BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan di bidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal, salah satu
sasarannya adalah mencapai perilaku hidup sehat dan menuntut kemandirian
masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatannya.
Dalam upaya mencapai tujuan di atas maka perlu adanya program
pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau serta pengadaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Peran
rumah sakit dalam hal ini adalah sangat penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat utamanya melalui program penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan, termasuk salah satunya program penanganan Penyakit
Apendiksitis.
Menurut Ilyas N (1996) dan Syamsuhidayat, dkk (1997) Apendiksitis
adalah salah satu penyakit infeksi saluran pencernaan yang merupakan kasus
gawat darurat bedah abdomen yang paling sering terjadi, baik berupa akut maupun
kronis. Sedangkan apendik sudah menjadi nekrosis/ganggren lalu pecah dan
menimbulkan peritonitis yang pada akhirnya beresiko menjadi peritonitis umum
sampai menyebabkan kematian.
Syamsuhidayat dan De Jong (1997) menyatakan bahwa secara umum
insiden apendiksitis adalah ± 40% dari keseluruhan kasus apendiksitis, hal ini
biasanya akibat keterlambatan dalam mencari/memperoleh pertolongan medis,
dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pengetahuan. Status ekonomi
yang rendah, budaya dan sarana pendukung yang kurang memadai. Di samping itu
juga dipengaruhi oleh faktor umum terutama pada orang tua dan anak-anak. Pada
orang tua biasanya karena adanya gejala yang sama, perubahan anatomi apendiks
dan atherosclerosis, serta pada anak-anak karena dinding apendiks masih tipis
anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, pendinginan
yang kurang sempurna dan omentum belum berkembang. Oleh karena itu apendiksitis
perforasi pada orang tua dan anak-anak tersebut sulit untuk dicegah.
Dari tingginya kasus Apendiksitis Perforasi seperti disebutkan di
atas maka penulis tertarik untuk memilih judul “Hubungan Kegawatdaruratan
Penderita Appendiksitis Yang Dilakukan Operasi Dengan Lamanya Hari Perawatan
Pasca Operasi di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Berdasarkan survey awal yang telah penulis lakukan diperoleh jumlah pasien
rawat inap dengan penyakit apendiksitis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun
2004-2006 dilihat dari umur dan jenis kelamin seperti tabel berikut ini :
Tabel 1
Jumlah Pasien
Rawat Inap Dengan Penyakit Apendiksitis di
RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu Tahun 2004-2006
Dilihat
Dari Umur dan Jenis Kelamin
Tahun
|
Umur
|
Jumlah
|
Jenis Kelamin
|
Keluar
|
||
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Hidup
|
Mati
|
|||
2004
|
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
|
2 orang
7 orang
17 orang
5 orang
1 orang
|
16 orang
|
16 orang
|
32 orang
|
-
|
2005
|
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
|
19 orang
19 orang
74 orang
11 orang
3 orang
|
63 orang
|
63 orang
|
125 orang
|
1 orang
|
2006
|
5-14
15-24
25-44
45-64
65+
|
11 orang
26 orang
29 orang
13 orang
2 orang
|
36 orang
|
36 orang
|
72 orang
|
-
|
Sumber : Medical
Record RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu apakah ada hubungan kegawatdaruratan penderita appendiksitis
yang dilakukan operasi dengan lamanya hari perawatan pasca operasi di RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kegawatdaruratan penderita apendiksitis
yang dilakukan operasi dengan lamanya hari perawatan pasca operasi di RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Bagi Mahasiswa
Meningkatkan wawasan mengenai langkah-langkah dalam pelaksanaan
penelitian, menambah pengalaman serta pengetahuan tentang kejadian
Apendiksitis.
1.4.2.
Bagi Tempat Penelitian / RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Sebagai masukan bagi pihak Rumah Sakit dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan pada pasien dengan post operasi apendiktomy dan upaya pencegahan
apendiksitis.
1.4.3.
Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan acuan bagi adik tingkat berikutnya dalam melaksanakan penelitian
dan memperkaya perpustakaan sebagai bahan acuan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep Dasar Apendiksitis
1.
Pengertian
Apendiksitis adalah suatu peradangan
pada appendik yang berbentuk cacing yang berlokasi di dekat katub ileoceceal (Barbara
C. Long, 1995).
Apendiksitis adalah peradangan dari
apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
(Mansjoer, Arif, 2000 : 307).
Apendiksitis merupakan inflamasi
apendiks, suatu bagian seperti kantung yang non-fungsional dan terletak di
bagian inferior sekum. (Ester, Monica, 2002)
Apendiksitis adalah peradangan
apendiks vermiformis (Dorland, 1996).
Apendiksitis adalah merupakan salah
satu penyakit saluran pencernaan yang paling umum ditemukan dan yang paling
sering memberikan keluhan abdomen yang akut (acu abdomen) (Patologi II Edisi 4).
Apendiksitis adalah kasus gawat bedah
abdomen yang paling sering terjadi (Ilmu Penyakit Dalam Jilid II).
Apendiktomy adalah pengangkatan
apendiks terinflamasi dapat dilakukan pada pasien dengan menggunakan pendekatan
endoskopi, namun adanya perlengkapan multiple posisi retroperitoneal dari
apendiks atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (David Wats MD, 1984).
Apendictomy adalah pengangkatan
secara bedah apendiks vermiformis (Dorland, 1996).
Apendiksitis acute adalah
apendiksitis dengan mula gejala akut yang memerlukan intervensi bedah dan
biasanya ditandai dengan nyeri di kuadran abdomen kanan bawah dan dengan nyeri
tekan lokal dan alih tidak hanya terjadi pada titik Mc. Burney tetapi bisa juga
terjadi pada daerah umbilikus, spasme otot yang ada di atasnya dan hiperestesia
kulit (Dorland, 1996).
Apendiksitis merupakan suatu
peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut.
Apendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi (Sylvia,
A, Price, 1994).
Jadi dari pengertian tersebut di atas
maka dapat disimpulkan bahwa apendiksitis adalah penyakit saluran pencernaan dimana
terjadi peradangan pada apendiks (umbai cacing) yang berlokasi dekat katup ileoceceal.
2.
Anatomi Fisiologi
Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjang ± 10 cm dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Pada 65%
kasus, apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang meso apendiks
penggantungnya. Pada kasus lain apendiks terletak di retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang colon ascendens/di tepi lateral colon ascendesn. Gejala
klinis apendiksitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan
arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus
torakalis X, karena itu nyeri visceral pada apendiksitis bermula di sekitar
umbilicus. Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikularis, jika tersumbat maka
akan terjadi ganggren.
Fungsi
apendiks tidak diketahui. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir
secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selan mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenisasi
apendiksitis. Diperkirakan apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme
imunologik. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks
ialah Ig A. immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab
jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di
saluran cerna dan seluruh tubuh.
3.
Etiologi
Faktor-faktor penyebab apendiksitis
antara lain :
a.
Hyperplasia dari folikel
lympoid (50%)
b.
Fekolith dalam lunen apendiks
(35%)
c.
Adanya benda asing seperti
cacing dan biji-bijian (4%)
d.
Struktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya (1%)
e.
Sebab-sebab lain seperti
keganasan/karsinoma (10%) (Sylvia, A. Price, 1994)
Menurut Sjamsuhidayat dan De jong
(1997) apendiksitis perforasi biasanya akibat keterlambatan dalam
mencari/memperoleh pertolongan medis, dimungkinkan dipengaruhi oleh
faktor-faktor kurang pengetahuan, status ekonomi yang rendah, budaya dan sarana
pendukung yang kurang memadai. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor umur
terutama pada orang tua dan anak-anak. Pada orang tua biasanya karena adanya
gejala yang samar, perubahan anatomi apendiks dan atherosclerosis, serta pada
anak-anak karena dinding apekdik masih tipis anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis, pendindingan yang kurang sempurna.
Apendiksitis akut merupakan infeksi
bakteria. Berbagai hal yang berperan sebagai faktor pencetus : sumbatan lumen
apendiks yang disebabkan oleh cacing askaris, hyperplasia jaringan limfoid,
fekalit, tumor apendiks. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendiksitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica,
kebiasaan makan makanan rendah serta dan konstipasi.
Apendiksitis kronis disebabkan oleh
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan partial atau ottal lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.
4.
Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi Apendiksitis
(Sumber : Arif Mansjoer, 2000)
Apendiksitis biasanya disebabkan
oleh penyumbangan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit,
benda asing, struktur karena fikosis akibat peradangan sebelumnya atau
neoplasma.
Obstruktsi tersebut menyebabkan
mukus diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan
ulserasi mukosa pada saat inilah terjadi apendiksitis akut fokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang
timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
abdomen kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendiksitis sukuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene
stadium ini disebut dengan apendiksitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh ini pecah akan terjadi apendiksitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendukularis, peradangan
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendik lebih tipis, keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Arif Mansjoer dan Barbara C. Long, 2000).
5.
Manifestasi Klinis
a.
Tanda awal : nyeri mulai di
epigastrium/region umbilikus disertai mual dan anoreksia.
b.
Nyeri pindah ke kanan bawah
(yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk) dan menunjukkan
tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney : nyeri tekan, nyeri
lepas, defans muskuler.
c.
Nyeri rangsangan peritoneum
tidak langsung :
1)
Nyeri pada kuadran kanan bawah
saat kuadran kiri bawah ditekan (Rovsing Sign).
2)
Nyeri kanan bawah bila tekanan
disebelah kiri dilepas (Blumberg).
3)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum
bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk, mengedan.
d.
Nafsu makan menurun
e.
Demam yang tidak terlalu tinggi
f.
Biasanya terdapat konstipasi,
tapi kadang-kadang terjadi diare.
Gejala-gejala permulaan pada
apendiksitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti
oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam
nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan sekitar
titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri lepas. Biasanya
ditemukan demam ringan dan leukosit meningkat bila rupture apendiks terjadi
nyeri sering sekali hilang secara dramatis untuk sementara.
6.
Klasifikasi
a.
Apendiksitis akut focalis atau
segmentasi
Yang biasanya hanya bagian distal
yang meradang, tetapi seluruh rongga apendiks 1/3 distal berisi nanah.
1)
Apendiksitis akut purulenta
(supurativa) diffusa
Yaitu pembentukan nanah yang berlebihan pada seluruh
rongga apendiks juga mengandung nanah berwarna merah karena perdarahan mukosa
bengkak dan dapat terlepas sehingga terbentuk tukak-tukak.
2)
Apendiksitis akut
Yaitu disebabkan oleh trauma misalnya pada kecelakaan
atau pada operasi.
b.
Apendiksitis kronis
Gejala-gejalanya lebih samar-samar
maka lebih jarang ditemukan dan semua rasa nyeri yang kurang jelas pada perut
kanan bawah. (Sylvia, A. Price, 1994).
7.
Komplikasi
a.
Yang paling sering adalah :
1)
Perforasi
Insidens perforasi 10-32%, rata-rata
20%, paling sering terjadi pada usia muda sekali atau terlalu tua, perforasi
timbul 93% pada anak-anak di bawah 2 tahun antara 40-75% kasus usia di atas 60
tahun ke atas. Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit,
tetapi insiden meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi terjadi 70% pada kasus
dengan peningkatan suhu 39,5oC tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut dan leukositosis meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
2)
Peritonitis
Adalah trombofebitis septik pada
sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39oC-40oC
menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang relatif jarang.
b.
Tromboflebitis supuratif dari
sistem portal, jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal.
c.
Abses subfrenikus dan fokal
sepsis intraabdominal lain.
d.
Obstruksi intestinal juga dapat
terjadi akibat perlengketan.
8.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Laboratorium
Ditemukan leukositosis 10.000 s/d
18.000/mm3, kadang-kadang dengan pergeseran ke kiri leukositosis
lebih dari 18.000/mm3 disertai keluhan/gejala apendiksitis lebih
dari empat jam mencurigakan perforasi sehingga diduga bahwa tingginya
leukositosis sebanding dengan hebatnya peradangan.
b.
Radiologi
Pemeriksaan radiology akan sangat
berguna pada kasus atipikal. Pada 55% kasus apendiksitis stadium awal akan
ditemukan gambaran foto polos abdomen yang abnormal, gambaran yang lebih spesifik
adanya masa jaringan lunak di perut kanan bawah dan mengandung
gelembung-gelembung udara. Selain itu gambaran radiologist yang ditemukan
adanya fekalit, pemeriksaan barium enama dapat juga dipakai pada kasus-kasus
tertentu cara ini sangat bermanfaat dalam menentukan lokasi sakum pada kasus
“Bizar”. Pemeriksaan radiology X-ray dan USG menunjukkan densitas pada kuadran
kanan bawah atau tingkat aliran udara setempat.
c.
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1)
Pada fluoroscopy sekum dan
ileum terminasi tampak irritable.
2)
Pemeriksaan colok dubur :
menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa dicapai dengan jari telunjuk.
3)
Uji psoas dan uji obturator
(Sylvia, A. Price, 1994)
9.
Penatalaksanaan
a.
Sebelum operasi
1)
Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya
keluhan, tanda dan gejala apendiksitis sering kali belum jelas, dalam keadaan
ini observasi ketat perlu dilakukan, pasien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendiksitis
ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto
abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit
lain. Pada kebanyakan kasus diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di
daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2)
Intubasi bila perlu (tindakan
memasukkan bumbung ke dalam suatu alat tubuh, khususnya kedalam pangkal
tenggorokan melalui celah tenggorok (glottis) untuk mencegah mati lemas, karena
penyempitan pangkal tenggorokan) (Christine Hancok, 1999)
3)
Antibiotik (diberikan setelah
pasca operasi apendiksitis yang bertujuan untuk mencegah infeksi dan membantu
proses penyembuhan pada luka, di samping itu ditambah dengan vitamin untuk
mempercepat pertumbuhan jaringan pada luka operasi) (Sulistia, G, 1995)
b.
Operasi apendiktomy
Ada 3 cara apendiktomy yang mempunyai keuntungan dan
kerugian :
1)
Insisi menurut Mc. Burney (grid
incision atau muscle splitting incision)
Sayatan yang dilakukan pada garis
yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior
(SIAS) dengan umbilicus pada sepertiga lateral (titik Mc. Burney) sayatan ini
mengenai kutis, subkutis dan fasia, otot-otot dinding perut dibelah secara
tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal
(mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayar untuk meluksasi sekum.
Sekum dikenali dari ukurannya yang besar, mengkilat, lebih kelabu/putih,
mempunyai haustra dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan
tidak mempunyai haustrac atau taenia koli, basis apendiks dicari pada pertemuan
ketiga taenia kolo.
Teknik inilah yang paling sering
dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin
terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa
istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat
kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi
lebih lama lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.
2)
Insisi menurut Roux (musicle
catting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan
Mc. Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah tersebut sampai
tampak peritoneum, keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah
diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang
harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak. Masa istirahat pasca
bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca
operasi lebih sering terjadi kadang-kadang dengan hematoma yang terinfeksi dan
masa penyembuhan lebih lama.
3)
Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas
lateral musculus rektus abdominalis dekstra secara vertikal dari cranial ke
kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya teknik ini dapat dipakai kasus-kasus
apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat apendiks yang belum
pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah, sedangkan
kerugiannya sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke apendiks atau sekum,
kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup
luka operasi diperlukan jahitan penunjang.
Setelah peritoneum dibuka dengan
retractor, maka basis apendiks dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli,
untuk membebaskannya dari masa apendiks ada dua cara yang dapat dipakai sesuai
dengan situasi dan kondisi yaitu :
a)
Apendiktomy secara biasa bila
kita mulai dari apeks ke basis apendiks untuk memotong mesoapendiks ini
dilakukan pada apendiks yang tergantung bebas pada sekum atau bila puncak
apendiks mudah ditemukan.
b)
Apendiktomy secara retrograd :
bila kita memotong masoapendiks dari basis ke arah puncak, ini dilakukan pada
apendiks yang letaknya sulit : misalnya retrosekal atau puncaknya sukar dicapai
karena tersembunyi, misalnya karena telah terjadi perlengkapan dengan
sekitarnya.
c.
Pasca Operasi
Perlu dilakukan observasi
tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok,
hipertermia atau gangguan pernapasan, angkat sonde lambung bila pasien sudah
sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam
posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama itu pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal.
Kemudian berikan minum mulai 15
ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan
makanan saring dan hari berikutnya berikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi, pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari
kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar hari ke tujuh jahitan dapat
diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (Kapita Selekta Kedokteran Edisi II,
Arif Mansjoer
d.
Penatalaksanaan gawat darurat
non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah
berikan penatalaksanaan seperti dalam peritonitis akut, dengan demikian gejala
apendiksitis akut akan merata dan kemungkinan terjadinya komplikasi akan
berkurang.
e.
Gizi pada Pasien Bedah
Tujuan mengusahakan agar keadaan penderita segera
kembali seperti normal. Prinsip pemberian makanan adalah makanan diberikan
secara bertahap dimulai dari cair, saring, lunak dan biasa, perpindahan makanan
dari tahap ke tahap tergantung dari macam operasi dan keadaan penderita. Pasca
bedah kecil, makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa. Pasca
bedah besar, makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan
penderita untuk menerimanya.
1)
Makanan pasca bedah I
Cara memberikan :
Diberikan berupa air atau teh manis seperti pada makanan
cair, rata-rata 15 kali sehari, makanan ini diberikan dalam jangka waktu
sependek mungkin karena kurang semua zat gizi.
Tabel 2.1.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah I
Nilai
Gizi
|
30
ml/jam
|
60
ml/jam
|
90
ml/jam
|
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Cairan
|
193
gr
0,7
gr
0,3
gr
49
gr
450
ml
|
385
gr
1,4
gr
0,6
gr
99
gr
900
ml
|
578
gr
2,1
gr
0,8
gr
148
gr
1350
ml
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
2)
Makanan pasca bedah II
Merupakan perpindahan dari makanan
pasca bedah I pada pasca bedah besar saluran pencernaan. Data pasca bedah kecil
dan bedah besar di luar saluran pencernaan dapat dilangsungkan ke makanan pasca
bedah III.
Diberikan berupa minuman manis, sari
buah dan susu telur, rata-rata 16 kali sehari, jumlah cairan yang diberikan
tiap jam tergantung keadaan penderita, makanan ini diberikan dalam jangka waktu
sesingkat mungkin karena tidak cukup mengandung zat gizi.
Tabel 2.2.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah II
Bahan
Makanan
|
30
ml/jam
|
60
ml/jam
|
90
ml/jam
|
Maezaena
Telur
Tomat
Margarin
Gula pasir
Cairan
|
5
gr-1 sdm
50
gr-1 btr
100
gr-2 bh
5-½
sdm
25-5
sdm
25-2½
sdm
|
10-2
sdm
100-2
btr
200-4
bh
10-1
sdm
50-55
sdm
1000-5
gls
|
15-3
sdm
150-3
btr
300-6
bh
15-1½
sdm
75-155
sdm
1500-7½
gls
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
Tabel 2.3.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah II
Nilai
Gizi
|
30
ml/jam
|
60
ml/jam
|
90
ml/jam
|
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
Besi
Vitamin A
Vitamin C
Thiamin
|
425
19
gr
18
gr
49
gr
0,5
gr
21
mg
244251
42
mg
0,2
mg
|
850
38
gr
35
gr
98
gr
0,9
gr
42
mg
488451
85
mg
0,4
mg
|
1280
57
gr
53
gr
147
gr
1,4
gr
6,3
mg
732751
127
mg
0,7
mg
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
3)
Makanan pasca bedah III
Diberikan dalam bentuk air, susu, sari buah, biscuit,
sup atau bubur saring tanpa bumbu merangsang cairan melebihi 2000 ml sehari.
Tabel 2.4.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca Bedah III
Bahan
Makanan
|
Berat
|
Ukuran
rata-rata (Urt)
|
Beras
Maezena
Biskuit
Daging
Telur
Sayuran
Buah
Margarin
Tepung susu
Gula pasir
|
60
50
20
100
150
100
200
20
90
70
|
2 gls bubur saring
10 sdm
2 bh
½ gls daging giling saring
3 btr
1 gls
1 gls pepaya saring
2 sdm
18 sdm
7 smd
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
Tabel 2.5.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah III
Nilai
Gizi
|
Ukuran
Rata-rata (Urt)
|
Nilai
Gizi
|
Ukuran
Rata-rata (Urt)
|
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
|
1990
73 gr
84 gr
236 gr
1,2 gr
|
Besi
Vitamin A
Thiamin
Vitamin C
|
12,8 gr
0,03 gr
0,9 gr
174 mg
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
4)
Makanan pasca bedah IV
Diberikan sebagai makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali
makanan dan 1 kali makanan selingan.
Tabel 2.6.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca
Bedah IV
Bahan
Makanan
|
Berat
|
Ukuran
rata-rata (Urt)
|
Beras
Daging
Telur
Tempe
Kacang hijau
Sayuran
Buah
Minyak
Gula pasir
Tepung susu
Maezan
|
200 gr
100 gr
50 gr
100 gr
25 gr
200 gr
200 gr
25 gr
40 gr
40 gr
15 gr
|
4 gls nasi tim
2 ptng sdng
1 btr
4 ptng sdng
2½ sdm
2 gls
2 ptng pepaya sedang
2½ sdm
4 sdm
8 sdm
3 sdm
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
Tabel 2.7.
Nilai Gizi Makanan Pasca Bedah IV
Nilai
Gizi
|
Ukuran
Rata-rata (Urt)
|
Nilai
Gizi
|
Ukuran
Rata-rata (Urt)
|
Kalori
Protein
Lemak
Hidrat arang
Kalsium
|
2046
76 gr
64 gr
295 gr
0,7 gr
|
Besi
Vitamin A
Thiamin
Vitamin C
|
12,2 gr
8927 SI
0,9 mg
111 mg
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
5)
Makanan pasca bedah V
Diberikan sebagai makanan lunak yang dibagi dalam 6 kali
makan dalam porsi yang sama, jumlah cairan bebas.
Tabel 2.8.
Bahan Makanan Yang Diberikan Sehari Pasca
Bedah V
Bahan
Makanan
|
Berat
|
Ukuran
rata-rata (Urt)
|
Beras
Roti
Maezena
Daging
Telur
Sayuran
Buah
Margarine
Tepung susu
Gula pasir
|
90 gr
40 gr
30 gr
100 gr
100 gr
200 gr
200 gr
35 gr
60 gr
60 gr
|
2 ¼ gls nasi tim
2 ptng
6 sdm
2 ptng sdg
2 btr
2 gls
2 ptng pepaya sdg
3½ sdm
½ sdm
6 sdm
|
Sumber : Bagian Gizi RS Cipto Mangunkususmo, 1989.
f.
Penyembuhan Luka
Luka adalah hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam
atau tumpul perubahan suhu. Zat kimia listrik atau gigitan hewan. Fase dalam
proses penyembuhan luka berbagai dalam 3 fase yaitu :
No
|
Fase
|
Proses
|
Gejala + Tanda
|
I
|
Inflamasi
|
Reaksi radang
|
Dolor, rubor, kalor, tumor dan futio lasea
|
II
|
Prolifferasi
|
Regenerasi/ fibroplasia
|
Jaringan oranulasi/kalus tulang penutupan : epitel : endota
mesotel.
|
III
|
Penyembuhan
|
Pematangan
dan perumpaan kembali
|
Jaringan parut dan fibrosis
|
Penyembuhan luka kulit tanpa
pertolongan dari luar berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan
granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut
penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya
makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama pada
luka yang terbuka lebar.
Sedangkan penyembuhan luka primer,
yaitu : apabila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan
jahitan. Parut yang biasanya lebih halus dan kecil. Namun penjahitan tidak
dapat dilakukan pada luka tambak, atau luka yang compang-camping.
2.2. Konsep Dasar Asuhan
Keperawatan
Dalam
memberikan asuhan keperawatan agar dapat berhasil dengan baik dan sistematis
penulis menggunakan proses keperawatan mempunyai 5 tahap yaitu : pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.
Pengkajian
a.
Identitas pasien
Nama pasien, jenis kelamin, agama, pekerjaan, suku
bangsa, umur, status perkawinan, alamat, dan identitas penanggung jawab.
b.
Riwayat kesehatan
1)
Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya pasien pernah dirawat di rumah sakit
dan apakah pasien pernah operasi sebelumnya dan apakah pasien pernah menderita
penyakit yang sama yang sedang di deritanya pada saat ini.
2)
Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat ini mengkaji apakah tingkat kesadaran sudah
pulih dimana lokasi luka operasi, berapa panjangnya, berapa jahitannya, apakah
ada tanda infeksi didaerah luka, tingkatan nyeri, mual, muntah.
3)
Riwayat kesehatan keluarga
Adakah dalam keluarga ada yang menderita sakit yang sama
seperti yang dialami pasien dan adakah penyakit keturunan seperti diabetes
melitus, hipertensi, dll.
c.
Pengkajian pasca operasi
1)
Kaji tingkat kesadaran
a)
Waspada
b)
Berorientasi
c)
Kacau mental
d)
Disorientasi
e)
Letargi
f)
Berespon dengan tepat terhadap
perintah
g)
Tak berespon
2)
Ukur tanda-tanda vital
3)
Auskultasi bunyi nafas
4)
Kaji kulit
a)
Warna
b)
Bengkak
c)
Suhu (hangat, dingin)
5)
Inspeksi status balutan
Mengkaji apakah balutan di daerah sekitarnya bersih,
kering dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
6)
Mengkaji terhadap nyeri atau
mual
Pasien mengalami nyeri pada daerah luka operasi
7)
Kaji status alat instrusif
a)
Infus intravena
(1)
Tipe cairan
(2)
Kecepatan aliran
(3)
Sisi infus terhadap tanda-tanda
infiltrasi atau flebitis
b)
Alat drainase luka, jamin alat
benar
c)
Kateter foley
(1)
Selang bebas lipatan
(2)
Warna dan jumlah urin
(3)
Selang ditempatkan pada paha
atau abdomen (untuk pria)
d)
Selang NGT untuk penghisapan
(1)
Warna dan jumlah drainase
8)
Periksa laporan ruang pemulihan
terhadap :
a)
Adanya obat yang diberikan
b)
Masukan dan haluaran urine
c)
Perkiraan kehilangan darah
9)
Palpasi nadi pedialis secara
bilateral
10)
Evaluasi laporan operasi
terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah enestasi.
2.
Diagnosa Keperawatan
Menurut Susan Martin Tuker (1998) :
a.
Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan efek luka operasi.
b.
Gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang kurang.
c.
Gangguan pola istirahat tidur
berhubungan dengan nyeri daerah operasi.
d.
Kurang pengetahuan yang
berhubungan dengan kurangnya informasi.
e.
Resiko tinggi terhadap infeksi
yang berhubungan dengan adanya luka operasi.
f.
Gangguan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.
Perencanaan
Tahap perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
post operasi apendiktomy adalah sebagai berikut :
a.
Diagnosa I
Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan efek
luka operasi.
1)
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan rasa
nyaman nyeri yang berhubungan dengan efek luka operasi teratasi.
2)
Kriteria
a)
Pasien bebas dari nyeri atau
nyeri yang minimal.
b)
Pasien tenang
c)
Pasien tidak meringis kesakitan
d)
Skala nyeri 1 (0 : tidak nyeri,
1-4 : nyeri ringan, 5-7 : nyeri sedang, 8-10 : nyeri berat).
3)
Rencana Tindakan
a)
Kaji nyeri, catat lokasi nyeri,
waktu dan skala nyeri
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan, sehingga dapat menentukan langkah yang tepat untuk
mengatasi masalah pasien.
b)
Pertahankan posisi pasien
dengan posisi semi fowler
Rasional : dengan posisi semi fowler dapat menghilangkan
tegangan pada otot perut.
c)
Ajarkan pasien teknik relaksasi
dengan menarik nafas dalam
Rasional : dengan menarik nafas dalam dapat mengurangi
ketegangan otot perut.
d)
Anjurkan pasien untuk
mengurangi gerakan dengan menggunakan obat otot perut.
Rasional : karena gerakan otot perut dapat meningkatkan
tegangan dan intensitas nyeri pada luka operasi.
e)
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat analgetik
Rasional : obat analgetik
dapat mengurangi rangsangan rasa nyeri (Pearce, Evelyn. C, 2000).
b.
Diagnosa 2
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan intake yang kurang.
1)
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang kurang.
2)
Kriteria
a)
Membran mukosa lembek
b)
Keseimbangan cairan yang masuk
dan pengeluaran stabil.
c)
Tanda vital stabil
3)
Rencana Tindakan
a)
Kaji pulihnya peristaltik usus
Rasional : untuk mengetahui apakah usus sudah bekerja
kembali.
b)
Observasi tanda-tanda vital
Rasional : dengan mengobservasi tanda-tanda vital dapat
mengetahui hipotensi atau demam yang dapat menunjukkan respon terhadap
kekurangan cairan.
c)
Observasi kulit kering, membran
mukosa dan penurunan turgor kulit.
Rasional : untuk mengurangi apakah pasien kehilangan
cairan yang berlebihan.
d)
Timbang berat badan pasien
setiap hari
Rasional : untuk mengetahui apakah adanya penurunan pada
berat badan pasien.
e)
Observasi porsi makan yang
dihabiskan
Rasional : untuk mengetahui berapa banyak makanan yang
dihabiskan dan apakah ada peningkatan (Pearce,
Evelyn. C, 2000).
c.
Diagnosa 3
Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan nyeri
daerah operasi
1)
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan pola
istirahat tidur yang berhubungan dengan daerah operasi teratasi.
2)
Kriteria
a)
Pola tidur pasien terpenuhi
b)
Frekuensi tidur 6-8 jam/hari
c)
Pasien tampak segar
d)
Mata pasien tidak sayu.
3)
Rencana Tindakan
a)
Jelaskan pada pasien tentang
penyebab gangguan tidur
Rasional : dengan mengetahui penyebab gangguan tidur
diharapkan pasien bekerjasama dalam tindakan keperawatan.
b)
Atur posisi pasien senyaman
mungkin
Rasional : dengan posisi yang nyaman dapat mengurangi
ketegangan otot sehingga nyeri berkurang dan pasien dapat tidur dengan tenang.
c)
Ciptakan lingkungan yang nyaman
bagi pasien dengan membatasi pengunjung
Rasional : dengan suasana yang nyaman diharapkan pasien
dapat tidur dengan tenang.
d)
Alihkan perhatian pasien pada
hal-hal yang menarik
Rasional : dengan hal-hal yang menarik akan lebih mudah
mengalihkan perhatian pasien sehingga konsentrasi pasien tidak terfokus pada
nyeri (Pearce, Evelyn. C, 2000).
d.
Diagnosa 4
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang perawatan di rumah sakit dan kebutuhan evaluasi.
1)
Tujuan
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan pada pasien dan
keluarga, pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, perawatan di rumah
dan kebutuhan evaluasi.
2)
Kriteria
Pasien dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang
perawatan di rumah dan instruksi evaluasi.
3)
Rencana Tindakan
a)
Ajarkan perawatan luka
(membersihkan luka dan membalut)
Rasional : agar pasien dan keluarga dapat melakukannya
untuk perawatan di rumah.
b)
Identifikasi gejala yang
memerlukan evaluasi medik
Contoh : peningkatan nyeri, edema/aritama luka dan
demam.
Rasional : upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi
serius contoh lambatnya penyembuhan dan peritonitis.
c)
Diskusikan gejala-gejala
infeksi luka yang harus dilaporkan pada dokter (kemarahan, nyeri, edema)
Rasional : agar pasien mengetahui tanda-tanda infeksi
yang memerlukan penanganan (Pearce, Evelyn.
C, 2000).
e.
Diagnosa 5
Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan
adanya luka operasi.
1)
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan resiko tinggi
terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya luka operasi tidak terjadi.
2)
Kriteria
a)
Luka kering
b)
Tidak ada pus dan tidak ada
tanda kemerahan pada daerah sekitar luka.
c)
Suhu tubuh normal 36oC.
3)
Rencana tindakan
a)
Atasi tanda vital, perhatikan
demam, menggigil dan peningkatan nyeri abdomen.
Rasional : diagnosa adanya infeksi terjadinya sapsis,
abses dan peritonitis.
b)
Lakukan pencucian tangan
sebelum dan sesudah perawatan
Rasional : menurunkan rasional penyebaran bakteri.
c)
Ganti verban 2 kali sehari
dengan prinsip steril
Rasional : dengan perban yang bersih dan steril dapat
mencegah berkembang baiknya mikro organisme pada luka dan dapat memperkecil
resiko terjadinya infeksi.
d)
Berikan antibiotic sesuai indikasi
Rasional : menurunkan jumlah organisme (pada infeksi
yang telah ada sebelumnya) (Pearce, Evelyn.
C, 2000).
f.
Diagnosa 6
Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan kelemahan fisik
1)
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan perawatan gangguan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik teratasi.
2)
Kriteria
a)
Pasien dapat ke kamar mandi
sendiri
b)
Pasien dapat makan sendiri
c)
Keadaan umum pasien baik
3)
Rencana tindakan
a) Kaji tingkat ketergantungan pasien
dalam memenuhi kebutuhannya
Rasional : agar bantuan yang diberikan sesuai dengan
yang dibutuhkan pasien.
b)
Letakkan barang-barang yang
dibutuhkan pasien sedekat mungkin
Rasional : agar barang yang dibutuhkan pasien mudah
terjangkau oleh pasien dan menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan.
c)
Anjurkan pasien melakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya
Rasional : karena dengan aktivitas yang berlebihan dapat
memperburuk keadaan pasien.
d)
Libatkan keluarga untuk
membantu memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari
Rasional : keluarga merupakan orang terdekat yang selalu
berada di dekat pasien sehingga lebih mudah untuk pasien meminta bantuan.
e)
Bantu pasien memenuhi kebutuhan
yang belum dapat dilakukannya sendiri
Rasional : agar seluruh kebutuhan pasien dapat terpenuhi
sehingga perawatan dan pengobatan dapat berjalan dengan baik (Pearce, Evelyn. C, 2000).
4.
Implementasi
Implementasi adalah bentuk real dari
rencana tindakan keperawatan selanjutnya dalam pelaksanaan tindakan mungkin akan
terdapat modifikasi, hal ini akan disesuaikan dengan kondisi pasien dan
kemampuan perawat.
5.
Evaluasi
Terhadap evaluasi adalah menyangkut
pengumpulan data subjektif dan objektif yang menunjukkan tujuan asuhan
keperawatan sudah tercapai masalah apa yang dipecahkan dan apa yang dikaji
ulang, direncanakan dan susun kembali kegiatan evaluasi terdiri dari dua hal,
yaitu : evaluasi formatif yang merupakan penilaian dan pengukuran terhadap
keberhasilan setelah melakukan tindakan dan evaluasi sumatif yang diharapkan
evaluasi yang diharapkan dari pasien post ob apentiktomy adalah pada diagnosa
keperawatan dengan masalah gangguan rasa nyaman nyeri, tujuan tercapai dengan
kriteria pasien bebas dari rasa nyeri pasien tenang dan pasien tidak meringis
kesakitan pada diagnosa gangguan nutrisi barang dari kebutuhan tubuh, tujuan
dapat dikatakan tercapai apabila memberikan mukosa lembab, tanda vital stabil,
intake dan output seimbang.
Pada diagnosa gangguan istirahat tidur
dapat dikatakan tercapai apabila pola istirahat tidur pasien terpenuhi 6-8
jam/hari dan tampak segar, pada diagnosa kurang pengetahuan. Evaluasi dapat
dikatakan tercapai apabila keluarga dan pasien menyatakan mengerti tentang cara
perawatan di rumah. Sedangkan pada diagnosa kelima resiko tinggi infeksi dapat
dikatakan tercapai apabila infeksi tidak terjadi dengan kriteria luka kering
tidak adapun dan tidak ada kemerahan di sekitar luka.
Pada diagnosa gangguan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dapat dikatakan tercapai apabila pasien dapat ke kamar
mandi sendiri, makan sendiri dan keadaan umum pasien baik (Pearce, Evelyn. C, 2000).
2.3. Lamanya Hari Perawatan
Pasca Operasi
Perlu
dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila
pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan
pasien dalam posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih
besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai
fungsi usus kembali normal.
Kemudian
diberikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu dinaikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
Satu
hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2
x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (dalam keadaan
kondisi pasien tidak ada komplikasi lain) (Arif Mansjoer, dkk, 2000).
2.4. Hubungan Tingkat
Kegawatdaruratan Penderita Apendiksitis yang dilakukan Operasi dengan Lamanya
Perawatan Pasca Operasi
Tindakan operasi apendiksitis
dilakukan untuk menjaga agar sistem pencernaan tetap terus dapat
berfungsi/bergerak secara efektif. Jika dilakukan pencegahan baik melalui
pemberian antibiotik maupun apendiktomy dapat menghambat fungsi sistem
pencernaan itu sendiri. Penderita apendiksitis baik yang akut maupun yang
kronis, hendaknya secepat mungkin dilakukan tindakan medis karena apabila tidak
dilakukan tindakan terutama para penderita apendiksitis yang kronis dapat
terjadi komplikasi lanjutan, misalnya dapat mengakibatkan peritoneum menjadi
ikut terinfeksi sehingga dapat mengakibatkan terinfeksinya seluruh sistem
pencernaan sehingga untuk pencegahan dilakukan tindakan laparatomy (Brunner
& Suddarth, 2000).
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan
tinjauan pustaka, dapat diambil suatu kesimpulan rumusan masalah kerangka
konsep sebagai berikut :
|
|
2.6. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel
independent dan variabel dependent :
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Cara Ukur
|
Alat Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Kegawat daruratan apendiksitis
|
Yang dimaksudkan dengan
kegawatdaruratan penderita apendiksitis adalah suatu bentuk lanjut dari
penderita apendiksitis akut ke kronis
|
Observasi sistematis dengan
melihat struktur yang jelas dan spesifik
|
Check list
|
0 : Akut
1 : Kronis
|
Nominal
|
2
|
Lamanya perawatan
|
Yang dimaksud dengan lamanya dari
perawatan ini adalah hari perawatan setelah pasca apendiktomy
|
Observasi sistematis dengan
melihat struktur yang jelas dan spesifik
|
Check list
|
0 : Akut
(< 7 hari)
1 : Kronis
(> 7 hari)
|
Nominal
|
2.7. Hipotesis
Ho : Tidak
adanya hubungan yang signifikan antara kegawatdaruratan penderita apendiksitis
dengan lamanya perawatan pasca operasi.
Ha : Adanya
hubungan yang signifikan antara kegawatdaruratan penderita apendiksitis dengan
lamanya perawatan pasca operasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Objek
Penelitian
Lokasi
penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu dan objek
penelitian adalah seluruh pasien apendiksitis yang dilakukan tindakan
apendiktomy.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien apendiksitis yang dilakukan tindakan apendiktomy di RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu.
3.2.2. Sampel
Sampel diambil sebanyak populasi
selama 1 bulan dengan teknik pengambilan sampel accidental sampling.
3.3. Desain Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu peneliti mengukur
variabel di suatu saat secara bersamaan dan data yang diperoleh menggambarkan
kondisi yang terjadi pada saat penelitian dilaksanakan.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan yang dibantu dengan
insturmen pengumpulan data dalam bentuk check list.
Data sekunder
adalah data yang diperoleh di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu
mengenai jumlah pasien apendiksitis yang dilakukan apendiktomy.
3.5. Teknik Analisis Data
Dalam
penelitian ini dibinakan uji coba analisis data dengan menggunakan analisa
univariat dan bivariat.
3.5.1. Analisis Univariat
Yaitu
analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisa
ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel.
3.5.2. Analisis Bivariat
Untuk melihat
hubungan antara variabel dependent dan independent digunakan uji Chi-square. Untuk melihat keeratan
hubungannya digunakan uji Contingency
Coefficient.