BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan sesuai
visi Indonesia sehat 2010 meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk, hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat
untuk memiliki kemampuan dan menjangkau pelayanan kesehatan yang optimal di
seluruh wilayah Indonesia (Depkes RI, 2002).
Rumah sakit sebagai salah satu sarana
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat diamanatkan
agar dapat berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan
rujukan atau upaya kesehatan penunjang (Yahmono, 1994).
Pelayanan kesehatan yang diberikan
rumah sakit kepada masyarakat meliputi upaya kesehatan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan (Yahmono, 1994).
Penyakit diare hingga kini masih
merupakan salah satu penyakit pada balita di Indonesia. Diperkirakan angka
kesakitan berkisar diantara 150-430 per seribu penduduk setahunnya dengan upaya
yang sekarang telah dilaksanakan, angka kematian di rumah sakit dapat ditekan
menjadi kurang dari 3% (FKUI, 1985).
Penyakit diare merupakan salah satu penyebab
utama kematian dan kesakitan masa anak-anak di negara berkembang. Diperkirakan
diare menyebabkan kematian sebanyak 5 juta anak balita setiap tahunnya,
kira-kira 80% kematian ini terjadi pada dua tahun pertama umurnya. Sebagai
tambahan, selain sebagai penyebab langsung kematian, diare juga menjadi
penyebab utama gizi kurang yang kemudian menimbulkan kematian karena penyebab
lain, misalnya infeksi saluran nafas (Sunoto, 1990).
Hasil-hasil survei di Indonesia
menunjukkan bahwa angka kesakitan diare untuk seluruh golongan umur adalah
berkisar antara 120-360 per 1000 penduduk dan untuk balita menderita satu atau
dua kali episode diare setiap tahunya atau 60% dari semua kesakitan diare, 12%
dari semua kematian pada semua golongan umur disebabkan diare atau 84,4 per
100.000 penduduk. Sebagian besar kematian (76%) terjadi pada bayi dan anak
balita masing-masing adalah 15,5%, 26,4 atau 19,1% (Sunoto, 1990). Sedangkan
angka kesakitan diare pada tahun 2000 di Indonesia (Survei P2 Diare) adalah 301
per 1.000 penduduk, dimana 40-60% penderita diare adalah balita. Dengan episode
diare yang terjadi pada setiap balita adalah 2-3 kali per tahun (Alfa, 1996).
Penyakit diare merupakan penyakit
menular, di negara berkembang termasuk Indonesia penyakit ini menjadi
masalah utama karena merupakan salah satu penyebab utama kematian anak balita.
Di propinsi Bengkulu angka kesakitan diare tahun 2004 sebanyak 13.202 per
100.000 penduduk (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2004). Berdasarkan data laporan
tahunan penyakit diare di Kota Bengkulu pada tahun 2004, insiden diare pada
balita sebanyak 8.609 orang.
Sedangkan di RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu berdasarkan data sekunder yang didapat dari medical record angka
kejadian diare pada periode Januari sampai Desember 2006 dari 15.820 pasien yang
dirawat di ruang rawat inap, penyakit diare merupakan urutan tertinggi di RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu dari rangking 10 besar penyakit pasien Irna berdasarkan
oleh umur < 1 tahun adalah berjumlah 226 orang (12,69%), sedangkan dari data
yang diambil dari medical record
bahwa pada anak < 1 tahun yang dirawat khusus yang paling tinggi adalah
diare 410 orang (20,65%).
Menurut Purbawati (2001) selama ini
banyak orang tua cenderung menganggap enteng apabila bayi atau anaknya bila
mengalami gejala diare. Sering kali ketika diperiksa ke dokter, penderita sudah
keadaan terlambat, lemas atau kekurangan cairan, bila dibiarkan berlarut-larut
akan mengakibatkan dehidrasi dan selanjutnya shock, bahkan kematian.
Kematian ini lebih disebabkan bayi
kehabisan cairan tubuh, asupan cairan itu tidak seimbang dengan pengeluaran
melalui muntah dan berak, meskipun berlangsung sedikit demi sedikit (Widjaja,
2002).
Penderita diare perlu mendapatkan
perhatian khusus karena dampak yang diakibatkan oleh penyakit diare apabila tidak
mendapatkan penanganan secara baik yaitu terganggu pertumbuhan dan perkembangan
anak dan dapat pula mengakibatkan malnutrisi, energi protein, upaya
penanggulangan diare bukan saja merupakan tugas dari tenaga kesehatan tetapi
seluruh masyarakat (Widayanti, 1996).
Dehidrasi sebagai akibat diare kronis
disertai intake makanan dan minuman yang kurang, maka dapat timbul dehidrasi,
kepada mereka ini perlu dilakukan rehidrasi dengan cara memberikan garam oralit
dan minum secukupnya, tetapi sering pula cairan ini kurang dapat mengatasinya,
karena dapat timbul mual/muntah, maka sebaiknya segera diberikan cairan infus
dengan NaCl dan Ringer Laktat, sebaiknya penderita yang tidak memperlihatkan
dehidrasi, hanya cukup diawasi kondisi badannya (Hadi Sujono, 2002).
Demikian pentingnya kejadian
penurunan berat badan pada pasien diare maka perlu diadakan penelitian tentang
hubungan berat badan dengan intake cairan yang diberikan pada balita yang
menderita diare tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan
antara berat badan dengan intake cairan melalui parenteral yang diberikan pada
balita penderita diare yang dirawat di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006 ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari hubungan antara
berat badan dengan intake cairan pada balita penderita diare yang dirawat inap
di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.
Ingin mengetahui gambaran intake melalui parenteral (infus) yang
diberikan pada balita penderita diare yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu tahun 2006.
2.
Ingin mengetahui gambaran
perubahan berat badan anak yang menderita diare akibat hilangnya cairan.
3.
Ingin mengetahui asuhan
keperawatan diare pada anak balita di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
4.
Ingin mengetahui hubungan yang
signifikan antara berat badan dengan intake
cairan melalui parenteral yang diberikan pada balita penderita diare yang di rawat
inap di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Bagi Akademik
Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu
keperawatan khususnya asuhan keperawatan tentang diare
1.4.2.
Bagi Rumah Sakit
Sebagai informasi bagi pihak manajemen rumah sakit
mengenai pelayanan keperawatan terhadap upaya pencegahan diare.
1.4.3.
Bagi Peneliti Lain
Memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa/mahasiswi
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu untuk pengembangan ilmu keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diare
2.1.1. Pengertian
Menurut Ngastiyah (1997) diare
adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih
3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula
bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Suandi (1998) mengemukakan bahwa
diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah
dan atau lendir dalam tinja.
2.1.2. Etiologi
1.
Faktor Infeksi
a.
Infeksi enteral
Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak meliputi infeksi enteral sebagai berikut :
1)
Infeksi bakteri : Vibrio, E.
Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
2)
Infeksi virus : Enterovirus
(virus Echo, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll.
3)
Infeksi parasit : cacing
(Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica,
Biardia Lamblia, Trichomonas huminis), jamur (Candida albicans).
b.
Infeksi parenteral
Infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti : otitis
media acut (OMA), tonsillitis/tonsilo faringitis, bronchopneumonia,
ensefallitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak
berumur di bawah 2 tahun.
2.
Faktor malabsorbsi
a.
Malabsorbsi karbohidrat :
disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida
(intoleransi glukosa, dan galaktosa) pada bayi dan anak yang terpenting dan
tersering intoleransi laktosa.
b.
Malabsorbsi lemak
c.
Malabsorbsi protein
3.
Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4.
Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas, jarang tetapi dapat terjadi pada
anak yang lebih besar (Ngastiyah, 1997).
2.1.3. Jenis Diare
1.
Diare Akut
Ialah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung
singkat dalam beberapa jam sampai 7-14 hari. Akibat diare angkut adalah
dehidrasi yang merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2.
Diare Kronis
Ialah diare yang berlangsung lebih dari tiga minggu.
Ketentuan ini berlaku bagi orang dewasa, sedangkan pada bayi dan anak
ditetapkan batas waktu dua minggu (Mansjoer, 2001)
2.1.4. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah :
1.
Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat
yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus
meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare.
2.
Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya
toxin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit
ke dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan
isi rongga usus.
3.
Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare.
Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya timbul diare (Ngastiyah, 1997).
2.1.5. Gejala Klinis
Bayi dan anak-anak mula-mula cengeng,
gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare, tinja cair, dan mungkin disertai lendir dan atau darah.
Warna tinja makin lama berwarna kehijauan, anus dan daerah sekitarnya lecet,
muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah
kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak,
berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung,
selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Staf Pengajar IKA,
FKUI, 1985).
2.1.6. Patofisiologi Diare dan
Dehidrasi
Perubahan mekanisme absorpsi dan
sekresi menyebabkan kehilangan cairan dari tubuh dan terjadi dehidrasi yang
merupakan keadaan paling gawat pada diare.
Pada diare infeksius perubahan
seperti itu terjadi akibat aktivitas toksin yang dikeluarkan oleh bakteri di
mukosa usus, misalnya oleh Escherichia coli dan Vibrio cholerae. Toksin ini
merangsang mekanisme seluler yang menghasilkan nukleotid siklik (AMP siklik).
Toksin ini menyebabkan turunnya absorpsi aktif natrium dari lumen usus oleh
vili dan meningkatkan sekresi aktif NaCl dan air dari kripta mukosa ke dalam
lumen usus. Pada Shigella dan organisme invasif lainnya, perubahan absorpsi dan
sekresi dengan mekanisme yang sama juga terjadi, walaupun pada tingkat yang
lebih rendah.
Diare juga dapat terjadi bila molekul
yang aktif daya osmotiknya, misalnya garam-garam atau gula ada di dalam lumen
usus dalam konsentrasi cukup tinggi sehingga tekanan osmotik cairan usus lebih
tinggi daripada cairan ekstraseluler dinding usus dan darah. Pada keadaan itu
air akan berpindah secara pasif dari jaringan ke dalam usus melalui proses
difusi. Bila bahan-bahan osmotik aktif tidak diserap (misalnya : laktosa pada
anak yang kekurangan enzim laktase) air akan menetap di lumen usus, dan akan
dikeluarkan bersama-sama bahan lain sebagai diare. Penggunaan Mg2SO4
(garam Inggris) sebagai bahan pencahar menggunakan prinsip tersebut.
Cairan yang hilang karena diare
mengandung cairan tubuh dan elektrolit (natrium, klorida, kalium dan
bikarbonat), muntah dan demam yang menyertai akan mempertinggi kehilangan itu,
tetapi ginjal mencoba menahan air dan elektrolit.
Cairan yang diminum, bila diabsorpsi
dapat menggantikan cairan yang hilang ini pada penderita diare, penting menjaga
keseimbangan neto positif cairan atau keseimbangan positif yang artinya keadaan
masukan seluruh cairan lebih besar daripada keluaran seluruh cairan dalam
jangka waktu tertentu.
Dehidrasi terjadi bila kehilangan
cairan berlebihan atau tidak digantikan secara cukup. Gejala dan tanda
dehidrasi tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan setara dengan 4-5% berat
badan. Peningkatan defisit cairan dan dehidrasi ditandai dengan rasa haus,
menurunnya turgor kulit, mengeringnya membran mukosa, mata cekung, air mata
kering, ubun-ubun cekung pada bayi. Bila dehidrasi bertambah berat, akibatnya
dapat menjadi anuria, menurunnya kesadaran. Dehidrasi berat terlihat bila
defisit cairan mencapai 10% berat badan. Bila defisit bertambah dapat terjati
renjatan dan kematian (Sunoto, 1990).
2.1.7. Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan
elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi, seperti :
1.
Dehidrasi (ringan, sedang,
berat, hitpotonik, isotonic dan hipertonik).
2.
Renjatan hipovolemik
3.
Hipokalemia (dengan gejala
meteorisme, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada
elektrokardiogram).
4.
Hipoglikemia
5.
Intoleransi laktosa sekunder,
sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus
halus.
6.
Kejang, terutama pada dehidrasi
hipertonik.
7.
Malnurisi energi protein,
karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan (Staf
Pengajar IKA, FKUI, 1985).
2.1.8. Menilai Derajat Dehidrasi
Tabel 2.1. Derajat Dehidrasi Batasan WHO
Tanda dan Gejala
|
Dehidrasi (D) Ringan
|
D. Sedang
|
D. Berat
|
Keadaan umum
|
Sakit, gelisah, haus
|
Gelisah, ngatuk, rewel
|
Ngantuk, lemas, dingin, berkeringat, pucat,
dapat pingsan
|
Denyut nadi
|
Normal : kurang dari 120/menit
|
Cepat dan lemah : 120-140/menit
|
Cepat, halus, kadang tak teraba
|
Pernapasan
|
Normal
|
Dalam tapi cepat
|
Dalam, cepat
|
Ubun-ubun
|
Normal
|
Cekung
|
Sangat cekung
|
Kelopak mata
|
Ada
|
Cekung
|
Sangat cekung
|
Air mata
|
Ada
|
Tidak ada
|
Sangat kering
|
Selaput lendir
|
Lembab
|
Kering
|
Sangat kering
|
Elastisitas kulit
|
Jika dicubit, segera kembali normal
|
Untuk kembali normal lambat
|
Untuk kembali normal sangat lambat
|
Air seni
|
Normal
|
Berkurang, berwarna tua
|
Tidak kencing
|
(Widjaja, 2002)
2.1.9. Penatalaksanaan
1.
Pemberian Cairan
a.
Jenis cairan
1)
Cairan rehidrasi oral (oral rehidration salts)
a)
Formula lengkap mengandung
NaCl, NaHCO3, KCl dan glukosa. Kadar natrium 90 mEg/l untuk kolera
dan diare akut pada anak di atas 6 bulan dengan dehidrasi ringan dan sedang
atau tanpa dehidrasi (untuk pencegahan dehidrasi). Kadar natrium 50-60 mEg/l
untuk diare non kolera pada anak di bawah 6 bulan dengan dehidrasi ringan,
sedang atau tanpa dehidrasi. Formula lengkap sering disebut oralit.
b)
Formula sederhana (tidak
lengkap) hanya mengandung NaCl dan sukrosa atau karbohidrat lain, misalnya larutan
gula garam, larutan air tajin garam, larutan tepung beras garam dan sebagainya
untuk pengobatan pertama di rumah pada semua anak dengan diare akut baik
sebelum ada dehidrasi maupun setelah ada dehidrasi ringan.
2)
Cairan parenteral
a)
DGaa (1 bagian larutan Darrow +
1 bagian glukosa 5%)
b)
RL g (1 bagian ringer laktat +
1 bagian glukosa 5%)
c)
RL (ringer laktat)
d)
3@ (1 bagian NaCl 0,9% + 1
bagian glukosa 5% + 1 bagian Na laktat 1/6 mol/l)
e)
DG 1:2 (1 bagian larutan Darrow
+ 2 bagian glukosa 5%)
f)
RLg 1:3 (1 bagian ringer laktat
+ 3 bagian glukosa 5%).
g)
Cairan 4:1 (4 bagian glukosa
5-10% + 1 bagian NaHCO3 1½% atau 4 bagian glukosa 5-10% 1 bagian
NaCl 0,9%).
b.
Jalan pemberian cairan
1)
Peroral untuk dehidrasi ringan,
sedang dan tanpa dehidrasi dan bila anak mau minum serta kesadaran baik.
2)
Intragastrik untuk dehidrasi
ringan, sedang atau tanpa dehidrasi, tetapi anak tidak mau minum, atau
kesadaran menurun.
3)
Intravena untuk dehidrasi
berat.
c.
Jumlah cairan
Tabel 2.2. Jumlah Cairan yang Hilang
Menurut Derajat Dehidrasi pada Anak Di Bawah 2 Tahun
Derajat Dehidrasi
|
PWL*
|
NWL**
|
CWL***
|
JUMLAH
|
|
Pada anak umur di bawah 2 tahun
|
|||||
Ringan
|
50
|
100
|
25
|
175
|
|
Sedang
|
75
|
100
|
25
|
200
|
|
Berat
|
125
|
100
|
25
|
250
|
|
Pada anak umur 2-5 tahun
|
|||||
Ringan
|
30
|
80
|
25
|
135
|
|
Sedang
|
50
|
80
|
25
|
155
|
|
Berat
|
80
|
80
|
25
|
185
|
Tabel 2.3. Jumlah Cairan Yang Hilang
Menurut Derajat Dehidrasi Berat Menurut Berat Badan Penderita Dan Umur
Berat Badan
|
UMUR
|
PWL*
|
NWL**
|
CWL***
|
JUMLAH
|
- 3 kg
|
- 1 bulan
|
150
|
125
|
25
|
300
|
3 – 10 kg
|
1 bl-2 th
|
125
|
100
|
25
|
250
|
10 – 15 kg
|
2-5 th
|
100
|
80
|
25
|
205
|
15 – 25 kg
|
5-10 th
|
80
|
65
|
25
|
170
|
Keterangan :
*
PWL = Previous Water Loss (ml/kg BB)
**NWL = Normal Water Losses (ml/kg BB)
***CWL = Concomitant
Water Losses (ml/kg BB)
d.
Jadwal (kecepatan) pemberian
cairan
1)
Belum ada dehidrasi
a)
Oral sebanyak anak mau minum (ad libitum) atau 1 gelas setiap kali
buang air besar.
b)
Parenteral dibagi rata dalam 24
jam.
2)
Dehidrasi ringan
a)
1 jam pertama : 25-50 ml/kg BB
per oral atau intragastrik
b)
Selanjutnya : 125 ml/kg BB/hari
atau ad libitum
3)
Dehidrasi sedang
a)
1 jam pertama : 50-100 ml/kg BB
peroral atau introgastrik
b)
Selanjutnya : 125 ml/kg BB/hari
atau ad libitum.
4)
Dehidrasi berat
Untuk anak 1 bulan-2 tahun dengan berat badan 3-10 kg :
1 jam
pertama : 40 ml/kg BB/jam atau 10 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 13 tetes/kg BB/menit
(dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes)
7 jam
kemudian : 12 ml/kg BB/jam atau 3 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 4 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes).
17 jam
berikut : 125 ml/kg BB oralit peroral atau intragastrik bila anak tidak mau
minum, teruskan DG aa intravena 2 tetes/kg BB/menit (1 ml=15 tetes) atau 3
tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes)
Untuk
anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg :
1 jam
pertama : 30 ml/kg BB/jam atau 8 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 10 tetes/kg BB/menit
(dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes)
7 jam
kemudian : 10 ml/kg BB/jam atau 3 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 4 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes).
17 jam
berikut : 125 ml/kg BB peroral atau intragastrik bila anak tidak mau minum,
teruskan DG aa intravena 2 tetes/kg BB/menit (1 ml=15 tetes) atau 3 tetes/kg
BB/menit (1 ml = 20 tetes)
Untuk
anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg :
1 jam
pertama : 20 ml/kg BB/jam atau 5 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 7 tetes/kg BB/menit
(dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes)
7 jam
kemudian : 10 ml/kg BB/jam atau 2½ tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1
ml=15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (dengan infus berukuran 1 ml = 20 tetes).
17 jam
berikut : 105 ml/kg BB oralit per oral atau intragastrik bila anak tidak mau
minum, teruskan DG aa intravena 1 tetes/kg BB/menit (1 ml=15 tetes) atau 1½ tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes)
2.
Penggunaan obat-obatan
a.
Obat anti sekresi
1)
Asetosal
Dosis : 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
2)
Klorpromazin
Dosis : 0,5-1 mg/kg BB/hari
b.
Obat anti spasmolitik
Pada umumnya obat anti spasmotlitik seperti papaverine,
ekstrak beladona, opium, loperamid dan sebagainya tidak diperlukan untuk
mengatasi diare akut.
c.
Obat pengeras tinja
Seperti kaolin, pectin, charcoal, tabonal, dan
sebagainya tidak ada manfaatnya untuk mengatasi diare.
d.
Antibiotika
Pada umumnya antibiotika tidak diperlukan untuk
mengatasi diare akut, kecuali bila penyebabnya jelas seperti :
1)
Kolera, diberikan tetrasiklin
25-50 mg/kg BB/hari.
2)
Campylobacter, diberikan
eritromisin 40-50 mg/kg BB/hari
(Staf Pengajar IKA FKUI, 1985)
3.
Perawatan
a.
Perawatan dilakukan dengan
penuh kasih sayang.
b.
Pemberian suasana lingkungan
yang menyenangkan dan ceria
c.
Berikan ASI sesering mungkin
bila anak menyusui.
d.
Bila tidak menyusui, berikan
susu yang biasa digunakan lebih banyak.
e.
Pemberian makanan harus
diteruskan dengan porsi sedikit tapi sering, sebaiknya makanan rendah serat
(Alfa, 1996).
f.
Bila panas berikan kompres
hangat pada dahi, ketiak dan lipat paha (pada aliran pembuluh darah besar).
g.
Menyediakan permainan dan
kegiatan fisik segera setelah anak mampu melakukannya (Depkes RI,
Dirjen PPM dan PL, 2002)
2.1.10. Pencegahan
Usahakan pencegahan yang dapat
dilakukan ibu dan keluarga secara benar dan efektif adalah :
1.
Pemberian ASI
a.
Pemberian ASI eksklusif secara
penuh selama 4-6 bulan pertama, sama sekali jangan menggunakan makanan melalui
botol, karena bayi akan lebih sering menderita diare.
b.
Meneruskan sebagian ASI sampai
anak paling kurang berumur 1 tahun, lebih baik lagi bila lama (sampai usia 2
tahun)
c.
Meneruskan pemberian ASI
walaupun anak sedang sakit, terutama bila anak menderita diare.
2.
Memperbaiki makanan sapihan
a.
Perkenalkan makanan lunak,
ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam
makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering
(4 x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak
dengan baik, 4-6 x sehari, teruskan pemberian ASI bila mungkin.
b.
Tambahkan minyak, lemak dan
gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan
susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna
hijau ke dalam makanannya.
c.
Cuci tangan sebelum menyiapkan
makanan dan menyuapi anak. Suapi anak dengan piring dan sendok garpu yang
bersih.
d.
Masak atau rebus makanan dengan
benar, siapan sisanya pada tempat yang diinginkan dan panaskan dengan benar
sebelum diberikan kepada anak.
3.
Banyak menggunakan air bersih
a.
Ambil air dari sumber air yang
terbersih.
b.
Ambil dan simpan air dalam
tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk mengambilnya.
c.
Pelihara atau jaga sumber air
dari pencemaran oleh binatang, anak-anak mandi, dll.
d.
Rebus air, bila mungkin ketika
memasak makanan atau untuk minum bagi anak-anak kecil atau gunakan air bersih.
e.
Cuci semua piring, gelas, panci
dan alat-alat yang digunakan untuk makan, dengan air yang cukup banyak.
4.
Mencuci tangan
Semua anggota keluarga harus mencuci tangan dengan baik
:
a.
Setelah membuang tinja anak.
b.
Setelah buang air besar
c.
Sebelum menyiapkan makanan
d.
Sebelum makan
e.
Sebelum memberikan makanan anak
5.
Penggunaan jamban
a.
Buat satu jamban yang bersih
dan dapat dipakai oleh semua anggota keluarga yang sudah cukup umur. Jaga agar
jamban tetap bersih dengan membersihkan secara teratur permukaan yang kotor.
b.
Bila tidak ada jamban :
1)
Buang air besar jauh dari rumah
dan tempat anak bermain dan jaraknya paling kurang 10 meter dari sumber air.
2)
Hindari pergi buang air besar
tanpa alas kaki.
3)
Jangan biarkan anak pergi
sendiri ke tempat buang air besar, jaga tangan anak agar tidak menyentuh tanah
dekat tempat bulang air besar.
6.
Cara yang benar membuang tinja
bayi
a.
Tinja anak yang sakit
berbahaya. Tinja itu harus dibungkus dengan kertas atau daun dan dibuang dengan
cepat ke dalam jamban atau lubang yang jauh dari rumah dan sumber air minum.
b.
Segera bersihkan anak yang
telah selesai buang air besar, setelah itu ibu harus mencuci tangannya dan
tangan anaknya.
7.
Imunisasi campak
Anjurkan anak diimunisasi campak segera setelah berumur
9 bulan (Sunoto, 1990).
2.2. Berat Badan
2.2.1. Pengertian
Menurut Soetjiningsih, 1998) berat
badan adalah merupakan ukuran antropometri yang penting menggambarkan hasil
peningkatan dan penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara lain
tulang, otot, lemah, cairan tubuh dan lain-lain. Sedangkan menurut (Supariasa,
2001) berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting dan paling
sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus), yang digunakan untuk
mendiagnosa bayi normal atau BBLR.
2.2.2. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Berat Badan
Berat
badan dipakai sebagai indikator yang terbaik saat ini untuk mengetahui keadaan
gizi dan tumbuh anak, sehingga dapat dipengaruhi oleh:
1.
Faktor genetik
Merupakan dasar dalam mencapai hasil
akhir proses tumbuh anak melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel
telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan,
termasuk faktor genetik lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin, suku bangsa (Soejiningsih, 1998).
2.
Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang
sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan (berat badan)
lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan (berat
badan normal). Sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Ini merupakan
lingkungan “bio-psiko-sosial” yang mempengaruhi berat badan individu setiap
hari mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.
Faktor lingkungan ini secara garis
besar dibagi menjadi :
a.
Faktor dalam kandungan
(prenatal)
b.
Faktor setelah lahir (post
natal)
(Soetjiningsih, 1998)
2.2.3. Standar Berat Badan Normal
pada Balita
1.
Berat badan dalam masa neonatus
Dalam keadaan normal berat badan
seorang bayi yang baru lahir akan turun pada hari-hari pertama timbangannya.
Karena hilangnya cairan dalam tubuh bayi yang baru lahir itu. Ini berlangsung
dari hari pertama hingga hari keempat dan turun ± 200-400 gram. Kemudian berat
badan bayi akan berangsur naik lagi, sampai hari ke 14 mencapai kembali
timbangan sewaktu lahir.
2.
Berat badan pada umur 1 tahun
Pertambahan berat badan bayi akan
kita hitung dalam tiap-tiap triwulan :
a.
Triwulan ke-1 naiknya 2 x berat
badan waktu lahir
b.
Triwulan ke-2 naiknya 3 x berat
badan waktu lahir
c.
Triwulan ke-3 naiknya 4 x berat
badan waktu lahir
3.
Berat badan pada umur 2 tahun
Berat badan 4 x berat badan waktu lahir
4.
Berat badan pada umur 3-5 tahun
Berat badan 5 x berat badan waktu lahir (Senirang, 1985)
Rumus lain tentang pertumbuhan berat badan anak berumur
1 tahun ke atas menurut Prof. Golter.
= Umur
N tahun, berat badan :
(N-1)
x 2 + 10 kg = berat badan (Senirang, 1985).
2.2.4. Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan antara lain :
1.
Parameter yang paling baik,
mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan-perubahan
konsumsi makanan dan kesehatan.
2.
Memberikan gambaran status gizi
sekarang dan kalau dilakukan secara periodik memberikan gambaran yang baik
tentang pertumbuhan.
3.
Merupakan ukuran antropometri
yang sudah dipakai secara umum dan luas di Indonesia sehingga tidak merupakan
hal baru yang memerlukan penjelasan secara meluas.
4.
Ketelitian pengukuran tidak
banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.
5.
KMS (Kartu Menuju Sehat) yang
digunakan sebagai alat yang baik untuk pendidikan dan memonitor kesehatan anak
menggunakan juga berat badan sebagai dasar pengisiannya.
6.
Karena masalah umur merupakan
faktor penting untuk penilaian status gizi, berat badan terhadap tinggi badan
sudah dibuktikan dimana-mana sebagai indeks yang tergantung pada umur.
7.
Alat pengukur dapat diperoleh
di daerah pedesaan dengan ketelitian yang tinggi dengan menggunakan dacin yang
sudah dikenal oleh masyarakat (Supariasa, 2001).
2.2.5. Penentuan Berat Badan
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang,
alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan :
1.
Mudah digunakan dan dibawa dari
satu tempat ke tempat yang lain.
2.
Mudah diperoleh dan relatif
murah harganya
3.
Ketelitian penimbangan
sebaiknya maksimum 0,1 kg.
4.
Skalanya mudah dibaca
5.
Cukup aman untuk menimbang anak
balita
(Supariasa, 2001)
2.3. Intake Cairan Melalui Parenteral
2.3.1. Pengertian
Intake cairan melalui parenteral/infus adalah
pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh melalui sebuah jarum, ke dalam
pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan/zat-zat
makanan dari tubuh.
Cairan infus dikenal beberapa jenis
cairan infus, yaitu :
1.
Cairan infus glukosa 5%
2.
Cairan infus NaCl 0,9%
3.
Cairan infus KCl 0,3% atau KCl
0,6%
4.
Cairan infus Natrium Karbonat
dan
5.
Cairan infus Natrium Laktat
Cairan infus NaCl adalah campuran
aquabidest dan garam grade farmasetis yang berguna untuk memasak natrium dan
mineral bagi pasien yang dirawat di rumah sakit.
Pada kasus diare disertai muntah,
penggantian cairan tubuh harus diberikan lewat infus, pasalnya minuman apapun
yang diberikan kepada penderita pasti dimuntahkan lagi, kalau penderita bisa
minum berilah cairan sedikit demi sedikit agar tidak memicu mual.
Pemberian cairan intravena. Jika
memungkinkan jalur enteral digunakan untuk cairan. Panduan ini hanya digunakan
pada anak yang tidak dapat menerima cairan melalui mulut, berlaku juga untuk
anak di atas usia neonatus (satu bulan).
Secara umum keadaan yang dapat
memerlukan pemberian cairan infus adalah :
1.
Perdarahan dan jumlah banyak
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
2.
Trauma abdomen (perut) berat
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
3.
Fraktur (patah tulang),
khususnya di pelvis (panggul) dan pemur (Paha), kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah).
4.
Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh
pada dehidrasi)
5.
Diare dan demam (mengakibatkan
dehidrasi)
6.
Luka bakar luas (kehilangan
banyak cairan tubuh)
(http://www.kompas.com)
2.3.2. Hubungan Berat Badan
dengan Intake Cairan
Berat badan adalah ukuran
antropometri yang menggambarkan hasil peningkatan dan penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak dan cairan tubuh
(Soetjiningsih, 1998).
Intake cairan adalah pemberian
sejumlah cairan ke dalam tubuh melalui sejumlah jarum ke dalam pembuluh darah
vena untuk menghentikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Hubungan berat badan dengan intake
cairan yang diberikan pada anak yang terkena diare sesuai dengan berat
ringannya dehidrasi. Cara menghitung jumlah cairan yang mengalami dehidrasi
adalah :
1.
Dehidrasi ringan, kehilangan
cairan 0-5% dengan hitungan rata-rata 2,5%, diberikan cairan 25 ml/kg BB.
2.
Dehidrasi sedang kehilangan
cairan 5-10% dengan hitungan rata-rata 7,5%, berarti dibutuhkan cairan
pengganti 75 ml/kg BB.
3.
Dehidrasi berat kehilangan
cairan 10-15% dengan hitungan rata-rata 12,5%, berarti dibutuhkan cairan
pengganti 125 ml/kg BB.
Dengan kata lain, penderita diare dengan dehidrasi
membutuhkan cairan pengganti untuk dehidrasi ringan 150 ml/kg BB/24 jam dan
dehidrasi sedang 200 ml/kg BB/24 jam. Perlu diperhatikan jumlah cairan maksimal
yang diperkenankan untuk bayi atau anak kurang dari 1 tahun adalah 1.500 ml/24
jam.
Cairan harus diberikan secepat-cepatnya pada 4 jam
pertama sejak anak terserang diare. Cairan ini berguna untuk menaikkan volume
darah, mengembalikan defisit air dan defisit elektrolit. Menurut WHO, untuk 1
jam pertama anak boleh diberi 20-40 ml/kg BB/jam dan sisa keperluannya dibagi
dalam 23 jam berikutnya.
Jadi penurunan berat badan dengan intake cairan sangat berhubungan, karena
apabila terjadi penurunan berat badan yang berlebih, maka kebutuhan akan cairan
akan menjadi lebih banyak untuk mengembalikan sejumlah cairan yang hilang,
begitu pula sebaliknya bila penurunan berat badan sedikit maka kebutuhan akan
cairan juga akan lebih sedikit (Widjaja, 2002)
2.4. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan
landasan proses keperawatan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan
data, pengelompokkan data dan perumusan masalah keperawatan (H. Lismida dkk,
1990)
a.
Data Biografi
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, agama, alamat.
b.
Riwayat kesehatan
a)
Riwayat kesehatan sekarang
1)
Alasan masuk rumah sakit
Pasien datang diantar siapa, apakah pasien kiriman,
keluhan atau alasan untuk berobat, sebelum sakit apakah pasien pernah
mengkonsumsi salah satu dari faktor etiologi dari penyakit diare, sebelum
berobat ke rumah sakit sekarang sudah berapa hari sakit untuk di rumah dan berobat
ke mana.
2)
Keluhan utama saat dikaji
Keluhan yang dirasakan sering defekasi, penurunan nafsu
makan, biasanya disertai dengan muntah, demam, penurunan berat badan, adanya
nyeri pada daerah abdomen, kram dan distensi abdomen.
b)
Riwayat kesehatan dahulu
Sebelum sakit pada saat ini, apakah pernah menderita
penyakit yang sama dengan sekarang, kapan terakhir sekali dan berobat kemana,
sembuh dalam perawatan berapa hari, apakah pengobatan yang lalu berhasil.
c)
Riwayat kesehatan keluarga
Diantara keluarga yang tinggal satu rumah, adakah yang
menderita yang sama yang diderita pasien pada saat sekarang ini, atau orang
lain yang tinggal satu lingkungan dengan pasien yang menderita yang sama dengan
pasien pada saat ini.
c.
Data psikologis
Ekspresi wajah pasien biasanya kelihatan murung dan
sedih respon pasien tentang tindakan keperawatan yang diberikan, keinginan atau
harapan pasien terhadap penyakitnya, apakah pasien sering meringis, mekanisme
koping yang digunakan untuk pemecahan masalah.
d.
Data sosial ekonomi
Bagaimana hubungan pasien terhadap masyarakat, dalam
kegiatan, organisasi apa yang diikuti, peranannya dalam masyarakat atau
organisasi yang diikuti, peran dalam keluarga. Pekerjaan pasien yang menetap,
penghasilan dalam satu bulan dalam keluarga, apakah cukup untuk dikonsumsi
setiap hari dari penghasilan yang didapat.
e.
Data Spiritual
Pasien beragama apa, sebelum sakit bagaimana
pelaksanaannya, dan sesudah sakit bagaimana pelaksanaannya. Kalau tidak
dilaksanakan kenapa.
f.
Pemeriksaan Fisik
1)
Tanda-tanda vital
TD : Hipotensi < 100 mmHg
N :
> 90 x / menit tetapi sangat
lemah.
S : Hipertermi karena disebabkan oleh kekurangan
cairan
RR : > 28 x / menit (cepat dan dalam)
BB : Menurun dari berat badan sebelum mengalami
diare.
2)
Keadaan umum
Kesan umum : nyeri
pada daerah abdomen seluruh kuadran
Wajah : ekspresi
gelisah, cemas
Kesadaran : compos
mentis atau sampai pada pre-syok
Bicara : pelan
dengan suasa serak karena disebabkan oleh keringnya mukosa pada daerah mulut.
3)
Kulit
Warna kulit biasanya anemis, suhu meningkat hipertermi,
kelembaban kering, turgor kurang baik.
4)
Kepala
a)
Rambut dan kulit kepala
Akan terjadi defisit perawatan diri karena kelemahan
fisik, warna kulit akan anemis.
b)
Mata
Palpebra akan cekung, konjungtiva anemis.
c)
Mulut
Bibir kering dan pecah-pecah, gusi anemis, lidah anemis,
nafas akan tercium bau.
5)
Dada
a)
Paru-paru
Ekspansi paru, jenis pernafasan, ritme pernafasan,
frekuensi kesulitan bernafas, penyakit yang berhubungan dengan pernafasan,
nyeri waktu bernafas.
b)
Jantung
Nyeri dada, denyut jantung biasanya cepat dan pelan,
suara nafas pembesaran jantung ictus cordis.
6)
Abdomen
Nyeri tekan, lepas dan ketok di daerah abdomen seluruh
kuadran, apakah ada pembesaran hepar (hepatomegali), distersi abdomen, kram
pada abdomen, acites dan striae, bunyi perkusi hipertimpani, bising usus
meningkat akan 7 dari 35 x /menit.
7)
Anus/rectum
Biasanya akan nyeri pada daerah anus karena sering
defekasi berwarna kemerahan dan lembab.
8)
Muskulokskletal
Tonus otot akan mengalami kelemahan, kontrasi kurang,
skala kekuatan otot-otot biasanya akan berada pada skala 1-3 atau 5-50%
kenormalan otot.
9)
Ekstreitas
Ekstremitas atas : biasanya salah satu tangan akan
dipasang infus untuk jalur yang sangat efektif pemasukan cairan dan elektrolit,
tetapi akan terasa lemah, apakah ada tanda-tanda infeksi terhadap pemasangan
infus.
Ekstremitas bawah : terasa lemah, apakah ada kelainan
(cacat).
g.
Data Penunjang
1)
Laboratorium
a)
Darah
LED : pada
proses peradangan terdapat peninggian LED.
HB : pada malabsorbsi dan proses peradangan terjadi penurunan HB
Gula darah : biasanya
menurun.
b)
Tinja
(1)
Makroskopik
Bentuk, warna, kandungan seperti darah, lendir, pus,
lemak, dan lain-lain. Bau spesifik, misalnya : bau anyir (disentri ambebika),
telur busuk (disentri basiler), bau minyak busuk (sindroma malabsorbsi).
(2)
Mikroskopik
Terdapat leukosit, eritrosit, telur cacing, parosit,
bakteri dan lain-lain.
c)
Urine
Pada urin perlu diperiksa warna, kepekatan, berat jenis
biasanya akan meningkat lebih dari batas normal 1.025 kemungkinan adanya
bakteri.
2)
Radiologi
Pada foto polos abdomen : dapat dijumpai pengapuran
(klasifikasi) di dalam pankreas yang menunjukkan kemungkinan adanya
pankreatitis kronik, umumnya alcohol yang berat biasanya menderita diare dengan
steatorea.
Barium meal : dapat dijumpai adanya pistula gostrokolil
yang disebabkan karsinoma lambung dan tukak peptic.
Barium anema : dapat menunjukkan kelainan kolon, antara
lain : skip lesion ditambah tukak aphtosa pada penyakit crohn.
2. Diagnosa Keperawatan
(Lynda Juall Carpenito, 1996)
a.
Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan output.
b.
Diare berhubungan dengan
inflamasi usus.
c.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan diare, vomiting, dan perubahan absorbsi.
d.
Potensial kerusakan integritas
jaringan kulit berhubungan dengan :
1)
Resiko terhadap kekurangan
cairan atau nutrisi.
2)
Tirah baring
e.
Nyeri berhubungan dengan
inflamasi dan iritasi pada usus.
3. Perencanaan Keperawatan
a.
Diagnosa I : Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
dan output
Tujuan : Keseimbangan
cairan dan elektrolit terpenuhi.
Kriteria : - Tanda-tanda vital normal
- Turgor
kulit baik, membran mukosa lembab.
- Haluaran
urine berkisar 1.000-1.500 cc per hari
- Konsistensi
dan frekuensi BAB normal
- Pemeriksaan
laboratorium normal
Intervensi :
1)
Pantau tanda dan gejala dini
defisit volume cairan
Rasional : Deteksi
dini memungkinkan therapi penggantian cairan segera untuk memperbaiki defisit.
2)
Pantau masukan dan haluaran,
yakinkan masukan mengkompensasi haluaran.
Rasional : Dengan
mempertahankan masukan dan haluaran maka dehidrasi dapat teratasi.
3)
Pertahankan pemasukan cairan
parenteral maupun oral
Rasional : Pemasukan
cairan parenteral maupun oral untuk mengganti haluaran
4)
Gambarkan frekuensi out put dan
karakteristiknya
Rasional : Frekuensi
output (feses dan muntah) dan karakteristiknya mengetahui perkembangan
penyakit.
5)
Timbang berat badan pasien tiap
hari pada waktu yang sama dengan pakaian yang sama dan alat penimbang yang
sama.
Rasional : Penimbangan
berat badan harian yang tepat dapat mendeteksi kehilangan cairan.
6)
Berikan obat antimetik
parenteral, sesuai pesanana
Rasional : Antimetik
mencegah muntah dengan menghambat rangsang terhadap pusat muntah.
b.
Diare berhubungan dengan
inflamasi usus
Tujuan : Memperlihatkan
penurunan dalam frekuensi defekasi
Kriteria : - Karakteristik feses telah kembali normal
- Urgensi
untuk BAB
- Flatus
- Steatorea
- Tidak
terdapat darah, mucus, atau pus dalam feses
- Kadar
albumin serum normal
Intervensi :
1)
Observasi feses untuk jumlah,
frekuensi, konsisten dan warna
Rasional : Menentukan
efektivitas agen anti diare dan pembatasan diet.
2)
Pertahankan lingkungan bebas
untuk pasien :
a)
Pispot kosongkan dengan segera
b)
Ganti linen yang basah
c)
Berikan pengharum ruangan
3)
Lakukan perawatan parineal yang
baik
Rasional : Iritasi
parineal karena sering BAB berarti harus dicegah
4)
Turunkan aktivitas fisik selama
diare dan mencerna makanan khusus
Rasional : Penurunan
aktivitas fisik menurunkan peristaltik usus dan menghindari makanan yang dapat
mengiritasi.
5)
Gantikan cairan dan elektrolit
dengan cairan peroral yang mengandung elektrolit yang tepat seperti : jus apel,
cola, root beer, dan air jahe.
Rasional : Tipe
cairan pengganti tergantung pada kebutuhan elektrolit.
c.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan diare, vomiting, dan perubahan absorbsi
Tujuan : Kebutuhan
nutrisi fisik terpenuhi sesuai dengan kebutuhan fisik
Kriteria : - Nafsu makan dan tingkat energi meningkat
- Berat badan meningkat atau kembali normal
- Kondisi mukosa oral lembab dan merah muda
- Data laboratorium normal : seperti : Hb, albumin, serum hematokrit,
jumlah limfosit total.
Intervensi
:
1)
Berikan makanan dengan diit
TKTP dan tinggi mineral
Rasional : Diharapkan
makanan TKTP dan tinggi mineral dapat memenuhi nutrisi pasien.
2)
Anjurkan kepada pasien untuk
makan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Dengan
cara yang demikian sangat menguntungkan untuk menghindari rangsangan muntah.
3)
Motivasi pasien sesuai dengan
waktu makan sesuai yang telah direncanakan
Rasional : Perencanaan
waktu makan, pasien termotivasi untuk makan lebih banyak
4)
Hindari makanan yang dapat
menyebabkan kram dan diare
Rasional : Untuk
mencegah lebih lanjut terjadinya diare.
5)
Berikan dorongan pada pasien
untuk makan dengan lambat, mengunyah dengan baik dan menggigit dalam jumlah
sedikit .
Rasional : Dengan
cara yang demikian pasien mampu makan dengan baik.
6)
Sajikan makanan yang menarik
selera dan bervariasi tetapi tidak melanggar diit yang ditentukan
Rasional : Makanan
yang menarik dan bervariasi dapat meningkatkan selera makan pasien.
7)
Pertahankan keseimbangan intake
dan output pasien
Rasional : Untuk
mendeteksi adekuatnya intake dan output.
d.
Potensial kerusakan integritas
jaringan kulit berhubungan dengan :
1)
Resiko terhadap kekurangan
cairan atau nutrisi.
2)
Tirah baring
Tujuan : Integritas
kulit utuh
Kriteria : - Turgor baik
- Anus dan perineum kering
- Intake dan output seimbang
- Diare berhenti
- Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi
:
1)
Teliti are perirectal terhadap
inflamasi dan iritasi
Rasional : Karena
perirectal kemungkinan besar akan iritasi karena seringnya defekasi.
2)
Berikan perawatan perirectal
setiap kali setelah defekasi.
Rasional : Untuk
mencegah terjadinya infeksi daerah rectal.
3)
Lap dengan kering dan oleskan
salep pelindung daerah rectal setelah defekasi.
Rasional : Daerah
rectal kering akan membantu mengurangi terjadinya iritasi dan inflamasi.
4)
Lakukan perawatan kulit pada
bagian-bagian tulang yang menonjol.
Rasional : Karena
bagian-bagian tulang yang menonjol akan besar penekanannya.
5)
Lakukan perubahan posisi dengan
baik
Rasional : Dengan
perubahan posisi akan mengurangi penekanan yang terlalu lama terhadap kulit.
6)
Yakinkan pemenuhan kebutuhan
nutrisi segera untuk mendukung perbaikan jaringan.
Rasional : Nutrisi
yang baik akan membantu perbaikan jaringan.
e.
Nyeri berhubungan dengan
inflamasi dan iritasi pada usus
Tujuan : Nyeri
pasien teratasi
Kriteria : - Pasien mengetahui faktor yang meningkatkan dan
meringankan nyeri
- Ekspresi wajah tidak tegang
- Pasien tidak menampakkan gejala-gejala nyeri
- Pemeriksaan laboratorium normal.
Intervensi
:
1)
Observasi tingkat nyeri pasien
berdasarkan PQRST
Rasional : Dengan
mengetahui tingkat nyeri pasien yang dirasakan dapat mengetahui tindakan yang
akan dilaksanakan.
2)
Tetapkan efek nyeri terhadap gaya hidup pasien.
Rasional : Nyeri
dapat menyebabkan menarik diri, depresi, marah dan ketergantungan.
3)
Bantu dengan perubahan posisi
yang nyaman.
Rasional : Pengubahan
posisi dapat membantu menggerakan udara dalam usus, menghilangkan kram.
4)
Berikan bantalan hangat di atas
abdomen
Rasional : Kehangatan
merilekskan otot abdomen
5)
Dorong latihan relaksasi
Rasional : Relaksasi
dapat meningkatkan efek terapeutik obat nyeri.
6)
Dorong aktifitas pengalihan
seperti kunjungan keluarga, hubungan telpon dan keterlibatan perawatan diri
Rasional : Pengalihan
dapat membantu mengalihkan pasien dari nyeri.
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah
pengolahan dan perwujudan dari rencana tindakan yang telah ditentukan untuk
mencapai hasil yang diharapkan. Pada tindakan keperawatan keterampilan dalam
berkomunikasi dan teknik dalam melaksanakan tindakan keperawatan dalam
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan dan manajemen yang menentukan
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan. Pelaksanaan tindakan keperawatan ini
harus dilaksanakan oleh tim perawatan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
5. Evaluasi
Tahap evaluasi
adalah menyangkut pengumpulan subjektif yang akan menunjukkan asuhan
keperawatan tercapai atau belum. Masalah apa yang dipecahkan dan apa masalah
yang perlu dikaji ulang, direncanakan, dilaksanakan dan dinilai kembali (Depkes
RI, 1991).
Dari hasil ini dapat
diketahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi untuk menentukan asuhan
keperawatan selanjutnya, yaitu :
a.
Masalah diatasi sepenuhnya.
b.
Masalah teratasi sebagian.
c.
Masalah sama sekali tidak
teratasi
d.
Timbul masalah baru.
Meski evaluasi
merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan tetapi bukan berarti
berhenti di sini, jika masalah belum teratasi atau timbul masalah baru maka
tindakan perlu dilanjutkan atau dimodifikasi kembali.
2.5. Kerangka Konsep
Dari studi literatur kasus penurunan
berat badan pada diare disebabkan oleh banyak faktor tetapi karena keterbatasan
penulis, maka penulis hanya mengambil pada permasalahan hubungan berat badan
dengan intake cairan penderita diare
adalah :
|
|
||||||
2.6. Definisi Operasional
Tabel 2.5. Definisi Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Cara Ukur
|
Alat Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Variabel Independent
Berat Badan
|
Merupakan ukuran antropometri
yang penting menggambarkan hasil peningkatan dan penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh, antara lain tulang, otot lemah, cairan tubuh, dll
|
Menimbang berat badan (hari
pertama dan hari kedua)
|
Timbangan
|
Penurunan BB dalam gram
|
Rasio
|
2
|
Variabel Dependent
Intake cairan
|
Suatu cairan yang menggantikan
cairan tubuh yang hilang pada anak penderita diare
|
Menghitung intake cairan melalui infus
|
Pedoman dokumen tasi
|
Jumlah cairan yang
masuk dalam ml
|
Rasio
|
2.7. Hipotesis
Ho : Tidak
ada hubungan yang signifikan antara berat badan dengan intake cairan melalui parenteral yang diberikan pada anak di balita
yang dirawat inap di RSUD Dr.
M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
Ha : Ada hubungan yang
signifikan antara berat badan dengan intake
cairan melalui parenteral yang diberikan pada anak di balita yang dirawat inap di RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu tahun 2006..
BAB III
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Objek Penelitian
Penelitian ini bertempat di RSUD Dr.
M. Yunus Bengkulu, dengan objek penelitian yaitu seluruh pasien balita yang
menderita diare di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Populasi dan Sampel
Populasi
Seluruh pasien diare pada balita yang ada dirawat di RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu selama bulan Juli tahun 2007.
Sampel
Subjek untuk sampel adalah digunakan accidental sampling, yakni pasien yang
dirawat di ruang rawat inap terutama yang menderita diare (balita) selama penelitian.
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif
yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
mendapatkan hubungan tentang suatu keadaan secara objektif.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dalam
penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
Data Primer
Data primer yaitu data yang
diperoleh melalui observasi langsung pada balita yang menderita diare di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu.
Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari dokumentasi Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
Dengan melihat status pasien untuk
mengetahui identitas pasien dan diagnosa medis dari pasien yang diteliti.
Analisis Data
Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel independent (berat
badan) dan variabel dependent (intake
cairan) dan mendeskripsikan asuhan keperawatan yang dilakukan.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk
melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel independent dan variabel
dependent dengan menggunakan uji korelasi
product moment.
DAFTAR PUSTAKA
Alfa, Y, 1996. Diare Akut pada Anak. EGC, Jakarta.
Depkes RI, 2002. Tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Diare. Direktorat Jenderal PPM dan PL, Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, 2004. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu.
--------------------, 2004. Profil Kesehatan Bengkulu. Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu.
Hadi Sujono, 2002. Gastroenterologi, EGC. Jakarta.
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-umar5.pdf.
Mansjoer, 2001. Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3. Media Aesculapius. Jakarta..
Ngastiyah, 1997. Perawatan
Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta.
Senirang, MAA, 1995. Perawatan Bayi dan Anak. Percetakan Pengikat, Palembang.
Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Staf Pengajar IKA FKUI, 1985. Ilmu Kesehatan Anak, FKUI. Jakarta.
--------------------, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi Ke-3. Informed. Jakarta.
Suandi, 1997. Diit
Pada Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Sunoto, dkk, 1990. Pendidikan Medik dan Pemberantasan Diare, Buku Ajar Diare. Departemen
Kesehatan RI, Ditjen PPM dan PLP. Jakarta.
Suntoso, 1998. Gastroenterologi
Anak Praktik. FKUI. Jakarta.
Widjaja, 2002. Mengatasi
Diare dan Keracunan pada Balita. Kesehatan Anak. EGC. Jakarta.
No comments:
Post a Comment