BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesehatan, kemampuan dan kemauan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal,
melalui terciptanya masyarakat bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh
penduduknya yang hidup dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Untuk mendukung tujuan tersebut maka
tujuan utama di bidang kesehatan dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010
adalah menurunkan angka kematian balita (Depkes
RI, 2002).
Penyakit infeksi masih merupakan
salah satu masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Peranannya dalam
menentukan tingkat kesehatan masyarakat cukup besar, karena sampai saat ini
penyakit infeksi masih termasuk ke dalam salah satu penyebab yang mendorong
tetap tingginya angka kesakitan dan angka kematian di tanah air (Depkes, 1999).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997. Menunjukkan
bahwa penyakit ISPA masih merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan
terjadinya kesakitan dan kematian pada anak di bawah umur 5 tahun (Silalahi,
2004).
Visi pembangunan kesehatan
menggambarkan masyarakat Indonesia
di masa depan yang ingin dicapai yaitu masyarakat, bangsa dan negara yang
ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup
sehat (Depkes RI, 2002).
Masyarakat umumnya baru sadar dan
memperhatikan masalah kesehatan bila sudah dihinggapi suatu penyakit. Bukankah
mencegah lebih baik dari mengobati ? Untuk mencegah suatu penyakit ada baiknya
kita mengetahui tentang penyakit tersebut. Tidak ada orang yang ingin sakit,
tapi tidak banyak orang yang tahu bagaimana cara mencegah sakit, terutama
pengetahuan bagaimana mencegah penyakit ISPA.
Infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) seperti halnya diare, merupakan sebab utama kesakitan dan kematian pada
anak-anak balita di negara berkembang. Setiap tahun ISPA membunuh kira-kira 4
juta anak balita di Asia, Afrika dan Amerika
Latin. Pneumonia merupakan ISPA yang paling berat bagi balita dan penyebab
utama hampir semua kematian. Karena infeksi saluran pernapasan akut sangat umum
sifatnya, ini merupakan beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. Rata-rata
seorang anak di suatu daerah perkotaan bisa mengalami lima sampai delapan episode ISPA setiap
tahun. Di daerah-daerah pedesaan jumlah episode sedikit lebih rendah (Depkes RI,
2004). Menurut data UNICEF, tak kurang dari 12 juta bayi di dunia meninggal
tiap tahun, 33,7 persen atau empat juta diantaranya akibat ISPA. Pada akhir
tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA
di Indonesia yang mencapai lima
kasus diantara 1000 bayi/balita. Artinya pneumonia mengakibatkan 150 ribu bayi
atau balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus
sehari, atau 17 anak per jam atau seorang bayi tiap lima menit (Silalahi, 2004).
Pemberantasan penyakit ISPA adalah
bagian dari pembangunan kesehatan dan merupakan upaya yang mendukung
peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Almatsier, 2002). Pemberantasan
penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan
dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam
pola tatalaksana tahun 1984 penyakit ISPA diklasifikasikan dalam 3 (tiga)
tingkat keparahan, yaitu ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi
ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan dan
tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan (Depkes RI,
2002).
Pada 1995, hasil survei kesehatan
rumah tangga melaporkan proporsi kematian bayi akibat penyakit sistem
pernapasan mencapai 32,1 persen, sementara pada balita 38,8 persen. Dari fakta
itulah, kemudian pemerintah Indonesia menargetkan penurunan kematian akibat
pneumonia balita sampai 33 persen pada 1994-1999, sesuai kesepakatan Declaration of the World Summit for Children
pada 30 September 1999 di New York, Amerika Serikat. Sementara itu,
berdasarkan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) bidang kesehatan, angka
kematian lima
perseribu, pada 2000 akan diturunkan menjadi 3 per seribu pada akhir 2005
(Silalahi, 2004).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota
Bengkulu tahun 2004, pola penyakit yang menduduki 10 penyakit terbanyak pada
penderita rawat jalan di Puskesmas di Kota Bengkulu untuk semua golongan umur
masih didominasi oleh penyakit infeksi dan parasit yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.1
Data 10 Penyakit Terbanyak pada penderita rawat jalan
di Puskesmas di Kota Bengkulu.
No
|
Penyakit
|
Jumlah
Kasus
|
1
|
Infeksi Akut
Saluran Pernapasan Bagian Atas
|
61.433
|
2
|
Diare
|
11.002
|
3
|
Malaria Klinis
|
10.037
|
4
|
Penyakit lain
pada saluran nafas bagian atas
|
9.849
|
5
|
Penyakit pulpa
dan jaringan periapikal
|
9.705
|
6
|
Penyakit pada
sistem otot dan jaringan pengikat
|
9.289
|
7
|
Penyakit kulit
infeksi
|
8.758
|
8
|
Penyakit kulit
alergi
|
8.183
|
9
|
Gingivitis dan
penyakit periodontal
|
7.179
|
10
|
Hypertensi
|
6.098
|
Sumber : Profil Kesehatan Kota
Bengkulu, 2004
Berdasarkan data di atas Penyakit
ISPA menduduki urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak (Dinkes Kota Bengkulu,
2005).
Berdasarkan laporan tahunan Dinas
Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2005 diperoleh data penderita ISPA terbanyak
adalah di Puskesmas Sukamerindu yaitu 3.712 kasus, peringkat kedua Puskesmas
Pasar Ikan yaitu 3.474 kasus. Bila dilihat dari umur kasus terbanyak terjadi
pada balita di Puskesmas Sukamerindu yaitu 1.090 kasus (Dinkes Kota Bengkulu,
2006). Dari laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, ternyata pada tahun
2005 telah terjadi penurunan kasus ISPA pada anak balita dari 2.858 kasus pada
tahun 2004 menjadi 1.090 kasus pada tahun 2005. Meskipun terjadi penurunan penderita
ISPA, namun angka tersebut merupakan angka terbesar di Kota Bengkulu.
Berdasarkan laporan tahunan Dinas
Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2004 di Puskesmas Sukamerindu dari 2000 balita,
jumlah balita yang ditimbang 939 anak balita (46,95%). Dari 939 anak balita,
yang berat badannya naik berjumlah 516 anak balita (54,95%) dan yang dibawah
garis merah 79 anak (8,41%) (Dinkes Kota Bengkulu, 2005). Sedangkan pada tahun
2005 dari 2106 anak balita, balita yang ditimbang berjumlah 956 anak (45,39%).
Dari 956 anak yang berat badannya naik berjumlah 285 (29,81%) dan yang berat
badannya di bawah garis merah 76 (7,95%).
Berdasarkan laporan bulanan pengelola
Program P2 ISPA di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu dari bulan Januari sampai
dengan Juni tahun 2006 tercatat sebagai berikut : Januari 335 kasus, Februari
218 kasus, Maret 227 kasus, April 209 kasus, Mei 299 kasus dan Juni 247 kasus. Sedangkan
berdasarkan laporan bulanan pengelola program gizi di Puskesmas Sukamerindu
Bengkulu dari bulan Januari sampai Juni tahun 2006 tercatat sebagai berikut :
Tabel 1.2
Data Penimbangan Anak di Puskesmas Sukamerindu
Bulan Januari-Juni 2006
Bulan
|
Jumlah
Balita
|
Jumlah
Balita
|
%
Balita
|
||||
Ditimbang
|
BB
Naik
|
BGM
|
Ditimbang
|
BB
Naik
|
BGM
|
||
Januari
|
1840
|
1002
|
76
|
4
|
54,45
|
7,58
|
0,39
|
Februari
|
2106
|
1702
|
204
|
-
|
80,81
|
11,98
|
0
|
Maret
|
2106
|
1078
|
99
|
3
|
51,18
|
9,18
|
0,27
|
April
|
2106
|
1084
|
103
|
3
|
51,47
|
9,5
|
0,27
|
Mei
|
2106
|
1054
|
123
|
8
|
50,04
|
11,66
|
0,75
|
Juni
|
2106
|
975
|
103
|
3
|
46,29
|
10,56
|
0,3
|
Sumber : Laporan Bulanan Puskesmas Sukamerindu, 2006
Berdasarkan jumlah balita yang ada,
ternyata jumlah balita yang ditimbang di atas 50% atau di atas rata-rata, hanya
pada bulan Juni yang di bawah 50% yaitu 46,29%. Dari jumlah balita yang
ditimbang, didapatkan bahwa pada bulan Februari terjadi kenaikan persentase
balita yang berat badannya naik dari 7,58% pada bulan Januari menjadi 11,98%
pada bulan Februari. Terjadi penurunan pada bulan Maret 9,18% dan April 9,5%,
tapi pada bulan Mei terjadi kenaikan kembali sebesar 11,66%. Pada bulan Juni
terjadi penurunan kembali menjadi 10,56%. Dari data yang ada, kasus terbesar
terjadi di Kelurahan Sukamerindu.
Menurut Ngastiyah (1997) faktor
predisposisi dari penyakit ISPA adalah keadaan gizi kurang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Muluki (2003) pada anak bayi dan balita di
Puskesmas Palanio. Dengan jumlah sampel 392 yang terdiri dari 196 sampel yang
menderita ISPA dan 196 sampel yang bukan penderita ISPA. Diperoleh hasil terdapat
4 faktor resiko yang bermakna dan dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak
bayi dan balita yaitu : status gizi dengan P = 0,000, kebiasaan merokok dengan
P = 0,02, status imunisasi dengan P = 0,003, umur dengan P = 0,025. Dari
keempat faktor resiko tersebut yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA
adalah status gizi.
Berdasarkan survei awal yang peneliti
lakukan pada tanggal 12 Juli 2006 terhadap 15 orang ibu yang mempunyai anak
balita didapatkan bahwa rata-rata ibu-ibu tersebut tidak tahu tentang ISPA
dengan alasan belum pernah mendapatkan informasi atau penyuluhan tentang ISPA.
Dari 15 anak balita yang dikunjungi ditemukan 9 orang anak balita dengan status
gizi baik dan 6 anak balita dengan status gizi kurang. Dari 15 anak balita
tersebut ditemukan 11 anak balita yang sedang/pernah menderita ISPA.
Berdasarkan data di atas, maka
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA
dan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Sukamerindu Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota
Bengkulu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dan
status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Sukamerindu Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota
Bengkulu ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dan status gizi balita
dengan kejadian ISPA pada anak balita.
1.3.2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk :
1.
Melihat gambaran pendidikan ibu
di Kelurahan Sukamerindu.
2.
Melihat gambaran umur ibu di
Kelurahan Sukamerindu.
3.
Melihat
gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA di Kelurahan Sukamerindu.
4.
Melihat gambaran status gizi
anak balita di Kelurahan Sukamerindu.
5.
Melihat gambaran kejadian ISPA
di Kelurahan Sukamerindu
6.
Mengetahui hubungan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kelurahan Sukamerindu.
7.
Mengetahui hubungan antara
status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kelurahan
Sukamerindu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Dinas Kesehatan Kota Bengkulu
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi Program
Penanggulangan Penyakit Menular (P2M), khususnya program penanggulangan ISPA
untuk mencapai target nasional di masa yang akan datang.
2.
Bagi Puskesmas
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi puskesmas
terutama penanggung jawab Program Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) dalam
menyusun strategi untuk menurunkan angka kejadian ISPA pada anak balita.
3.
Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang
pentingnya menjaga kesehatan anak-anak mereka, terutama balita dari masalah
kesehatan, terutama penyakit ISPA dan diare.
4.
Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti mengenai hubungan tingkat
pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada anak balita. Dan bagi
peneliti lain dapat menjadi informasi atau data dasar pada penelitian lebih
lanjut.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1.
Pengertian
Pengertian pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2003) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Menurut Notoatmodjo (2002) pengertian pengetahuan dapat juga diartikan
sebagai pemberian bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan/ pengenalan
informasi, ide dan fenomena yang diperoleh sebelumnya melalui pengindraan terhadap
objek tertentu. Sedangkan menurut Badudu (2001) pengetahuan adalah segala
sesuatu yang diketahui karena mempelajarinya, yang diketahui karena mengalami,
melihat, mendengar.
2.1.2.
Tingkatan Pengetahuan
Notoatmodjo (2005) menggambarkan
tingkat pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat,
yakni :
1.
Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2.
Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi
tersebut secara benar.
3.
Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4.
Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5.
Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
6.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (1993),
pengetahuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a.
Sosial ekonomi
Yaitu lingkungan sosial akan mendukung tingginya
pengetahuan seseorang. Sedangkan ekonomi, bila tingkat pendidikan tinggi
tingkat pengetahuan akan tinggi pula.
b.
Kultur
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
seseorang, karena informasi-informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai
tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.
c.
Pendidikan
Yaitu semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah
menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.
d.
Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan
individu, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan lebih luas,
sedangkan umur, semakin tua umur seseorang pengalaman akan semakin banyak.
Pengetahuan merupakan faktor yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman
dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebaliknya
apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan
berlangsung lama.
Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian responden (Notoamodjo, 2003).
Kesehatan menurut UU No. 23 tahun
1992 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Jadi pengetahuan kesehatan
merupakan hasil tahu akan keadaan sejahtera dari badan jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi yang diketahui
karena mengalami, melihat, mendengar.
2.1.4.
Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA
Tingkat pengetahuan yang rendah
kemungkinan dapat mengurangi rasa percaya diri dalam hal wawasan dan kemampuan.
Kemampuan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pola pikir, wawasan serta
tindakan seseorang (Suprida, 2002), khususnya tindakan ibu-ibu dalam mencegah
kejadian ISPA pada balitanya. Kurangnya pengetahuan seseorang dapat
mempengaruhi perilaku seorang ibu yang berpengetahuan rendah akan lebih jauh
dari informasi dan mengalami kesulitan dalam hal pengetahuan mengenai perawatan
kesehatan (menurut Wita dalam Saifudin, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh
Hatta (2003), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian pneumonia adalah imunisasi campak, pendidikan ibu,
pengetahuan ibu, polusi asap dapur, kepadatan rumah dan jarak ke sarana kesehatan.
Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mustika Sari (2003) yang berjudul
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu tahun 2003, didapatkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara status gizi dan status imunisasi dengan kejadian
ISPA, namun ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua dengan
kejadian ISPA.
2.2. Status Gizi Anak Balita
2.2.1.
Pengertian
Menurut Supariasa, dkk (2002) gizi
adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal
melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan
pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.
Sedangkan menurut Ngastiyah (1997) gizi adalah bahan makanan yang diperlukan
tubuh untuk kesehatan.
Menurut Marsetyo (1991) yang
dimaksud dengan zat gizi adalah zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang
dikonsumsi yang mempunyai nilai yang sangat penting seperti untuk memelihara
proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih
dalam pertumbuhan serta memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik
sehari-hari.
Status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari
nutritur dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2002). Menurut Suharjo
(1996) status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau
kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan
zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makan yang dampak fisiknya
diukur secara antropometri. Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia
di atas 1 tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006).
Jadi status gizi balita merupakan gambaran kesehatan seorang balita yang
diperoleh dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan bahan makanan baik kualitas
maupun kuantitas yang merupakan interaksi keadaan tubuh dengan lingkungannya
dan dilakukan pengukuran dengan membandingkannya dengan standar yang ada.
Menurut Suhardjo (1990) dalam
pembahasan tentang status gizi ada tiga konsep yang harus dipahami, ketiga
konsep ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ketiga konsep tersebut
adalah :
1.
Proses dari organisme dalam
menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan,
fungsi organ tubuh dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition)
2.
Keadaan yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara pemasukan gizi di satu pihak dan pengeluaran oleh organisme
di lain pihak, disebut nutriture.
3.
Tanda-tanda atau penampilan
yang diakibatkan oleh “nutriture” yang terlihat melalui variabel tertentu
disebut sebagai status gizi. Karena itu dalam menunjukkan keadaan gizi
seseorang perlu disebutkan variabel yang digunakan untuk penentuan. Misalnya
berat badan atau variabel pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan
dalam menentukan status gizi disebut indikator status gizi, yaitu indikator
tidak hanya merupakan refleksi dari status gizi tetapi juga refleksi dari
pengaruh faktor-faktor non gizi.
2.2.2.
Penilaian Status Gizi
Menurut Arisman (2004) penilaian
status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu penilaian gizi secara langsung dan
tidak langsung, untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Penilaian status gizi secara
langsung
Penilaian status gizi secara
langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis,
biokimia dan biofisik. Masing-masing penilaian tersebut akan dibahas secara
umum sebagai berikut :
a.
Antropometri
Secara umum antropometri artinya
ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh.
b.
Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode
yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan
zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata,
rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ dekat permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.
Penggunaan metode ini umumnya untuk
survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat
tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di
samping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit.
c.
Biokimia
Penilaian status gizi dengan
biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang
kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d.
Biofisik
Penentuan status gizi secara
biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya
dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik.
Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
2.
Penilaian status gizi secara
tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak
langsung dapat dibagi tiga, yaitu : survei konsumsi makanan, statistik vital
dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai
berikut :
a.
Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah
metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan
kekurangan zat gizi.
b.
Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan
statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya
dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status
gizi masyarakat.
c.
Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat
penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi.
2.2.3.
Antropometri sebagai Indikator Status Gizi
2.2.3.1.Pengertian Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos
dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi
antropometri adalah ukuran dari tubuh. Dari definisi di atas dapat ditarik
pengertian bahwa antropometri adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa, dkk,
2002).
2.2.3.2.Keunggulan Antropometri
1.
Prosedurnya sederhana, aman dan
dapat dilakukan dalam jumlah sampel besar.
2.
Relatif tidak membutuhkan
tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu
singkat dapat melakukan pengukuran antropometri.
3.
Alatnya murah, mudah dibawa,
tahan lama.
4.
Metode ini tepat dan akurat
karena dapat dibakukan.
5.
Dapat mendeteksi atau
menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
6.
Umumnya dapat mengidentifikasi
status gizi karena sudah ada ambang batas yang jelas.
7.
Metode antropometri dapat
mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu atau dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
8.
Metode antropometri gizi dapat
digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
2.2.3.3.Kelemahan Antropometri
Di samping keunggulan metode
penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan,
antara lain :
1.
Tidak sensitif; tidak dapat
membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zinc dan Fe.
2.
Faktor di luar gizi ( penyakit,
genetik dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan
sensitivitas pengukuran antropometri.
3.
Kesalahan yang terjadi pada
saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran
antropometri.
Dalam praktek, antropometri yang
sering digunakan adalah berat badan dan tinggi badan. Kadang-kadang digunakan
pula ukuran lingkar lengan atas (LLA) atau lingkaran kepala. Sebagai indikator
status gizi, ukuran-ukuran tersebut disajikan dalam bentuk indeks yang
dikaitkan dengan umur atau ukuran lainnya (Suhardjo, 1990).
2.2.3.4.Jenis-Jenis Ukuran Antropometri
Menurut Supariasa, dkk (2002)
Jenis-jenis ukuran antropometri yang sering digunakan adalah :
1.
Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu
parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif
terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari
keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat
badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indek BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
2.
Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri
yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi
badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak
seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan
akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut
di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton &
Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan gambaran
status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status
sosial-ekonomi.
3.
Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Berat badan mempunyai hubungan
linear dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat
badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan
demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya.
4.
Lingkar Lengan Atas Menurut
Umur
Lingkar lengan atas memberikan
gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar
lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas
merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh
tenaga yang bukan profesional. Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini.
Indeks lingkar lengan atas sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Pada
usia 2 sampai 5 tahun perubahannya tidak nampak secara nyata, oleh karena itu
lingkar lengan atas banyak digunakan dengan tujuan screening individu, tetapi
dapat juga digunakan untuk pengukuran status gizi.
2.2.3.5.Baku Rujukan Antropometri
Baku rujukan yang digunakan pada penelitian ini adalah baku rujukan WHO-NCHS berdasarkan Standar
Deviasi (SD). Baku
rujukan WHO-NCHS pertama kali dipublikasikan oleh WHO pada tahun 1979.
2.2.4.
Hubungan Status Gizi Balita dengan Kejadian ISPA
Menurut Ngastiyah (1997) faktor
predisposisi dari penyakit ISPA adalah keadaan gizi kurang. Menurut Nency
(2005) kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang
sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi
sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan
terjadinya infeksi khususnya diare dan ISPA pada balita.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Muluki (2003) didapatkan 4 faktor resiko yang dapat mempengaruhi kejadian
ISPA pada bayi dan balita, yaitu status gizi, kebiasaan merokok, status
imunisasi dan umur. Namun dari keempat faktor resiko tersebut yang sangat
berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah status gizi.
Gangguan gizi dan infeksi sering
bekerja sama dan bila bekerja bersama-sama akan memberikan prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor tadi masing-masing bekerja
sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi
memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi seperti penyakit
diare dan ISPA. Kuman-kuman yang kurang berbahaya bagi anak-anak dengan gizi
baik, bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi buruk (Santosa,
2004).
Marsetyo (1991) menyatakan bahwa
kekurangan dan kelebihan gizi yang diterima oleh tubuh seseorang akan sama-sama
mempunyai dampak yang negatif terhadap tubuh dan salah satu dampak negatif itu
adalah menurunnya daya tahan tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit ke
dalam tubuh.
2.3. Infeksi Saluran Pernapasan
Akut
2.3.1.
Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari
saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk adneksanya (Depkes
RI, 2002). Sedangkan menurut
Dinkes (2005) pengertian ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman (mikroorganisme (bakteri dan
virus) ke dalam organ saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari.
Menurut Silalahi (2004) ISPA adalah kata yang diadaptasi dari istilah dalam
bahasa Inggris Acute Respiratory
Infection (ARI) yang mempunyai pengertian sebagai berikut :
1.
Infeksi adalah masuknya kuman
atau organisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan
gejala penyakit.
2.
Saluran pernapasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomi mencakup saluran
pernapasan bagian atas, saluran bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini jaringan paru-paru
termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory
tract).
3.
Infeksi akut adalah infeksi
yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA
prosesnya dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
2.3.2.
Etiologi
Etiologi ISPA disebabkan lebih dari
300 jenis bakteri, virus dan rickettsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain
adalah genus streptokokus, stapilokokus, pnemokokus, hemopilus, bordetella dan
korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus,
adenovirus, koronavirus, mikroplasma, hevervirus (Depkes RI, 1996). Menurut
Nelson (1992), etiologi ISPA adalah virus dan mikoplasma.
2.3.3.
Klasifikasi, Tanda dan Gejala ISPA
Menurut Depkes RI
(1999) derajat keparahan ISPA dapat dibagi atas tiga golongan dengan tanda dan
gejalanya, yaitu sebagai berikut :
1.
ISPA ringan
Batuk, serak, yaitu bersuara parau sewaktu mengeluarkan
suara, pilek yaitu mengeluarkan lendir dan ingus dari hidung, demam, pernapasan
tanpa tarikan dinding dada dalam.
2.
ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala ISPA ringan disertai dengan satu atau lebih tanda berikut, yaitu :
a.
Pernapasan lebih dari 50 kali
per menit (pernapasan cepat)
b.
Suhu tubuh 39oC atau
lebih.
c.
Timbul bercak merah pada kulit
menyerupai bercak campak.
d.
Telinga terasa sakit atau
mengeluarkan nanah dari lubang telinga kurang dari 2 minggu.
3.
ISPA berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala ISPA ringan dan sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
a.
Adanya penarikan dinding dada
ke dalam.
b.
Tidak dapat minum.
c.
Bibir atau kulit membiru.
d.
Lubang hidung kembang kempis
dengan cukup hebat pada waktu bernapas.
e.
Anak tidak sadar atau kesadaran
menurun.
f.
Pernapasan berbunyi seperti
mengorok dan anak tampak gelisah.
2.3.4.
Faktor-faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes RI
(2004) faktor-faktor resiko ISPA terbagi atas :
1.
Faktor yang meningkatkan resiko
terjadinya ISPA
a.
Umur dibawah 2 bulan.
b.
Jenis kelamin laki-laki
c.
Gizi kurang
d.
BBLR
e.
Tidak mendapat ASI memadai
f.
Polusi udara
g.
Kepadatan tempat tinggal
h.
Imunisasi yang tidak memadai
i.
Membedung bayi
j.
Defisiensi vitamin A.
2.
Faktor-faktor yang meningkatkan
resiko kematian akibat ISPA
a.
Umur di bawah 2 bulan
b.
Tingkat sosial ekonomi rendah
c.
Gizi kurang
d.
BBLR
e.
Tingkat pendidikan ibu rendah
f.
Tingkat pelayanan kesehatan
rendah
g.
Kepadatan tempat tinggal
h.
Imunisasi yang tidak memadai
i.
Menderita penyakit kronis
2.3.5.
Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan lingkungan sangat
berpengaruh bagi pencegahan ISPA (Depkes RI, 1995). Beberapa hal yang perlu
diingat untuk mencegah ISPA adalah :
1.
Mengusahakan agar anak
mendapatkan makanan yang bergizi.
2.
Mengusahakan anak dengan
imunisasi lengkap.
3.
Menjaga kebersihan perorangan
dan lingkungan.
4.
Mencegah anak berhubungan dengan
penderita ISPA.
5.
Pengobatan segera jika sudah
terserang penyakit.
2.3.6.
Pengobatan
Menurut Depkes RI
(2002) pengobatan ISPA dibedakan atas :
1.
ISPA Ringan
Perawatan dan pengobatan ISPA ringan dapat dilakukan di
rumah. Jika anak menderita ISPA ringan, maka yang harus dilakukan bila :
1.
Demam
Dilakukan kompres dan beri obat penurun panas dari
golongan para setamol. Untuk memudahkan pemberian obat, tablet dapat digerus
atau dibubuk lalu diencerkan dengan air atau teh manis kemudian baru diminumkan
pada anak.
2.
Pilek
Jika anak tersumbat hidungnya oleh ingus, maka
usahakanlah membersihkan hidung yang tersumbat tersebut agar anak dapat
bernapas dengan lancar. Membersihkan ingus harus hati-hati agar tidak melukai hidung. Hal-hal yang perlu
diperhatikan :
1)
Suruhlah anak beristirahat atau
berbaring di tempat tidur.
2)
Memberikan cukup minuman tapi
jangan memberikan air es atau minuman yang mengandung es. Dapat diberikan teh
manis, air buah atau pada bayi dapat diberikan ASI.
3)
Berikan makanan yang cukup dan
bergizi.
4)
Anak jangan dibiarkan terkena
hawa dingin atau hawa panas. Pakaian yang ringan hendaknya dikenakan pada anak
tersebut.
5)
Hindarkan orang merokok dekat
anak yang sakit dan hindarkan dari asap/asap dapur.
6)
Perhatikan apakah ada
tanda-tanda ISPA sedang/ISPA berat yang memerlukan bantuan khusus petugas
kesehatan.
2.
ISPA sedang
Penderita ISPA sedang harus mendapatkan pertolongan dari
petugas kesehatan (perawat, bidan).
3.
ISPA berat
Penderita ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau
puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan perawatan khusus seperti
oksigen dan cairan infus.
2.4. Kerangka Konseptual
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas,
maka dapat digambarkan kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
|
|
|||||
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Variabel Independent
dan Dependent
2.5. Definisi Operasional
Tabel 2.1
Definisi Operasional Variabel Independent
dan Dependent
No
|
Variabel
|
Definisi
Operasional
|
Cara
Ukur
|
Alat
Ukur
|
Hasil
Ukur
|
Skala
Ukur
|
1
|
Pengetahuan ibu tentang ISPA
|
Kemampuan ibu untuk menjelaskan pengertian,
faktor-faktor yang mempengaruhi, klasifikasi, tanda dan gejala, cara
penularan, pencegahan dan pengobatan ISPA
|
Wawancara dan observasi
|
Kuesioner nomor 1-15
|
Baik; jika skor jawaban > median = 1
Kurang; jika skor jawaban < median = 0
|
Ordinal
|
2
|
Status gizi balita
|
Suatu keadaan status gizi balita yang diukur dengan
menggunakan pengukuran antropometri berat badan menurut umur
|
Melakukan penimbangan kemudian dibandingkan dengan baku rujukan WHO-NCHS
|
Timbangan
|
1. Gizi buruk : < -3 SD
2. Gizi kurang : < -2 SD s/d – 3 SD
3. Gizi baik : -2 SD s/d + 2 SD
4. Gizi lebih : > 2 SD
|
Ordinal
|
3
|
Kejadian ISPA
|
Jumlah balita yang pernah menderita ISPA atau sedang
sakit ISPA
|
Mengisi Kuesioner
|
Kuesioner nomor 16
|
0
: pernah/sedang
menderita ISPA
1 : tidak
pernah/ tidak sedang menderita ISPA
|
Nominal
|
2.6. Hipotesis
Ho : 1. Tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan
kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
status gizi balita ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan
Sukamerindu.
Ha : 1. Terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian
ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
2. Terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi balita ibu dengan kejadian ISPA
pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
BAB III
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Bengkulu dan waktu pelaksanaannya adalah dimulai pada bulan September-Oktober
2006.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh
ibu yang mempunyai anak balita yang berkunjung ke Posyandu pada saat penelitian
dilakukan.
Sampel
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah accidental
sampling dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia
(Notoatmodjo, 2002). Dengan kriteria sampel :
1.
Ibu-ibu yang anak balitanya dibawa
ke Posyandu.
2.
Bersedia diwawancarai
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dimana peneliti mengukur
variabel secara bersamaan dan hasil yang diperoleh menggambarkan kondisi yang
terjadi saat penelitian dilaksanakan (Notoatmodjo, 2002).
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan
untuk memperoleh data pengetahuan ibu tentang ISPA. Pengumpulan data dilakukan di
6 posyandu dengan cara menyebarkan kuesioner kepada ibu-ibu pada saat posyandu
berjumlah 15 responden setiap posyandu.
Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan
selanjutnya diolah melalui beberapa tahap, yaitu :
a.
Editing, yaitu melihat apakah data yang
diolah tersebut sudah lengkap dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian
b.
Coding, yaitu melakukan pengkodean
sehingga mempermudah dalam pengelompokan data.
c.
Tabulating, yaitu melakukan tabulasi
data berdasarkan kelompok data yang telah ditentukan ke dalam master tabel.
d.
Entry, yaitu memasukkan data yang sudah
di editing dan coding ke dalam komputer program statistik (SPSS).
e.
Cleaning, yaitu memastikan apakah semua
data sudah siap dianalisis, dilanjutkan dengan pengujian data menggunakan Chi-square.
Teknik Analisis Data
Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk
memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel yang
diteliti, baik itu variabel dependen maupun independen.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent.
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan pengetahuan ibu, status gizi balita
dengan kejadian ISPA digunakan uji Chi-square.
Dalam mengambil keputusan uji statistik, digunakan batas kemaknaan 0,05 dengan
ketentuan :
-
Jika p < 0,05 maka secara
statistik ada hubungan bermakna
-
Jika p > 0,05 maka
secara statistik tidak ada hubungan bermakna
Data yang dipresentasikan dianalisa
dengan menggunakan uji Chi-square dengan
rumus sebagai berikut :
X2 =
Keterangan : X2
= Chi-square
yang dicari
O =
Hasil observasi
E =
Nilai yang diharapkan
No comments:
Post a Comment