gula darah penderita.
Hasil uji odds ratio (OR) didapat nilai 56,000 artinya penderita yang tidak
diit mempunyai kemungkinan 56,000 kali gula darahnya tidak stabil jika
dibandingkan dengan penderita yang taat diit.
Untuk mencegah kemungkinan
peningkatan kadar gula darah dan menjaga kestabilan kadar gula darah pada
penderita diabetes mellitus diperlukan kerjasama yang baik antara dokter,
perawat, ahli gizi, tenaga kesehatan lain serta peran penderita dengan cara
memberikan penyuluhan secara intensif mengenai penyakit yang diderita dan
dasar-dasar perawatan, menjelaskan pada penderita cara mengatur diit yang baik,
berikan daftar makanan pengganti dan ajarkan cara penggunaannya, ajarkan
penderita memantau glukosa darahnya secara mandiri, dan perlunya ditekankan
kepada penderita bahwa penyakit diabetes mellitus tidak dapat disembuhkan
sehingga penderita harus mematuhi diit yang telah ditentukan baginya.
2.
Hubungan Antara Olahraga Dengan
Kestabilan Gula Darah
Hasil analisis hubungan antara diit
dengan kestabilan gula darah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.5.
Tabulasi Silang Antara Olahraga dengan Kestabilan Gula Darah
Pada Penderita Diabetes Melitus di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Olahraga
|
Kestabilan Gula Darah
|
Total
|
p
|
OR
|
Tidak Stabil
|
Stabil
|
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
Tidak teratur
Teratur
|
31
1
|
73,8
12,5
|
11
7
|
26,2
87,5
|
42
8
|
100
100
|
0,002
|
19,727
|
Jumlah
|
32
|
69,0
|
18
|
36,0
|
50
|
100
|
Sumber : Data primer, 2006.
Tabel
di atas adalah tabulasi silang antara olahraga dengan kestabilan gula darah.
Pada tabel terlihat 42 orang responden yang tidak teratur berolahraga terdapat
31 orang responden yang gula darahnya tidak stabil atau 73,8% dari 42 orang responden,
dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 26,9, dan
terdapat 11 orang responden yang gula darahnya stabil atau 26,2% dari 42 orang
responden dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 15,1.
Sedangkan dari 8 orang responden yang teratur olahraga terdapat 1 orang
responden yang tidak stabil gula darahnya atau 12,5% dari 8 orang responden
dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 5,1, dan terdapat
7 orang responden yang stabil gula darahnya atau 87,5% dari 8 orang responden
dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 2,9. Total
responden yang tidak teratur dan teratur olahraga dengan gula darah tidak
stabil ada 32 orang responden atau 64,0% dari 50 orang responden yang berobat
di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, dengan nilai
ekspektasi (frekuensi yang diharapkan terjadi) = 32,0. Total responden yang
tidak teratur dan teratur olahraga dengan gula darah stabil ada 18 orang atau
36,0% dari 50 orang responden yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu, dengan nilai ekspektasi (frekuensi yang diharapkan
terjadi) = 18,0.
Dari
tabel 4.5 di atas terlihat bahwa ada satu sel frekuensi ekspektasi yang
nilainya kurang dari 5, maka digunakan uji exact
fisher’s. Hasil uji exact fisher’s
diperoleh nilai exact sig. (p) =
0,002. Karena nilai p < 0,05. maka
Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti terdapat perbedaan kestabilan gula
darah antara penderita yang melakukan olahraga teratur dengan penderita yang
tidak teratur olahraga atau ada hubungan yang signifikan antara olahraga dengan
kestabilan gula darah pada penderita diabetes melitus di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian di Yogyakarta yang menunjukkan efek
baik olahraga terhadap penurunan
kadar glukosa darah akibat pemakaian insulin yang meningkat dan perbaikan dalam
glikolisis hati (Sjaifoelah, 1996). Vitahealth (2004) juga mengatakan bahwa
olahraga atau latihan fisik pada penderita diabetes mellitus dapat membantu
dalam mengatur kadar gula darah, menjaga kebugaran, menurunkan berat badan,
mempermudah transport glukosa ke dalam sel, dan memperbaiki sensitivitas
insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa.
Hasil analisis symmetric measure didapat nilai koefisien kontingensi sebesar
0,424. Angka ini jauh dengan nilai Cmaks = 0,707, sehingga dapat
dikatakan bahwa kekuatan hubungan antara olahraga dengan kestabilan gula darah
adalah sedang.
Analisa
symmetric measures digunakan untuk
melihat kekuatan hubungan. Kekuatan hubungan ini dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi (C).
Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai koefisien kontingensi maksimum.
Semakin dekat nilai koefisien kontingensi kepada koefisien kontingesi maksimum,
maka semakin besar kekuatan hubungan antara 2 faktor, yang rumusnya adalah : Cmaks
= dengan m = nilai terkecil dari jumlah baris atau kolom, dalam
penelitian ini m = 2, jika dihitung hasilnya C = 0,707 (Sudjana, 1996).
Singgih
Santoso berpendapat jika nilai koefisien kontingensi kurang dari 0,5 maka
kekuatan hubungan dianggap rendah dan jika nilai koefisien kontingensi di atas
0,5 kekuatan hubungan dianggap tinggi.
Hasil
analisis diperoleh nilai koefisien kontingensi sebesar 0,424, nilai ini jauh
dari nilai koefisien kontingensi maksimum (0,707). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kekuatan hubungan antara olahraga dengan kestabilan gula darah
adalah sedang. Sedangnya hubungan ini dikarenakan ada
faktor lain selain olahraga yang berhubungan dengan kestabilan gula darah yaitu
faktor pekerjaan dan kondisi penderita (Sjaifoelah, 1996).
Berdasarkan hasil estimasi resiko
(OR) didapat nilai 19,727, artinya penderita yang tidak teratur olahraga mempunyai kemungkinan 19,727 kali
gula darahnya tidak stabil dibandingkan penderita yang olahraga teratur.
Karena kelainan dasar pada penderita
diabetes mellitus adalah resistensi insulin, maka penderita diabetes mellitus
hendaknya diberi pengertian tentang efek baik olahraga terhadap kontrol glukosa
darahnya, sekaligus diterangkan pula resiko terjadinya hipoglikemia, khususnya
bagi penderita yang mendapat insulin, harus diterangkan pula bahwa olahraga
memerlukan persyaratan dan program tertentu, jenis, takaran, dan lama latihan
untuk memberi efek baik pada kondisi penyakitnya