Friday, 22 May 2015

HUBUNGAN KEGAWATDARURATAN PENDERITA APPENDIKSITIS YANG DILAKUKAN OPERASI DENGAN LAMANYA HARI PERAWATAN PASCA OPERASI DI RSUD



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Pembangunan di bidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal, salah satu sasarannya adalah mencapai perilaku hidup sehat dan menuntut kemandirian masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatannya.
Dalam upaya mencapai tujuan di atas maka perlu adanya program pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta pengadaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Peran rumah sakit dalam hal ini adalah sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat utamanya melalui program penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, termasuk salah satunya program penanganan Penyakit Apendiksitis.
Menurut Ilyas N (1996) dan Syamsuhidayat, dkk (1997) Apendiksitis adalah salah satu penyakit infeksi saluran pencernaan yang merupakan kasus gawat darurat bedah abdomen yang paling sering terjadi, baik berupa akut maupun kronis. Sedangkan apendik sudah menjadi nekrosis/ganggren lalu pecah dan menimbulkan peritonitis yang pada akhirnya beresiko menjadi peritonitis umum sampai menyebabkan kematian.
Syamsuhidayat dan De Jong (1997) menyatakan bahwa secara umum insiden apendiksitis adalah ± 40% dari keseluruhan kasus apendiksitis, hal ini biasanya akibat keterlambatan dalam mencari/memperoleh pertolongan medis, dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pengetahuan. Status ekonomi yang rendah, budaya dan sarana pendukung yang kurang memadai. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor umum terutama pada orang tua dan anak-anak. Pada orang tua biasanya karena adanya gejala yang sama, perubahan anatomi apendiks dan atherosclerosis, serta pada anak-anak karena dinding apendiks masih tipis anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, pendinginan yang kurang sempurna dan omentum belum berkembang. Oleh karena itu apendiksitis perforasi pada orang tua dan anak-anak tersebut sulit untuk dicegah.
Dari tingginya kasus Apendiksitis Perforasi seperti disebutkan di atas maka penulis tertarik untuk memilih judul “Hubungan Kegawatdaruratan Penderita Appendiksitis Yang Dilakukan Operasi Dengan Lamanya Hari Perawatan Pasca Operasi di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Berdasarkan survey awal yang telah penulis lakukan diperoleh jumlah pasien rawat inap dengan penyakit apendiksitis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2004-2006 dilihat dari umur dan jenis kelamin seperti tabel berikut ini :


Tabel 1
Jumlah Pasien Rawat Inap Dengan Penyakit Apendiksitis di
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2004-2006
Dilihat Dari Umur dan Jenis Kelamin
Tahun
Umur
Jumlah
Jenis Kelamin
Keluar
Laki-Laki
Perempuan
Hidup
Mati
2004
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
2 orang
7 orang
17 orang
5 orang
1 orang
16 orang
16 orang
32 orang
-
2005
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
19 orang
19 orang
74 orang
11 orang
3 orang
63 orang
63 orang
125 orang
1 orang
2006
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
11 orang
26 orang
29 orang
13 orang
2 orang
36 orang
36 orang
72 orang
-
Sumber  : Medical Record RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada hubungan kegawatdaruratan penderita appendiksitis yang dilakukan operasi dengan lamanya hari perawatan pasca operasi di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.3.  Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kegawatdaruratan penderita apendiksitis yang dilakukan operasi dengan lamanya hari perawatan pasca operasi di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4.  Manfaat Penelitian
1.4.1.     Bagi Mahasiswa
Meningkatkan wawasan mengenai langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian, menambah pengalaman serta pengetahuan tentang kejadian Apendiksitis.
1.4.2.     Bagi Tempat Penelitian / RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Sebagai masukan bagi pihak Rumah Sakit dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada pasien dengan post operasi apendiktomy dan upaya pencegahan apendiksitis.
1.4.3.     Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan acuan bagi adik tingkat berikutnya dalam melaksanakan penelitian dan memperkaya perpustakaan sebagai bahan acuan.












BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.    Konsep Dasar Apendiksitis
1.      Pengertian
Apendiksitis adalah suatu peradangan pada appendik yang berbentuk cacing yang berlokasi di dekat katub ileoceceal (Barbara C. Long, 1995).
Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, Arif, 2000 : 307).
Apendiksitis merupakan inflamasi apendiks, suatu bagian seperti kantung yang non-fungsional dan terletak di bagian inferior sekum. (Ester, Monica, 2002)
Apendiksitis adalah peradangan apendiks vermiformis (Dorland, 1996).
Apendiksitis adalah merupakan salah satu penyakit saluran pencernaan yang paling umum ditemukan dan yang paling sering memberikan keluhan abdomen yang akut (acu abdomen) (Patologi II             Edisi 4).
Apendiksitis adalah kasus gawat bedah abdomen yang paling sering terjadi (Ilmu Penyakit Dalam Jilid II).
Apendiktomy adalah pengangkatan apendiks terinflamasi dapat dilakukan pada pasien dengan menggunakan pendekatan endoskopi, namun adanya perlengkapan multiple posisi retroperitoneal dari apendiks atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (David Wats MD, 1984).
Apendictomy adalah pengangkatan secara bedah apendiks vermiformis (Dorland, 1996).
Apendiksitis acute adalah apendiksitis dengan mula gejala akut yang memerlukan intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di kuadran abdomen kanan bawah dan dengan nyeri tekan lokal dan alih tidak hanya terjadi pada titik Mc. Burney tetapi bisa juga terjadi pada daerah umbilikus, spasme otot yang ada di atasnya dan hiperestesia kulit (Dorland, 1996).
Apendiksitis merupakan suatu peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Apendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi (Sylvia, A, Price, 1994).
Jadi dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa apendiksitis adalah penyakit saluran pencernaan dimana terjadi peradangan pada apendiks (umbai cacing) yang berlokasi dekat katup ileoceceal.

2.      Anatomi Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjang ± 10 cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Pada 65% kasus, apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang meso apendiks penggantungnya. Pada kasus lain apendiks terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang colon ascendens/di tepi lateral colon ascendesn. Gejala klinis apendiksitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X, karena itu nyeri visceral pada apendiksitis bermula di sekitar umbilicus. Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikularis, jika tersumbat maka akan terjadi ganggren.
Fungsi apendiks tidak diketahui. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selan mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenisasi apendiksitis. Diperkirakan apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah Ig A. immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.



3.      Etiologi
Faktor-faktor penyebab apendiksitis antara lain :
a.       Hyperplasia dari folikel lympoid (50%)
b.      Fekolith dalam lunen apendiks (35%)
c.       Adanya benda asing seperti cacing dan biji-bijian (4%)
d.      Struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya (1%)
e.       Sebab-sebab lain seperti keganasan/karsinoma (10%) (Sylvia, A. Price, 1994)
Menurut Sjamsuhidayat dan De jong (1997) apendiksitis perforasi biasanya akibat keterlambatan dalam mencari/memperoleh pertolongan medis, dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pengetahuan, status ekonomi yang rendah, budaya dan sarana pendukung yang kurang memadai. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada orang tua dan anak-anak. Pada orang tua biasanya karena adanya gejala yang samar, perubahan anatomi apendiks dan atherosclerosis, serta pada anak-anak karena dinding apekdik masih tipis anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, pendindingan yang kurang sempurna.
Apendiksitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal yang berperan sebagai faktor pencetus : sumbatan lumen apendiks yang disebabkan oleh cacing askaris, hyperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendiksitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica, kebiasaan makan makanan rendah serta dan konstipasi.
Apendiksitis kronis disebabkan oleh fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan partial atau ottal lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

4.      Patofisiologi


 















Gambar 1. Patofisiologi Apendiksitis
(Sumber : Arif Mansjoer, 2000)

Apendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbangan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fikosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma.
Obstruktsi tersebut menyebabkan mukus diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi mukosa pada saat inilah terjadi apendiksitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendiksitis sukuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene stadium ini disebut dengan apendiksitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah akan terjadi apendiksitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendukularis, peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendik lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Arif Mansjoer dan Barbara C. Long, 2000).

5.      Manifestasi Klinis
a.       Tanda awal : nyeri mulai di epigastrium/region umbilikus disertai mual dan anoreksia.
b.      Nyeri pindah ke kanan bawah (yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk) dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney : nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
c.       Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung :
1)      Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan (Rovsing Sign).
2)      Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepas (Blumberg).
3)      Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk, mengedan.
d.      Nafsu makan menurun
e.       Demam yang tidak terlalu tinggi
f.       Biasanya terdapat konstipasi, tapi kadang-kadang terjadi diare.
Gejala-gejala permulaan pada apendiksitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya berlangsung  lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan sekitar titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan leukosit meningkat bila rupture apendiks terjadi nyeri sering sekali hilang secara dramatis untuk sementara.

6.      Klasifikasi
a.       Apendiksitis akut focalis atau segmentasi
Yang biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh rongga apendiks 1/3 distal berisi nanah.
1)      Apendiksitis akut purulenta (supurativa) diffusa
Yaitu pembentukan nanah yang berlebihan pada seluruh rongga apendiks juga mengandung nanah berwarna merah karena perdarahan mukosa bengkak dan dapat terlepas sehingga terbentuk tukak-tukak.
2)      Apendiksitis akut
Yaitu disebabkan oleh trauma misalnya pada kecelakaan atau pada operasi.

b.      Apendiksitis kronis
Gejala-gejalanya lebih samar-samar maka lebih jarang ditemukan dan semua rasa nyeri yang kurang jelas pada perut kanan bawah. (Sylvia, A. Price, 1994).

7.      Komplikasi
a.       Yang paling sering adalah :
1)      Perforasi
Insidens perforasi 10-32%, rata-rata 20%, paling sering terjadi pada usia muda sekali atau terlalu tua, perforasi timbul 93% pada anak-anak di bawah 2 tahun antara 40-75% kasus usia di atas 60 tahun ke atas. Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi insiden meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,5oC tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
2)      Peritonitis
Adalah trombofebitis septik pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39oC-40oC menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang relatif jarang.
b.      Tromboflebitis supuratif dari sistem portal, jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal.
c.       Abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain.
d.      Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
8.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Laboratorium
Ditemukan leukositosis 10.000 s/d 18.000/mm3, kadang-kadang dengan pergeseran ke kiri leukositosis lebih dari 18.000/mm3 disertai keluhan/gejala apendiksitis lebih dari empat jam mencurigakan perforasi sehingga diduga bahwa tingginya leukositosis sebanding dengan hebatnya peradangan.
b.      Radiologi
Pemeriksaan radiology akan sangat berguna pada kasus atipikal. Pada 55% kasus apendiksitis stadium awal akan ditemukan gambaran foto polos abdomen yang abnormal, gambaran yang lebih spesifik adanya masa jaringan lunak di perut kanan bawah dan mengandung gelembung-gelembung udara. Selain itu gambaran radiologist yang ditemukan adanya fekalit, pemeriksaan barium enama dapat juga dipakai pada kasus-kasus tertentu cara ini sangat bermanfaat dalam menentukan lokasi sakum pada kasus “Bizar”. Pemeriksaan radiology X-ray dan USG menunjukkan densitas pada kuadran kanan bawah atau tingkat aliran udara setempat.
c.       Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1)      Pada fluoroscopy sekum dan ileum terminasi tampak irritable.
2)      Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa dicapai dengan jari telunjuk.
3)      Uji psoas dan uji obturator (Sylvia, A. Price, 1994)
9.      Penatalaksanaan
a.       Sebelum operasi
1)      Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendiksitis sering kali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan, pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendiksitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2)      Intubasi bila perlu (tindakan memasukkan bumbung ke dalam suatu alat tubuh, khususnya kedalam pangkal tenggorokan melalui celah tenggorok (glottis) untuk mencegah mati lemas, karena penyempitan pangkal tenggorokan) (Christine Hancok, 1999)
3)      Antibiotik (diberikan setelah pasca operasi apendiksitis yang bertujuan untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan pada luka, di samping itu ditambah dengan vitamin untuk mempercepat pertumbuhan jaringan pada luka operasi) (Sulistia, G, 1995)
b.      Operasi apendiktomy
Ada 3 cara apendiktomy yang mempunyai keuntungan dan kerugian :
1)      Insisi menurut Mc. Burney (grid incision atau muscle splitting incision)
Sayatan yang dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada sepertiga lateral (titik Mc. Burney) sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia, otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayar untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar, mengkilat, lebih kelabu/putih, mempunyai haustra dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrac atau taenia koli, basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia kolo.
Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi lebih lama lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.
2)      Insisi menurut Roux (musicle catting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut  tanpa memperdulikan arah tersebut sampai tampak peritoneum, keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak. Masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi kadang-kadang dengan hematoma yang terinfeksi dan masa penyembuhan lebih lama.
3)      Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral musculus rektus abdominalis dekstra secara vertikal dari cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya teknik ini dapat dipakai kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah, sedangkan kerugiannya sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.
Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli, untuk membebaskannya dari masa apendiks ada dua cara yang dapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi yaitu :
a)      Apendiktomy secara biasa bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks untuk memotong mesoapendiks ini dilakukan pada apendiks yang tergantung bebas pada sekum atau bila puncak apendiks mudah ditemukan.
b)      Apendiktomy secara retrograd : bila kita memotong masoapendiks dari basis ke arah puncak, ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit : misalnya retrosekal atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi, misalnya karena telah terjadi perlengkapan dengan sekitarnya.
c.       Pasca Operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan, angkat sonde lambung bila pasien sudah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya berikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (Kapita Selekta Kedokteran Edisi II, Arif Mansjoer
d.      Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah berikan penatalaksanaan seperti dalam peritonitis akut, dengan demikian gejala apendiksitis akut akan merata dan kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang.
e.       Gizi pada Pasien Bedah
Tujuan mengusahakan agar keadaan penderita segera kembali seperti normal. Prinsip pemberian makanan adalah makanan diberikan secara bertahap dimulai dari cair, saring, lunak dan biasa, perpindahan makanan dari tahap ke tahap tergantung dari macam operasi dan keadaan penderita. Pasca bedah kecil, makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa. Pasca bedah besar, makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan penderita untuk menerimanya.
1)      Makanan pasca bedah I
Cara memberikan :
Diberikan berupa air atau teh manis seperti pada makanan cair, rata-rata 15 kali sehari, makanan ini diberikan dalam jangka waktu sependek mungkin karena kurang semua zat gizi.
Tabel 2.1.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah I
Nilai Gizi
30 ml/jam
60 ml/jam
90 ml/jam
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Cairan
193 gr
0,7 gr
0,3 gr
49 gr
450 ml
385 gr
1,4 gr
0,6 gr
99 gr
900 ml
578 gr
2,1 gr
0,8 gr
148 gr
1350 ml
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

2)      Makanan pasca bedah II
Merupakan perpindahan dari makanan pasca bedah I pada pasca bedah besar saluran pencernaan. Data pasca bedah kecil dan bedah besar di luar saluran pencernaan dapat dilangsungkan ke makanan pasca bedah III.
Diberikan berupa minuman manis, sari buah dan susu telur, rata-rata 16 kali sehari, jumlah cairan yang diberikan tiap jam tergantung keadaan penderita, makanan ini diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin karena tidak cukup mengandung zat gizi.


Tabel 2.2.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah II

Bahan Makanan
30 ml/jam
60 ml/jam
90 ml/jam
Maezaena
Telur
Tomat
Margarin
Gula pasir
Cairan
5 gr-1 sdm
50 gr-1 btr
100 gr-2 bh
5-½ sdm
25-5 sdm
25-2½ sdm 
10-2 sdm
100-2 btr
200-4 bh
10-1 sdm
50-55 sdm
1000-5 gls
15-3 sdm
150-3 btr
300-6 bh
15-1½ sdm
75-155 sdm
1500-7½ gls 
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

Tabel 2.3.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah II
Nilai Gizi
30 ml/jam
60 ml/jam
90 ml/jam
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
Besi
Vitamin A
Vitamin C
Thiamin
425
19 gr
18 gr
49 gr
0,5 gr
21 mg
244251
42 mg
0,2 mg
850
38 gr
35 gr
98 gr
0,9 gr
42 mg
488451
85 mg
0,4 mg
1280
57 gr
53 gr
147 gr
1,4 gr
6,3 mg
732751
127 mg
0,7 mg
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

3)      Makanan pasca bedah III
Diberikan dalam bentuk air, susu, sari buah, biscuit, sup atau bubur saring tanpa bumbu merangsang cairan melebihi 2000 ml sehari.







Tabel 2.4.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah III

Bahan Makanan
Berat
Ukuran rata-rata (Urt)
Beras
Maezena
Biskuit
Daging
Telur
Sayuran
Buah
Margarin
Tepung susu
Gula pasir
60
50
20
100
150
100
200
20
90
70
2 gls bubur saring
10 sdm
2 bh
½ gls daging giling saring
3 btr
1 gls
1 gls pepaya saring
2 sdm
18 sdm
7 smd
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

Tabel 2.5.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah III
Nilai Gizi
Ukuran Rata-rata (Urt)
Nilai Gizi
Ukuran Rata-rata (Urt)
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
1990
73 gr
84 gr
236 gr
1,2 gr
Besi
Vitamin A
Thiamin
Vitamin C

12,8 gr
0,03 gr
0,9 gr
174 mg

Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.


4)      Makanan pasca bedah IV
Diberikan sebagai makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan dan 1 kali makanan selingan.



Tabel 2.6.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah IV
Bahan Makanan
Berat
Ukuran rata-rata (Urt)
Beras
Daging
Telur
Tempe
Kacang hijau
Sayuran
Buah
Minyak
Gula pasir
Tepung susu
Maezan
200 gr
100 gr
50 gr
100 gr
25 gr
200 gr
200 gr
25 gr
40 gr
40 gr
15 gr
4 gls nasi tim
2 ptng sdng
1 btr
4 ptng sdng
2½ sdm
2 gls
2 ptng pepaya sedang
2½ sdm
4 sdm  
8 sdm
3 sdm
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

 Tabel 2.7.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah IV
Nilai Gizi
Ukuran Rata-rata (Urt)
Nilai Gizi
Ukuran Rata-rata (Urt)
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
2046
76 gr
64 gr
295 gr
0,7 gr
Besi
Vitamin A
Thiamin
Vitamin C

12,2 gr
8927 SI
0,9 mg
111 mg

Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

5)      Makanan pasca bedah V
Diberikan sebagai makanan lunak yang dibagi dalam 6 kali makan dalam porsi yang sama, jumlah cairan bebas.



 Tabel 2.8.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah V
Bahan Makanan
Berat
Ukuran rata-rata (Urt)
Beras
Roti
Maezena
Daging
Telur
Sayuran
Buah
Margarine
Tepung susu
Gula pasir
90 gr
40 gr
30 gr
100 gr
100 gr
200 gr
200 gr
35 gr
60 gr
60 gr
2 ¼ gls nasi tim
2 ptng
6 sdm
2 ptng sdg
2 btr
2 gls
2 ptng pepaya sdg
3½ sdm
½ sdm
6 sdm
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.

f.       Penyembuhan Luka
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul perubahan suhu. Zat kimia listrik atau gigitan hewan. Fase dalam proses penyembuhan luka berbagai dalam 3 fase yaitu :
No
Fase
Proses
Gejala + Tanda
I
Inflamasi
Reaksi radang
Dolor, rubor, kalor, tumor dan futio lasea

II
Prolifferasi
Regenerasi/ fibroplasia
Jaringan oranulasi/kalus tulang penutupan : epitel : endota mesotel.

III
Penyembuhan
Pematangan dan perumpaan kembali
Jaringan parut dan fibrosis

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder.  Cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama pada luka yang terbuka lebar.
Sedangkan penyembuhan luka primer, yaitu : apabila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang biasanya lebih halus dan kecil. Namun penjahitan tidak dapat dilakukan pada luka tambak, atau luka yang compang-camping.

2.2.    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan agar dapat berhasil dengan baik dan sistematis penulis menggunakan proses keperawatan mempunyai 5 tahap yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.      Pengkajian
a.       Identitas pasien
Nama pasien, jenis kelamin, agama, pekerjaan, suku bangsa, umur, status perkawinan, alamat, dan identitas penanggung jawab.
b.      Riwayat kesehatan
1)      Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya pasien pernah dirawat di rumah sakit dan apakah pasien pernah operasi sebelumnya dan apakah pasien pernah menderita penyakit yang sama yang sedang di deritanya pada saat ini.
2)      Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat ini mengkaji apakah tingkat kesadaran sudah pulih dimana lokasi luka operasi, berapa panjangnya, berapa jahitannya, apakah ada tanda infeksi didaerah luka, tingkatan nyeri, mual, muntah.
3)      Riwayat kesehatan keluarga
Adakah dalam keluarga ada yang menderita sakit yang sama seperti yang dialami pasien dan adakah penyakit keturunan seperti diabetes melitus, hipertensi, dll.
c.       Pengkajian pasca operasi
1)      Kaji tingkat kesadaran
a)      Waspada
b)      Berorientasi
c)      Kacau mental
d)     Disorientasi
e)      Letargi
f)       Berespon dengan tepat terhadap perintah
g)      Tak berespon
2)      Ukur tanda-tanda vital
3)      Auskultasi bunyi nafas
4)      Kaji kulit
a)      Warna
b)      Bengkak
c)      Suhu (hangat, dingin)
5)      Inspeksi status balutan
Mengkaji apakah balutan di daerah sekitarnya bersih, kering dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
6)      Mengkaji terhadap nyeri atau mual
Pasien mengalami nyeri pada daerah luka operasi
7)      Kaji status alat instrusif
a)      Infus intravena
(1)   Tipe cairan
(2)   Kecepatan aliran
(3)   Sisi infus terhadap tanda-tanda infiltrasi atau flebitis
b)      Alat drainase luka, jamin alat benar
c)      Kateter foley
(1)   Selang bebas lipatan
(2)   Warna dan jumlah urin
(3)   Selang ditempatkan pada paha atau abdomen (untuk pria)
d)     Selang NGT untuk penghisapan
(1)   Warna dan jumlah drainase
8)      Periksa laporan ruang pemulihan terhadap :
a)      Adanya obat yang diberikan
b)      Masukan dan haluaran urine
c)      Perkiraan kehilangan darah
9)      Palpasi nadi pedialis secara bilateral
10)  Evaluasi laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah enestasi.
2.      Diagnosa Keperawatan
Menurut Susan Martin Tuker (1998) :
a.       Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan efek luka operasi.
b.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang kurang.
c.       Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan nyeri daerah operasi.
d.      Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi.
e.       Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya luka operasi.
f.       Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.      Perencanaan
Tahap perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi apendiktomy adalah sebagai berikut :
a.       Diagnosa I
Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan efek luka operasi.
1)      Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan efek luka operasi teratasi.
2)      Kriteria
a)      Pasien bebas dari nyeri atau nyeri yang minimal.
b)      Pasien tenang
c)      Pasien tidak meringis kesakitan
d)     Skala nyeri 1 (0 : tidak nyeri, 1-4 : nyeri ringan, 5-7 : nyeri sedang, 8-10 : nyeri berat).
3)      Rencana Tindakan
a)      Kaji nyeri, catat lokasi nyeri, waktu dan skala nyeri
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan, sehingga dapat menentukan langkah yang tepat untuk mengatasi masalah pasien.
b)      Pertahankan posisi pasien dengan posisi semi fowler
Rasional : dengan posisi semi fowler dapat menghilangkan tegangan pada otot perut.
c)      Ajarkan pasien teknik relaksasi dengan menarik nafas dalam
Rasional : dengan menarik nafas dalam dapat mengurangi ketegangan otot perut.
d)     Anjurkan pasien untuk mengurangi gerakan dengan menggunakan obat otot perut.
Rasional : karena gerakan otot perut dapat meningkatkan tegangan dan intensitas nyeri pada luka operasi.

e)      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik
Rasional : obat analgetik dapat mengurangi rangsangan rasa nyeri (Pearce, Evelyn. C, 2000).
b.      Diagnosa 2
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang kurang.
1)      Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang kurang.
2)      Kriteria
a)      Membran mukosa lembek
b)      Keseimbangan cairan yang masuk dan pengeluaran stabil.
c)      Tanda vital stabil
3)      Rencana Tindakan
a)      Kaji pulihnya peristaltik usus
Rasional : untuk mengetahui apakah usus sudah bekerja kembali.
b)      Observasi tanda-tanda vital
Rasional : dengan mengobservasi tanda-tanda vital dapat mengetahui hipotensi atau demam yang dapat menunjukkan respon terhadap kekurangan cairan.
c)      Observasi kulit kering, membran mukosa dan penurunan turgor kulit.
Rasional : untuk mengurangi apakah pasien kehilangan cairan yang berlebihan.
d)     Timbang berat badan pasien setiap hari
Rasional : untuk mengetahui apakah adanya penurunan pada berat badan pasien.
e)      Observasi porsi makan yang dihabiskan
Rasional : untuk mengetahui berapa banyak makanan yang dihabiskan dan apakah ada peningkatan (Pearce, Evelyn. C, 2000).
c.       Diagnosa 3
Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan nyeri daerah operasi
1)      Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan pola istirahat tidur yang berhubungan dengan daerah operasi teratasi.
2)      Kriteria
a)      Pola tidur pasien terpenuhi
b)      Frekuensi tidur 6-8 jam/hari
c)      Pasien tampak segar
d)     Mata pasien tidak sayu.
3)      Rencana Tindakan
a)      Jelaskan pada pasien tentang penyebab gangguan tidur
Rasional : dengan mengetahui penyebab gangguan tidur diharapkan pasien bekerjasama dalam tindakan keperawatan.
b)      Atur posisi pasien senyaman mungkin
Rasional : dengan posisi yang nyaman dapat mengurangi ketegangan otot sehingga nyeri berkurang dan pasien dapat tidur dengan tenang.
c)      Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien dengan membatasi pengunjung
Rasional : dengan suasana yang nyaman diharapkan pasien dapat tidur dengan tenang.
d)     Alihkan perhatian pasien pada hal-hal yang menarik
Rasional : dengan hal-hal yang menarik akan lebih mudah mengalihkan perhatian pasien sehingga konsentrasi pasien tidak terfokus pada nyeri (Pearce, Evelyn. C, 2000).
d.      Diagnosa 4
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang perawatan di rumah sakit dan kebutuhan evaluasi.
1)      Tujuan
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan pada pasien dan keluarga, pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, perawatan di rumah dan kebutuhan evaluasi.
2)      Kriteria
Pasien dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang perawatan di rumah dan instruksi evaluasi.
3)      Rencana Tindakan
a)      Ajarkan perawatan luka (membersihkan luka dan membalut)
Rasional : agar pasien dan keluarga dapat melakukannya untuk perawatan di rumah.
b)      Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik
Contoh : peningkatan nyeri, edema/aritama luka dan demam.
Rasional : upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius contoh lambatnya penyembuhan dan peritonitis.
c)      Diskusikan gejala-gejala infeksi luka yang harus dilaporkan pada dokter (kemarahan, nyeri, edema)
Rasional : agar pasien mengetahui tanda-tanda infeksi yang memerlukan penanganan (Pearce, Evelyn. C, 2000).
e.       Diagnosa 5
Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya luka operasi.
1)      Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya luka operasi tidak terjadi.
2)      Kriteria
a)      Luka kering
b)      Tidak ada pus dan tidak ada tanda kemerahan pada daerah sekitar luka.
c)      Suhu tubuh normal 36oC.
3)      Rencana tindakan
a)      Atasi tanda vital, perhatikan demam, menggigil dan peningkatan nyeri abdomen.
Rasional : diagnosa adanya infeksi terjadinya sapsis, abses dan peritonitis.
b)      Lakukan pencucian tangan sebelum dan sesudah perawatan
Rasional : menurunkan rasional penyebaran bakteri.
c)      Ganti verban 2 kali sehari dengan prinsip steril
Rasional : dengan perban yang bersih dan steril dapat mencegah berkembang baiknya mikro organisme pada luka dan dapat memperkecil resiko terjadinya infeksi.
d)     Berikan antibiotic sesuai indikasi
Rasional : menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) (Pearce, Evelyn. C, 2000).
f.       Diagnosa 6
Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
1)      Tujuan
Setelah dilakukan tindakan perawatan gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik teratasi.

2)      Kriteria
a)      Pasien dapat ke kamar mandi sendiri
b)      Pasien dapat makan sendiri
c)      Keadaan umum pasien baik
3)      Rencana tindakan
a)      Kaji tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya
Rasional : agar bantuan yang diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan pasien.
b)      Letakkan barang-barang yang dibutuhkan pasien sedekat mungkin
Rasional : agar barang yang dibutuhkan pasien mudah terjangkau oleh pasien dan menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan.
c)      Anjurkan pasien melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya
Rasional : karena dengan aktivitas yang berlebihan dapat memperburuk keadaan pasien.
d)     Libatkan keluarga untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari
Rasional : keluarga merupakan orang terdekat yang selalu berada di dekat pasien sehingga lebih mudah untuk pasien meminta bantuan.
e)      Bantu pasien memenuhi kebutuhan yang belum dapat dilakukannya sendiri
Rasional : agar seluruh kebutuhan pasien dapat terpenuhi sehingga perawatan dan pengobatan dapat berjalan dengan baik (Pearce, Evelyn. C, 2000).
4.      Implementasi
Implementasi adalah bentuk real dari rencana tindakan keperawatan selanjutnya dalam pelaksanaan tindakan mungkin akan terdapat modifikasi, hal ini akan disesuaikan dengan kondisi pasien dan kemampuan perawat.
5.      Evaluasi
Terhadap evaluasi adalah menyangkut pengumpulan data subjektif dan objektif yang menunjukkan tujuan asuhan keperawatan sudah tercapai masalah apa yang dipecahkan dan apa yang dikaji ulang, direncanakan dan susun kembali kegiatan evaluasi terdiri dari dua hal, yaitu : evaluasi formatif yang merupakan penilaian dan pengukuran terhadap keberhasilan setelah melakukan tindakan dan evaluasi sumatif yang diharapkan evaluasi yang diharapkan dari pasien post ob apentiktomy adalah pada diagnosa keperawatan dengan masalah gangguan rasa nyaman nyeri, tujuan tercapai dengan kriteria pasien bebas dari rasa nyeri pasien tenang dan pasien tidak meringis kesakitan pada diagnosa gangguan nutrisi barang dari kebutuhan tubuh, tujuan dapat dikatakan tercapai apabila memberikan mukosa lembab, tanda vital stabil, intake dan output seimbang.
Pada diagnosa gangguan istirahat tidur dapat dikatakan tercapai apabila pola istirahat tidur pasien terpenuhi 6-8 jam/hari dan tampak segar, pada diagnosa kurang pengetahuan. Evaluasi dapat dikatakan tercapai apabila keluarga dan pasien menyatakan mengerti tentang cara perawatan di rumah. Sedangkan pada diagnosa kelima resiko tinggi infeksi dapat dikatakan tercapai apabila infeksi tidak terjadi dengan kriteria luka kering tidak adapun dan tidak ada kemerahan di sekitar luka.
Pada diagnosa gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dikatakan tercapai apabila pasien dapat ke kamar mandi sendiri, makan sendiri dan keadaan umum pasien baik (Pearce, Evelyn. C, 2000).

2.3.    Lamanya Hari Perawatan Pasca Operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian diberikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu dinaikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (dalam keadaan kondisi pasien tidak ada komplikasi lain) (Arif Mansjoer, dkk, 2000). 

2.4.    Hubungan Tingkat Kegawatdaruratan Penderita Apendiksitis yang dilakukan Operasi dengan Lamanya Perawatan Pasca Operasi
Tindakan operasi apendiksitis dilakukan untuk menjaga agar sistem pencernaan tetap terus dapat berfungsi/bergerak secara efektif. Jika dilakukan pencegahan baik melalui pemberian antibiotik maupun apendiktomy dapat menghambat fungsi sistem pencernaan itu sendiri. Penderita apendiksitis baik yang akut maupun yang kronis, hendaknya secepat mungkin dilakukan tindakan medis karena apabila tidak dilakukan tindakan terutama para penderita apendiksitis yang kronis dapat terjadi komplikasi lanjutan, misalnya dapat mengakibatkan peritoneum menjadi ikut terinfeksi sehingga dapat mengakibatkan terinfeksinya seluruh sistem pencernaan sehingga untuk pencegahan dilakukan tindakan laparatomy (Brunner & Suddarth, 2000).

2.5.    Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, dapat diambil suatu kesimpulan rumusan masalah kerangka konsep sebagai berikut :
Lamanya
Perawatan
 
Kegawatdaruratan
Apendiksitis
 
Variabel Independent                                         Variabel Dependent


 



2.6.    Definisi Operasional
Definisi operasional variabel independent dan variabel dependent :
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1
Kegawat daruratan apendiksitis
Yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan penderita apendiksitis adalah suatu bentuk lanjut dari penderita apendiksitis akut ke kronis

Observasi sistematis dengan melihat struktur yang jelas dan spesifik
Check list
0 : Akut
1 : Kronis
Nominal
2
Lamanya perawatan
Yang dimaksud dengan lamanya dari perawatan ini adalah hari perawatan setelah pasca apendiktomy

Observasi sistematis dengan melihat struktur yang jelas dan spesifik
Check list
0 : Akut
    (< 7 hari)
1 : Kronis
    (> 7 hari) 
Nominal

2.7.    Hipotesis
Ho :   Tidak adanya hubungan yang signifikan antara kegawatdaruratan penderita apendiksitis dengan lamanya perawatan pasca operasi.
Ha   :   Adanya hubungan yang signifikan antara kegawatdaruratan penderita apendiksitis dengan lamanya perawatan pasca operasi.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.    Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu dan objek penelitian adalah seluruh pasien apendiksitis yang dilakukan tindakan apendiktomy.

3.2.    Populasi dan Sampel
3.2.1.    Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendiksitis yang dilakukan tindakan apendiktomy di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
3.2.2.    Sampel
Sampel diambil sebanyak populasi selama 1 bulan dengan teknik pengambilan sampel accidental sampling.

3.3.    Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu peneliti mengukur variabel di suatu saat secara bersamaan dan data yang diperoleh menggambarkan kondisi yang terjadi pada saat penelitian dilaksanakan.

3.4.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan yang dibantu dengan insturmen pengumpulan data dalam bentuk check list.
Data sekunder adalah data yang diperoleh di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu mengenai jumlah pasien apendiksitis yang dilakukan apendiktomy.

3.5.    Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini dibinakan uji coba analisis data dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat.
3.5.1.    Analisis Univariat
Yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel.
3.5.2.    Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara variabel dependent dan independent digunakan uji Chi-square. Untuk melihat keeratan hubungannya digunakan uji Contingency Coefficient.