Friday, 22 May 2015

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DAN STATUS GIZI BALITA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesehatan, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal, melalui terciptanya masyarakat bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta mencapai derajat kesehatan yang optimal. Untuk mendukung tujuan tersebut maka tujuan utama di bidang kesehatan dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010 adalah menurunkan angka kematian balita (Depkes RI, 2002).
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Peranannya dalam menentukan tingkat kesehatan masyarakat cukup besar, karena sampai saat ini penyakit infeksi masih termasuk ke dalam salah satu penyebab yang mendorong tetap tingginya angka kesakitan dan angka kematian di tanah air (Depkes, 1999). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997. Menunjukkan bahwa penyakit ISPA masih merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan terjadinya kesakitan dan kematian pada anak di bawah umur 5 tahun (Silalahi, 2004).
Visi pembangunan kesehatan menggambarkan masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai yaitu masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat (Depkes RI, 2002).
Masyarakat umumnya baru sadar dan memperhatikan masalah kesehatan bila sudah dihinggapi suatu penyakit. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati ? Untuk mencegah suatu penyakit ada baiknya kita mengetahui tentang penyakit tersebut. Tidak ada orang yang ingin sakit, tapi tidak banyak orang yang tahu bagaimana cara mencegah sakit, terutama pengetahuan bagaimana mencegah penyakit ISPA.
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) seperti halnya diare, merupakan sebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak balita di negara berkembang. Setiap tahun ISPA membunuh kira-kira 4 juta anak balita di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pneumonia merupakan ISPA yang paling berat bagi balita dan penyebab utama hampir semua kematian. Karena infeksi saluran pernapasan akut sangat umum sifatnya, ini merupakan beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. Rata-rata seorang anak di suatu daerah perkotaan bisa mengalami lima sampai delapan episode ISPA setiap tahun. Di daerah-daerah pedesaan jumlah episode sedikit lebih rendah (Depkes RI, 2004). Menurut data UNICEF, tak kurang dari 12 juta bayi di dunia meninggal tiap tahun, 33,7 persen atau empat juta diantaranya akibat ISPA. Pada akhir tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia yang mencapai lima kasus diantara 1000 bayi/balita. Artinya pneumonia mengakibatkan 150 ribu bayi atau balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam atau seorang bayi tiap lima menit (Silalahi, 2004).
Pemberantasan penyakit ISPA adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Almatsier, 2002). Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam pola tatalaksana tahun 1984 penyakit ISPA diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tingkat keparahan, yaitu ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan dan tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan (Depkes RI, 2002).
Pada 1995, hasil survei kesehatan rumah tangga melaporkan proporsi kematian bayi akibat penyakit sistem pernapasan mencapai 32,1 persen, sementara pada balita 38,8 persen. Dari fakta itulah, kemudian pemerintah Indonesia menargetkan penurunan kematian akibat pneumonia balita sampai 33 persen pada 1994-1999, sesuai kesepakatan Declaration of the World Summit for Children pada 30 September 1999 di New York, Amerika Serikat. Sementara itu, berdasarkan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) bidang kesehatan, angka kematian lima perseribu, pada 2000 akan diturunkan menjadi 3 per seribu pada akhir 2005 (Silalahi, 2004).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2004, pola penyakit yang menduduki 10 penyakit terbanyak pada penderita rawat jalan di Puskesmas di Kota Bengkulu untuk semua golongan umur masih didominasi oleh penyakit infeksi dan parasit yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.1
Data 10 Penyakit Terbanyak pada penderita rawat jalan
di Puskesmas di Kota Bengkulu.

No
Penyakit
Jumlah Kasus
1
Infeksi Akut Saluran Pernapasan Bagian Atas
61.433
2
Diare
11.002
3
Malaria Klinis
10.037
4
Penyakit lain pada saluran nafas bagian atas
9.849
5
Penyakit pulpa dan jaringan periapikal
9.705
6
Penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat
9.289
7
Penyakit kulit infeksi
8.758
8
Penyakit kulit alergi
8.183
9
Gingivitis dan penyakit periodontal
7.179
10
Hypertensi
6.098
Sumber : Profil Kesehatan Kota Bengkulu, 2004

Berdasarkan data di atas Penyakit ISPA menduduki urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak (Dinkes Kota Bengkulu, 2005).
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2005 diperoleh data penderita ISPA terbanyak adalah di Puskesmas Sukamerindu yaitu 3.712 kasus, peringkat kedua Puskesmas Pasar Ikan yaitu 3.474 kasus. Bila dilihat dari umur kasus terbanyak terjadi pada balita di Puskesmas Sukamerindu yaitu 1.090 kasus (Dinkes Kota Bengkulu, 2006). Dari laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, ternyata pada tahun 2005 telah terjadi penurunan kasus ISPA pada anak balita dari 2.858 kasus pada tahun 2004 menjadi 1.090 kasus pada tahun 2005. Meskipun terjadi penurunan penderita ISPA, namun angka tersebut merupakan angka terbesar di Kota Bengkulu.
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2004 di Puskesmas Sukamerindu dari 2000 balita, jumlah balita yang ditimbang 939 anak balita (46,95%). Dari 939 anak balita, yang berat badannya naik berjumlah 516 anak balita (54,95%) dan yang dibawah garis merah 79 anak (8,41%) (Dinkes Kota Bengkulu, 2005). Sedangkan pada tahun 2005 dari 2106 anak balita, balita yang ditimbang berjumlah 956 anak (45,39%). Dari 956 anak yang berat badannya naik berjumlah 285 (29,81%) dan yang berat badannya di bawah garis merah 76 (7,95%).
Berdasarkan laporan bulanan pengelola Program P2 ISPA di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu dari bulan Januari sampai dengan Juni tahun 2006 tercatat sebagai berikut : Januari 335 kasus, Februari 218 kasus, Maret 227 kasus, April 209 kasus, Mei 299 kasus dan Juni 247 kasus. Sedangkan berdasarkan laporan bulanan pengelola program gizi di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu dari bulan Januari sampai Juni tahun 2006 tercatat sebagai berikut :





Tabel 1.2
Data Penimbangan Anak di Puskesmas Sukamerindu
Bulan Januari-Juni 2006
Bulan
Jumlah Balita
Jumlah Balita
% Balita
Ditimbang
BB Naik
BGM
Ditimbang
BB Naik
BGM
Januari
1840
1002
76
4
54,45
7,58
0,39
Februari
2106
1702
204
-
80,81
11,98
0
Maret
2106
1078
99
3
51,18
9,18
0,27
April
2106
1084
103
3
51,47
9,5
0,27
Mei
2106
1054
123
8
50,04
11,66
0,75
Juni
2106
975
103
3
46,29
10,56
0,3
Sumber : Laporan Bulanan Puskesmas Sukamerindu, 2006


Berdasarkan jumlah balita yang ada, ternyata jumlah balita yang ditimbang di atas 50% atau di atas rata-rata, hanya pada bulan Juni yang di bawah 50% yaitu 46,29%. Dari jumlah balita yang ditimbang, didapatkan bahwa pada bulan Februari terjadi kenaikan persentase balita yang berat badannya naik dari 7,58% pada bulan Januari menjadi 11,98% pada bulan Februari. Terjadi penurunan pada bulan Maret 9,18% dan April 9,5%, tapi pada bulan Mei terjadi kenaikan kembali sebesar 11,66%. Pada bulan Juni terjadi penurunan kembali menjadi 10,56%. Dari data yang ada, kasus terbesar terjadi di Kelurahan Sukamerindu.
Menurut Ngastiyah (1997) faktor predisposisi dari penyakit ISPA adalah keadaan gizi kurang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muluki (2003) pada anak bayi dan balita di Puskesmas Palanio. Dengan jumlah sampel 392 yang terdiri dari 196 sampel yang menderita ISPA dan 196 sampel yang bukan penderita ISPA. Diperoleh hasil terdapat 4 faktor resiko yang bermakna dan dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak bayi dan balita yaitu : status gizi dengan P = 0,000, kebiasaan merokok dengan P = 0,02, status imunisasi dengan P = 0,003, umur dengan P = 0,025. Dari keempat faktor resiko tersebut yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah status gizi.
Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan pada tanggal 12 Juli 2006 terhadap 15 orang ibu yang mempunyai anak balita didapatkan bahwa rata-rata ibu-ibu tersebut tidak tahu tentang ISPA dengan alasan belum pernah mendapatkan informasi atau penyuluhan tentang ISPA. Dari 15 anak balita yang dikunjungi ditemukan 9 orang anak balita dengan status gizi baik dan 6 anak balita dengan status gizi kurang. Dari 15 anak balita tersebut ditemukan 11 anak balita yang sedang/pernah menderita ISPA.
Berdasarkan data di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu.

1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu ?

1.3.  Tujuan Penelitian
1.3.1.      Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita.

1.3.2.      Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1.      Melihat gambaran pendidikan ibu di Kelurahan Sukamerindu.
2.      Melihat gambaran umur ibu di Kelurahan Sukamerindu.
3.              Melihat gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA di Kelurahan Sukamerindu.
4.      Melihat gambaran status gizi anak balita di Kelurahan Sukamerindu.
5.      Melihat gambaran kejadian ISPA di Kelurahan Sukamerindu
6.      Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kelurahan Sukamerindu.
7.      Mengetahui hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kelurahan Sukamerindu.

1.4.  Manfaat Penelitian
1.      Bagi Dinas Kesehatan Kota Bengkulu
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi Program Penanggulangan Penyakit Menular (P2M), khususnya program penanggulangan ISPA untuk mencapai target nasional di masa yang akan datang.
2.      Bagi Puskesmas
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi puskesmas terutama penanggung jawab Program Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) dalam menyusun strategi untuk menurunkan angka kejadian ISPA pada anak balita.
3.      Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan anak-anak mereka, terutama balita dari masalah kesehatan, terutama penyakit ISPA dan diare.
4.      Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada anak balita. Dan bagi peneliti lain dapat menjadi informasi atau data dasar pada penelitian lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.    Pengetahuan
2.1.1.      Pengertian
Pengertian pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Notoatmodjo (2002) pengertian pengetahuan dapat juga diartikan sebagai pemberian bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan/ pengenalan informasi, ide dan fenomena yang diperoleh sebelumnya melalui pengindraan terhadap objek tertentu. Sedangkan menurut Badudu (2001) pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui karena mempelajarinya, yang diketahui karena mengalami, melihat, mendengar.

2.1.2.      Tingkatan Pengetahuan
Notoatmodjo (2005) menggambarkan tingkat pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :
1.      Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2.      Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3.      Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4.      Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5.      Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.      Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.3.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a.       Sosial ekonomi
Yaitu lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang. Sedangkan ekonomi, bila tingkat pendidikan tinggi tingkat pengetahuan akan tinggi pula.
b.      Kultur
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi-informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.
c.       Pendidikan
Yaitu semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.
d.      Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan lebih luas, sedangkan umur, semakin tua umur seseorang pengalaman akan semakin banyak.
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian responden (Notoamodjo, 2003).
Kesehatan menurut UU No. 23 tahun 1992 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Jadi pengetahuan kesehatan merupakan hasil tahu akan keadaan sejahtera dari badan jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi yang diketahui karena mengalami, melihat, mendengar.

2.1.4.      Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA
Tingkat pengetahuan yang rendah kemungkinan dapat mengurangi rasa percaya diri dalam hal wawasan dan kemampuan. Kemampuan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pola pikir, wawasan serta tindakan seseorang (Suprida, 2002), khususnya tindakan ibu-ibu dalam mencegah kejadian ISPA pada balitanya. Kurangnya pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi perilaku seorang ibu yang berpengetahuan rendah akan lebih jauh dari informasi dan mengalami kesulitan dalam hal pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (menurut Wita dalam Saifudin, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Hatta (2003),  faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian pneumonia adalah imunisasi campak, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, polusi asap dapur, kepadatan rumah dan jarak ke sarana kesehatan. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mustika Sari (2003) yang berjudul Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu tahun 2003, didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA, namun ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua dengan kejadian ISPA.

2.2.    Status Gizi Anak Balita
2.2.1.      Pengertian
Menurut Supariasa, dkk (2002) gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Sedangkan menurut Ngastiyah (1997) gizi adalah bahan makanan yang diperlukan tubuh untuk kesehatan.
Menurut Marsetyo (1991) yang dimaksud dengan zat gizi adalah zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi yang mempunyai nilai yang sangat penting seperti untuk memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih dalam pertumbuhan serta memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari.
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritur dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2002). Menurut Suharjo (1996) status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas 1 tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Jadi status gizi balita merupakan gambaran kesehatan seorang balita yang diperoleh dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan bahan makanan baik kualitas maupun kuantitas yang merupakan interaksi keadaan tubuh dengan lingkungannya dan dilakukan pengukuran dengan membandingkannya dengan standar yang ada.
Menurut Suhardjo (1990) dalam pembahasan tentang status gizi ada tiga konsep yang harus dipahami, ketiga konsep ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ketiga konsep tersebut adalah :
1.      Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ tubuh dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition)
2.      Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan gizi di satu pihak dan pengeluaran oleh organisme di lain pihak, disebut nutriture.
3.      Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh “nutriture” yang terlihat melalui variabel tertentu disebut sebagai status gizi. Karena itu dalam menunjukkan keadaan gizi seseorang perlu disebutkan variabel yang digunakan untuk penentuan. Misalnya berat badan atau variabel pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan status gizi disebut indikator status gizi, yaitu indikator tidak hanya merupakan refleksi dari status gizi tetapi juga refleksi dari pengaruh faktor-faktor non gizi.

2.2.2.      Penilaian Status Gizi
Menurut Arisman (2004) penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu penilaian gizi secara langsung dan tidak langsung, untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :


1.      Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Masing-masing penilaian tersebut akan dibahas secara umum sebagai berikut :
a.       Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
b.      Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ dekat permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit.
c.       Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d.      Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.



2.      Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga, yaitu : survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut :
a.       Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b.      Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
c.       Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.

2.2.3.      Antropometri sebagai Indikator Status Gizi
2.2.3.1.Pengertian Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Dari definisi di atas dapat ditarik pengertian bahwa antropometri adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa, dkk, 2002).

2.2.3.2.Keunggulan Antropometri
1.      Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel besar.
2.      Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri.
3.      Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama.
4.      Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.
5.      Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
6.      Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi karena sudah ada ambang batas yang jelas.
7.      Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
8.      Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.

2.2.3.3.Kelemahan Antropometri
Di samping keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan, antara lain :
1.      Tidak sensitif; tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zinc dan Fe.
2.      Faktor di luar gizi ( penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.
3.      Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri.
Dalam praktek, antropometri yang sering digunakan adalah berat badan dan tinggi badan. Kadang-kadang digunakan pula ukuran lingkar lengan atas (LLA) atau lingkaran kepala. Sebagai indikator status gizi, ukuran-ukuran tersebut disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan umur atau ukuran lainnya (Suhardjo, 1990).

2.2.3.4.Jenis-Jenis Ukuran Antropometri
Menurut Supariasa, dkk (2002) Jenis-jenis ukuran antropometri yang sering digunakan adalah :
1.      Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indek BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.

2.      Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton & Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi.
3.      Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya.
4.      Lingkar Lengan Atas Menurut Umur
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini. Indeks lingkar lengan atas sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Pada usia 2 sampai 5 tahun perubahannya tidak nampak secara nyata, oleh karena itu lingkar lengan atas banyak digunakan dengan tujuan screening individu, tetapi dapat juga digunakan untuk pengukuran status gizi.

2.2.3.5.Baku Rujukan Antropometri
Baku rujukan yang digunakan pada penelitian ini adalah baku rujukan WHO-NCHS berdasarkan Standar Deviasi (SD). Baku rujukan WHO-NCHS pertama kali dipublikasikan oleh WHO pada tahun 1979.

2.2.4.      Hubungan Status Gizi Balita dengan Kejadian ISPA
Menurut Ngastiyah (1997) faktor predisposisi dari penyakit ISPA adalah keadaan gizi kurang. Menurut Nency (2005) kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi khususnya diare dan ISPA pada balita.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muluki (2003) didapatkan 4 faktor resiko yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada bayi dan balita, yaitu status gizi, kebiasaan merokok, status imunisasi dan umur. Namun dari keempat faktor resiko tersebut yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah status gizi.
Gangguan gizi dan infeksi sering bekerja sama dan bila bekerja bersama-sama akan memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor tadi masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi seperti penyakit diare dan ISPA. Kuman-kuman yang kurang berbahaya bagi anak-anak dengan gizi baik, bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi buruk (Santosa, 2004).
Marsetyo (1991) menyatakan bahwa kekurangan dan kelebihan gizi yang diterima oleh tubuh seseorang akan sama-sama mempunyai dampak yang negatif terhadap tubuh dan salah satu dampak negatif itu adalah menurunnya daya tahan tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit ke dalam tubuh.

2.3.    Infeksi Saluran Pernapasan Akut
2.3.1.      Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk adneksanya (Depkes RI, 2002). Sedangkan menurut Dinkes (2005) pengertian ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman (mikroorganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Menurut Silalahi (2004) ISPA adalah kata yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI) yang mempunyai pengertian sebagai berikut :
1.      Infeksi adalah masuknya kuman atau organisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.      Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomi mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract).
3.      Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA prosesnya dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.3.2.      Etiologi
Etiologi ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan rickettsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus streptokokus, stapilokokus, pnemokokus, hemopilus, bordetella dan korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus, mikroplasma, hevervirus (Depkes RI, 1996). Menurut Nelson (1992), etiologi ISPA adalah virus dan mikoplasma.

2.3.3.      Klasifikasi, Tanda dan Gejala ISPA
Menurut Depkes RI (1999) derajat keparahan ISPA dapat dibagi atas tiga golongan dengan tanda dan gejalanya, yaitu sebagai berikut :
1.      ISPA ringan
Batuk, serak, yaitu bersuara parau sewaktu mengeluarkan suara, pilek yaitu mengeluarkan lendir dan ingus dari hidung, demam, pernapasan tanpa tarikan dinding dada dalam.
2.      ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan disertai dengan satu atau lebih tanda berikut, yaitu :
a.       Pernapasan lebih dari 50 kali per menit (pernapasan cepat)
b.      Suhu tubuh 39oC atau lebih.
c.       Timbul bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
d.      Telinga terasa sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga kurang dari 2 minggu.


3.      ISPA berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala ISPA ringan dan sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a.       Adanya penarikan dinding dada ke dalam.
b.      Tidak dapat minum.
c.       Bibir atau kulit membiru.
d.      Lubang hidung kembang kempis dengan cukup hebat pada waktu bernapas.
e.       Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
f.       Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah.

2.3.4.      Faktor-faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes RI (2004) faktor-faktor resiko ISPA terbagi atas :
1.      Faktor yang meningkatkan resiko terjadinya ISPA
a.       Umur dibawah 2 bulan.
b.      Jenis kelamin laki-laki
c.       Gizi kurang
d.      BBLR
e.       Tidak mendapat ASI memadai
f.       Polusi udara
g.      Kepadatan tempat tinggal
h.      Imunisasi yang tidak memadai
i.        Membedung bayi
j.        Defisiensi vitamin A.
2.      Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA
a.       Umur di bawah 2 bulan
b.      Tingkat sosial ekonomi rendah
c.       Gizi kurang
d.      BBLR
e.       Tingkat pendidikan ibu rendah
f.       Tingkat pelayanan kesehatan rendah
g.      Kepadatan tempat tinggal
h.      Imunisasi yang tidak memadai
i.        Menderita penyakit kronis

2.3.5.      Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan lingkungan sangat berpengaruh bagi pencegahan ISPA (Depkes RI, 1995). Beberapa hal yang perlu diingat untuk mencegah ISPA adalah :
1.      Mengusahakan agar anak mendapatkan makanan yang bergizi.
2.      Mengusahakan anak dengan imunisasi lengkap.
3.      Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
4.      Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
5.      Pengobatan segera jika sudah terserang penyakit.
2.3.6.      Pengobatan
Menurut Depkes RI (2002) pengobatan ISPA dibedakan atas :
1.      ISPA Ringan
Perawatan dan pengobatan ISPA ringan dapat dilakukan di rumah. Jika anak menderita ISPA ringan, maka yang harus dilakukan bila :
1.      Demam
Dilakukan kompres dan beri obat penurun panas dari golongan para setamol. Untuk memudahkan pemberian obat, tablet dapat digerus atau dibubuk lalu diencerkan dengan air atau teh manis kemudian baru diminumkan pada anak.
2.      Pilek
Jika anak tersumbat hidungnya oleh ingus, maka usahakanlah membersihkan hidung yang tersumbat tersebut agar anak dapat bernapas dengan lancar. Membersihkan ingus harus hati-hati  agar tidak melukai hidung. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1)      Suruhlah anak beristirahat atau berbaring di tempat tidur.
2)      Memberikan cukup minuman tapi jangan memberikan air es atau minuman yang mengandung es. Dapat diberikan teh manis, air buah atau pada bayi dapat diberikan ASI.
3)      Berikan makanan yang cukup dan bergizi.
4)      Anak jangan dibiarkan terkena hawa dingin atau hawa panas. Pakaian yang ringan hendaknya dikenakan pada anak tersebut.
5)      Hindarkan orang merokok dekat anak yang sakit dan hindarkan dari asap/asap dapur.
6)      Perhatikan apakah ada tanda-tanda ISPA sedang/ISPA berat yang memerlukan bantuan khusus petugas kesehatan.
2.      ISPA sedang
Penderita ISPA sedang harus mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan (perawat, bidan).
3.      ISPA berat
Penderita ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan perawatan khusus seperti oksigen dan cairan infus.

2.4.    Kerangka Konseptual
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat digambarkan kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :







Variabel Independent
 

Variabel Dependent
 


 





Gambar 2.1. Kerangka Konsep Variabel Independent dan Dependent




2.5.    Definisi Operasional
Tabel 2.1
Definisi Operasional Variabel Independent dan Dependent
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur

1

Pengetahuan ibu tentang ISPA

Kemampuan ibu untuk menjelaskan pengertian, faktor-faktor yang mempengaruhi, klasifikasi, tanda dan gejala, cara penularan, pencegahan dan pengobatan ISPA


Wawancara dan observasi

Kuesioner nomor 1-15

Baik; jika skor jawaban > median         = 1

Kurang; jika skor jawaban < median  = 0

Ordinal

2

Status gizi balita

Suatu keadaan status gizi balita yang diukur dengan menggunakan pengukuran antropometri berat badan menurut umur


Melakukan penimbangan kemudian dibandingkan dengan baku rujukan WHO-NCHS

Timbangan

1.  Gizi buruk :          < -3 SD
2.  Gizi kurang  :    < -2 SD s/d – 3 SD
3.  Gizi baik : -2 SD s/d + 2 SD
4.  Gizi lebih :         > 2 SD


Ordinal
3
Kejadian ISPA
Jumlah balita yang pernah menderita ISPA atau sedang sakit ISPA
Mengisi Kuesioner
Kuesioner nomor 16
0 : pernah/sedang menderita ISPA
1  : tidak pernah/ tidak sedang menderita ISPA         
Nominal





2.6.    Hipotesis
Ho  :   1.   Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
           2.   Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
Ha  :   1.   Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.
           2.  Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Sukamerindu.



BAB  III
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu Bengkulu dan waktu pelaksanaannya adalah dimulai pada bulan September-Oktober 2006.

Populasi dan Sampel
            Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak balita yang berkunjung ke Posyandu pada saat penelitian dilakukan.
            Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia (Notoatmodjo, 2002). Dengan kriteria sampel :
1.      Ibu-ibu yang anak balitanya dibawa ke Posyandu.
2.      Bersedia diwawancarai

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dimana peneliti mengukur variabel secara bersamaan dan hasil yang diperoleh menggambarkan kondisi yang terjadi saat penelitian dilaksanakan (Notoatmodjo, 2002).
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan untuk memperoleh data pengetahuan ibu tentang ISPA. Pengumpulan data dilakukan di 6 posyandu dengan cara menyebarkan kuesioner kepada ibu-ibu pada saat posyandu berjumlah 15 responden setiap posyandu.

Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah melalui beberapa tahap, yaitu :
a.       Editing, yaitu melihat apakah data yang diolah tersebut sudah lengkap dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian
b.      Coding, yaitu melakukan pengkodean sehingga mempermudah dalam pengelompokan data.
c.       Tabulating, yaitu melakukan tabulasi data berdasarkan kelompok data yang telah ditentukan ke dalam master tabel.
d.      Entry, yaitu memasukkan data yang sudah di editing dan coding ke dalam komputer program statistik (SPSS).
e.       Cleaning, yaitu memastikan apakah semua data sudah siap dianalisis, dilanjutkan dengan pengujian data menggunakan Chi-square.



Teknik Analisis Data
            Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel yang diteliti, baik itu variabel dependen maupun independen.

            Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan pengetahuan ibu, status gizi balita dengan kejadian ISPA digunakan uji Chi-square. Dalam mengambil keputusan uji statistik, digunakan batas kemaknaan 0,05 dengan ketentuan :
-    Jika p < 0,05 maka secara statistik ada hubungan bermakna
-    Jika p > 0,05 maka secara statistik tidak ada hubungan bermakna
Data yang dipresentasikan dianalisa dengan menggunakan uji Chi-square dengan rumus sebagai berikut :
X2 =
Keterangan   :  X2 = Chi-square yang dicari
                        O   = Hasil observasi
                        E   = Nilai yang diharapkan 

No comments:

Post a Comment