BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB) merupakan indikator dari keberhasilan dan pelayanan
kesehatan dan derajat kesehatan suatu negara. Tingginya AKI dan AKB
menggambarkan belum berhasilnya pelayanan di bidang kesehatan terutama bagi ibu
dan bayi. Kesehatan ibu dan bayi sangat penting untuk diperhatikan guna
peningkatan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup manusia ini ditentukan sejak
dari dalam kandungan hingga usia balita, dimana kesejahteraan anak tergantung
pada kesehatan saat kehamilan, persalinan, nifas dan laktasi.
Di Indonesia AKI masih sangat tinggi
307 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI, 2003) dan merupakan AKI tertinggi dibandingkan negara yang sedang
berkembang lainnya dengan penurunan yang relatif lambat hal ini dapat dilihat
dari hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 tercatat 450 per
100.000 kelahiran hidup menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
1997, pada tahun 2010 diharapkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Penurunan yang sangat lambat ini membuat keadaan sangat memperhatikan sehingga
diperlukan upaya yang komprehensif serta dukungan dari semua pihak untuk
menurunkan angka kematian tersebut.
Hasil survey dari beberapa rumah
sakit di Indonesia, penyebab angka kematian ibu terbanyak adalah karena
komplikasi obstetri (90%) terdiri dari perdarahan (40,6%), infeksi (22,5%) pre
eklamsi dan eklampsi (35%), sedangkan survey kesehatan rumah tangga menyebutkan
jumlah perdarahan (45,2%), eklampsi (11%), komplikasi (6,5%), anemia dan
penyebab tidak langsung (14,1%) (Dinkes Bengkulu, 2005). Dari data di atas
perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian maternal perdarahan
antepartum. Disebutkan juga oleh Sarwono (1999), bahwa perdarahan antepartum
merupakan salah satu penyebab kematian maternal.
Menurut Sastrowinata (1984)
haemoragik antepartum adalah perdarahan pada triwulan terakhir kehamilan, sebab
utamanya diantaranya adalah plasenta previa, plasenta previa adalah plasenta
yang implantasinya tidak normal, letaknya rendah sehingga menutupi sebagian
atau seluruh ostium internum.
Plasenta previa adalah suatu keadaan
dimana implantasi plasenta pada segmen bawah rahim sehingga menutupi atau
mencapai serviks (Chalik, 2002), karena uterus yang berkontraksi dan
berdilatasi pada minggu terakhir kehamilan sehingga villi plasenta akan robek
dari dinding uterus, membuka sinus-sinus uterus sehingga terjadi perdarahan.
Perdarahan ini tergantung pada besarnya sinus yang terbuka, sehingga dapat
menyebabkan kematian maternitas bila tidak ditangani secara baik dan benar.
Perdarahan pada ibu maternal dapat
terjadi pada saat kehamilan, persalinan maupun setelah persalinan. Perdarahan
pada saat kehamilan dapat terjadi pada kehamilan trimester I, II dan III,
dimana perdarahan setiap semester ini harus diwaspadai dan dianggap kelainan
yang berbahaya terutama bila terjadi pada trimester III, karena biasanya
perdarahan bersumber pada kelainan plasenta yang dapat mengakibatkan perdarahan
hebat dan gangguan sirkulasi O2. Kelainan plasenta ini bisa berupa
plasenta previa, solusio plasenta atau perdarahan lain yang belum jelas
diketahui sumbernya (Sarwono, 2001).
Kejadian plasenta previa merupakan
penyebab perdarahan antepartum sebesar 32% (Cermin Kedokteran, 2003). Di
Indonesia kasus plasenta previa masih tinggi yaitu berkisar antara (2,4%)
sampai (3,0%) bila dibandingkan dengan negara maju yang hanya (0,4%) hingga
(0,6%) dan angka kematian yang disebabkan plasenta previa di Indonesia sebanyak (0,2%-1,5%).
Sedangkan di negara maju yang pelayanan obstetrik telah memadai lebih rendah
(0,2%-1,5%) (Dorlan, 1999).
Di Provinsi Bengkulu tahun 2005
jumlah kematian ibu sebanyak 46 (0,09%) orang dari 50.216 ibu hamil, sedangkan
angka kematian ibu maternal di Provinsi Bengkulu tahun 2006 sebesar 126/100.000
kelahiran hidup (Dinkes, 2005). Sementara data yang diperoleh dari RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu tahun 2004 tercatat 56 kasus perdarahan antepartum dari angka
tersebut yang mengalami plasenta previa sebanyak 8 orang. Pada tahun 2005
tercatat 276 kasus perdarahan dimana 47 kasus (17,02%) adalah kasus perdarahan
antepartum dan angka tersebut yang mengalami plasenta previa sebanyak 28 orang
yang memerlukan tindakan operatif penanganannya dimana umur terendah 18 tahun,
sedangkan tertinggi umur 47 tahun (Medical Record, 2005).
Survey awal yang dilakukan pada
tanggal 25 Maret 2007 di ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dari bulan
Januari 2006 sampai Maret 2007 tercatat 68 kasus perdarahan antepartum, dari
angka tersebut yang mengalami plasenta previa 37 orang.
Berdasarkan data di atas dapat
dilihat peningkatan angka kejadian perdarahan antepartum masih cukup tinggi.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul :
Hubungan usia ibu hamil dengan haemoragik antepartum karena plasenta previa di
ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah apakah ada hubungan yang
signifikan antara usia ibu hamil dengan haemoragik antepartum karena plasenta
previa pada pasien di ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Untuk mempelajari hubungan usia ibu
hamil dengan haemoragik antepartum (HAP) karena plasenta previa pada pasien di
ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.3.2.
Tujuan Khusus
1.
Mengetahui gambaran tentang
usia ibu hamil yang potensial mengalami haemoragik antepartum pada pasien di
ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
2.
Mengetahui gambaran tentang
kejadian haemoragik antepartum karena plasenta previa pada pasien di ruang
kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
3.
Mengetahui hubungan usia ibu
hamil dengan haemoragik antepartum karena plasenta previa pada pasien di ruang
kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Manfaat Bagi Rumah Sakit
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi tenaga
kesehatan dalam penanganan kasus haemoragik antepartum karena plasenta previa.
1.4.2.
Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tambahan dan menjadi referensi
bagi mahasiswa STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu.
1.4.3.
Manfaat Bagi Peneliti Lain
Dapat menambah informasi
bagi peneliti lain untuk lebih mengembangkan penelitian di masa yang akan
datang dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar atau masukan
untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan Antepartum
2.1.1.
Definisi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah
perdarahan pervaginam pada kehamilan 28 minggu lebih (Manuaba, 1998).
Perdarahan antepartum adalah biasanya dibatasi pada perdarahan jalan lahir setelah
kehamilan 22 minggu (Sarwono, 1999).
Menurut Sastrowinata, (1984),
perdarahan antepartum adalah perdarahan pada triwulan terakhir dari kehamilan.
Menurut Hanifah Wiknjosastro, (1990),
menjelaskan perdarahan antepartum adalah perdarahan pada kehamilan tua, batas
kehamilan tua adalah di atas 22 minggu.
Abdul Bari Saefudin (2001)
menjelaskan bahwa perdarahan antepartum pada umumnya disebabkan oleh kelainan
implantasi plasenta (letak rendah dan previa, kelainan insersi tali pusat atau
pembuluh darah pada selaput amnion.
2.1.2.
Etiologi
Menurut Sarwono (2001), penyebab
utama perdarahan antepartum adalah :
1.
Kelainan implementasi plasenta
(letak rendah dan previa).
2.
Kelainan insersi tali pusat
atau pembuluh darah amnion (vasa pervia).
3.
Separasi plasenta sebelum bayi
lahir.
Penyebab non obstetrik perdarahan antepartum adalah :
1.
Luka-luka pada jalan lahir.
2.
Karena terjatuh akibat koitus
atau varises yang pecah oleh kelainan serviks seperti : karsinoma, polip
serviks uteri, varises vulva dan trauma.
2.1.3.
Klasifikasi
Perdarahan antepartum terjadi
kira-kira 3% dari seluruh persalinan. Menurut Sarwono (1990), terjadi
perdarahan dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Plasenta previa adalah yang
letaknya abnormal yaitu segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian
atau seluruh pembukaan jalan lahir.
2.
Solusio plasenta adalah
terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri sebelum bayi lahir.
3.
Perdarahan antepartum yang
belum jelas sumbernya.
Sedangkan menurut Manuaba (1998) terjadinya perdarahan
karena :
1.
Plasenta previa
2.
Solusio plasenta
3.
Perdarahan pada plasenta letak
rendah
4.
Pecahnya sinus marginalis.
5.
Pecahnya vasa previa.
Menurut Wiknjosastro (1990),
perdarahan antepartum dikelompokkan sebagai berikut :
1.
Perdarahan yang ada hubungannya
dengan kehamilan
a.
Plasenta previa
b.
Solusio plasenta
c.
Perdarahan pada plasenta letak
rendah.
d.
Pecahnya sinus marginalis
e.
Pecahnya vasa previa.
2.
Perdarahan yang tidak ada
hubungan dengan kehamilan
a.
Pecahnya varises vagina.
b.
Perdarahan polipus servikalis
c.
Perdarahan perlukan serviks
d.
Perdarahan keganasan serviks.
2.1.4.
Gambaran Klinis Pendarahan Antepartum
Pada umumnya penderita mengalami
perdarahan pada triwulan ketiga atau setelah kehamilan 28 minggu. Pendarahan
antepartum tanpa rasa nyeri merupakan tanda khas plasenta previa, apalagi kalau
disertai dengan tanda-tanda lain, seperti bagian terbawah janin sebelum masuk
ke pintu atas panggul. Kelainan letak janin umur ibu lebih dari 35 tahun dan
menderita preeklampsia. Karena tanda pertamanya adalah perdarahan, pada umumnya
penderita akan segera datang untuk mendapatkan pertolongan karena disangka
sebagai tanda permulaan persalinan biasanya baru setelah perdarahan berlangsung
banyak, mereka datang untuk mendapatkan pertolongan.
2.1.5.
Penanganan Secara Umum Perdarahan Antepartum
Penanganan perdarahan antepartum adalah
sebagai berikut :
1.
Siapkan fasilitas tindakan
gawat darurat karena perdarahan antepartum merupakan komplikasi yang dapat
membahayakan keselamatan ibu. Tindakan yang dilakukan seperti observasi tanda
vital, mengatur posisi dengan meninggikan daerah tungkai, pemberian O2,
pemberian cairan isotonic (NaCl 0,9%).
2.
Setiap tingkat fasilitas
pelayanan harus dapat mengenali, melakukan stabilisasi, menunjuk dan
menatalaksanakan komplikasi pada ibu dan anak sesuai dengan jenjang kemampuan
yang ada.
3.
Setiap kasus perdarahan
antepartum memerlukan rawat inap dan penatalaksanaan perdarahan antepartum.
4.
Lakukan retorasi cairan dan
darah sesuai dengan keperluan untuk memenuhi defisit dan tingkat gawat yang
terjadi.
5.
Tegakkan diagnosis kerja secara
cepat dan akurat karena hal ini sangat mempengaruhi hasil penatalaksanaan
perdarahan antepartum.
6.
Tindakan konservatif dilakukan
selama kondisi masih memungkinkan dan mengacu pada upaya untuk memperbesar
kemungkinan hidup bagi yang dikandung.
7.
Pada kondisi yang sangat gawat,
keselamatan ibu merupakan pertimbangan utama.
2.2. Plasenta Previa
2.2.1.
Definisi Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi pada segmen bawah rahim meliputi bagian serviks yang terlibat
pendataran dan pembukaan, dengan demikian bisa menutupi seluruh atau sebagian
dari ostium uteri internum dan oleh karenanya bagian terdepan janin sering kali
terkendali memasuki pintu atas panggul, Wira (2003). Plasenta adalah keadaan
dimana implantasi plasenta yang terletak pada atau di dekat serviks, Sarwono
(2002). Plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah
rahim sehingga menutupi sebagian klasifikasi atau seluruh pembukaan jalan
lahir.
2.2.2.
Klasifikasi Plasenta Previa
1.
Plasenta previa totalis :
seluruh ostium iternum tertutup oleh plasenta.
2.
Plasenta previa lateralis :
hanya sebagian dari ostium tertutup oleh plasenta.
3.
Plasenta previa marginalis :
hanya pada pinggir ostium yang terdapat pada jaringan plasenta.
Farrer (1999) klasifikasi plasenta previa terdiri dari 4
tingkatan, yaitu :
1.
Tingkat I : plasenta previa
letak rendah pinggir bawah plasenta berimplantasi segmen antara rahim hanya
tepinya saja yang berada pada segmen bawah rahim.
2.
Tingkat II : plasenta previa
marginalis, plasenta mencapai pinggir pembukaan.
3.
Tingkat III : plasenta previa parsialis,
plasenta menutupi seluruh tidak lagi menutupi ketika sudah ada pembukaan.
4.
Tingkat IV : plasenta previa
totalis, bagian terbesar plasenta menutupi seluruh pembukaan.
Plasenta adalah tempat janin dapat melakukan pertukaran
nutrisi melalui peredaran darah, plasenta normal mempunyai berat rata-rata 1/6
dan berat janin dengan diameter 15 sampai 20 cm, sedangkan tabel 1,5 sampai 3
cm (Manuaba, 1998).
2.2.3.
Faktor yang Dapat Meningkatkan Kejadian Plasenta Previa
1.
Usia Ibu Hamil
a.
Usia muda < 20 tahun lebih
tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara umur 20-35 tahun.
Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk kehamilan,
sehingga dapat merugikan kesehatan ibu dan perkembangan janin.
b.
Usia di atas 35 tahun karena
tumbuhnya endometrium yang belum sempat tumbuh karena adanya kemunduran fungsi
dan berkurangnya vaskularisasi pada daerah endometrium di fundus uteri akan
mengakibatkan plasenta harus tumbuh di bagian bawah segmen bawah rahim yang
mendekati atau menutupi seluruh ostium internum dengan terbentuknya segmen
bawah rahim umur kehamilan ± 20 minggu maka segmen bawah rahim melebar dan
serviks membuka sehingga terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim
mengakibatkan perdarahan.
2.
Paritas
Pada setiap kehamilan daerah corpus uteri bagian atas
rahim yang mempunyai dinding otot yang paling tebal, sehingga dalam keadaan
normal, plasenta berimplantasi pada daerah corpus uteri. Kehamilan pada
multipara mengakibatkan keadaan endometrium pada daerah fundus uteri sudah
mengalami penurunan fungsi dan berkurangnya vaskularisasi sehingga terjadi
degenerasi dan nekrotis pada bekas luka implantasi plasenta sewaktu kehamilan
sebelumnya, hal ini yang menyebabkan kehamilan selanjutnya plasenta akan
mencari tempat yang lebih subur untuk implantasi yaitu di daerah bawah segmen
bawah rahim. Sesuai pendapat Shoc (1992), bahwa menurunnya kemampuan dan fungsi
tubuh disebabkan kematian sebagian besar sel pada jaringan tubuh, sehingga
implantasi yang lain seperti pada daerah segmen bawah rahim dan menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
3.
Endometrium yang cacat
a.
Bekas persalinan berulang
dengan jarak pendek, berulang-ulang, bekas operasi, bekas kuratage atau
plasenta manual.
b.
Endometrium hipoplasia pada
kawin dan hamil muda.
c.
Korpus luteum beraksi lambat
karena endometrium. Kurang subur mengakibatkan plasenta tumbuh di segmen bawah
biasanya pada usia lebih 35 tahun.
d.
Adanya tumor : mioma uteri
(Mochtar, 1995).
4.
Jarak Kehamilan
Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari
2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam
keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan pertumbuhan janin kurang
baik, mengalami persalinan yang lama, atau perdarahan. Makin banyak anak dan
makin sering hamil, rahim ibu menjadi semakin lemah.
2.2.4.
Gambaran Klinis Plasenta Previa
Perdarahan pada plasenta terjadi
tanpa rasa sakit pada saat tidur atau sedang melakukan aktivitas. Mekanisme
perdarahan karena pembentukan segmen bawah rahim menjelang kehamilan aterm
sehingga plasenta terlepas dari implantasi dan menimbulkan perdarahan, bentuk
perdarahan dapat sedikit atau banyak menimbulkan anemia sampai syok. Sedangkan
untuk janin dapat menimbulkan asfikia sampai kematian janin dalam rahim.
Implantasi plasenta dipanggul atau menimbulkan kelainan letak janin dalam
rahim. Implantasi plasenta dipanggul atau menimbulkan kelainan letak janin
dalam rahim.
1.
Anamnesa plasenta previa
a.
Terjadi perdarahan pada
kehamilan sekitar 28 minggu.
b.
Sifat perdarahan
1)
Tanpa rasa sakit secara
tiba-tiba
2)
Tanpa sebab yang jelas
3)
Dapat berulang.
2.
Pada inspeksi dijumpai :
a.
Perdarahan pervaginam encer
sampai bergumpal
b.
Perdarahan yang banyak ibu
tampak anemis.
3.
Pemeriksaan fisik ibu
a.
Dijumpai keadaan bervariasi
dari keadaan normal sampai syok.
b.
Tekanan darah turun, nadi
pernafasan meningkat
c.
Tidak anemia.
d.
Pemeriksaan khusus pada
kebidanan
1)
Pemeriksaan palpasi abdomen
2)
Pemeriksaan denyut jantung
janin : bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian.
3)
Pemeriksaan dalam : pemeriksaan
dalam rahim dilakukan di atas meja operasi dan siap untuk segera mengambil
tindakan sectio secarea.
4)
Pemeriksaan penunjang :
Ultrasonograf, radiografi, dan radiosotopi.
2.2.5.
Penanganan Plasenta Previa
Penanganan plasenta previa dilakukan
dengan cara :
1.
Perbaikan kekurangan cairan
atau darah dengan memberikan infus dan cairan (NaCl 0,9%).
2.
Lakukan penilaian jumlah
perdarahan
a.
Jika perdarahan banyak dan
berlangsung terus persiapkan sectio secarea tanpa memperhitungkan usia
kehamilan atau prematuritas.
b.
Jika perdarahan sedikit dan
berhenti dan fetus hidup tapi premature, pertimbangkan terapi ekspektaif sampel
persalinan atau terjadi perdarahan.
c.
Syarat terapi ekspektatif
1)
Kehamilan preterm dengan
perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
2)
Belum inpartu.
3)
Keadaan umum ibu cukup baik.
4)
Janin masih hidup
3.
Rawat inap, tirah baring dan
berikan antibiotika.
4.
Pemeriksaan USG untuk
menentukan implantasi plasenta usia kehamilan, profil biofisik letak dan
persentase janin.
5.
Perbaiki anemia dengan
pemberian sulfas verosus atau fumarat peroral 60 mg selama 1 bulan.
6.
Pastikan tersedia sarana untuk
melakukan transfusi darah.
7.
Bila perdarahan berhenti dan
waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama pasien dapat dirawat jalan (kecuali)
rumah pasien di luar kota
atau diperlukan waktu lebih dari 2 jam untuk mencapai rumah sakit dengan pesan
segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
8.
Jika perdarahan berulang
pertimbangkan manfaat dan resiko ibu dan janin untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut dibandingkan dengan terminasi kehamilan. Mekanisme terjadinya
haemoragik antepartum karena plasenta previa pada usia ibu hamil di bawah 20
tahun dan di atas 35 tahun.
2.3. Usia Ibu Hamil
2.3.1.
Definisi Usia Ibu Hamil
Usia adalah lamanya hidup atau sejak
dilahirkan (Depdikbud, 1995). Usia adalah umur atau lama hidup sejak dilahirkan
(Lukman, 1996). Dari pengertian tersebut maka usia adalah lamanya hidup yang
sudah dilewati seseorang.
Ibu hamil adalah seorang wanita yang
sedang mengandung janin (Sarwono, 1999). Jadi berdasarkan definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa usia ibu hamil adalah lamanya hidup seorang ibu yang
sudah dilewati pada saat mengandung janin.
2.3.2.
Faktor Resiko Tinggi Kehamilan dan
Persalinan Menurut Usia Ibu Hamil
1.
Usia < 20 Tahun
Pada usia < 20 tahun secara fisik
lingkungan endometrium belum optimal untuk implantasi dan matang sehingga perkembangan
dan pertumbuhan janin belum optimal yang mengakibatkan implantasi plasenta juga
belum optimal sehingga terjadi perdarahan dalam kehamilan dan terjadi BBLR
(Spektor, 1993).
Pada usia < 20 tahun memiliki
resiko 3 kali lipat dibandingkan dengan kelompok usia reproduksi antara 20
sampai dengan 35 tahun. Resiko ini disebabkan karena pada usia < 20 tahun
organ reproduksi wanita belum mengalami pertumbuhan sempurna, khususnya yang
berkaitan dengan alat reproduksi. Resiko yang mungkin timbul pada persalinan
yang muda adalah keguguran, prematur, BBLR, dan komplikasi pada kehamilan
(Mochtar, 1998).
2.
Usia > 35 Tahun
Menurut Shoc (1992), pada usia >
35 tahun resiko kehamilan dan persalinan lebih tinggi dikarenakan alat
reproduksi mulai terjadi penuaan dan degenerasi, sehingga terjadi penurunan
fungsi yang dapat menyebabkan gangguan kehamilan dan persalinan. Hal ini timbul
karena kontraksi uterus tidak baik sehingga terjadi perdarahan.
Pada usia terlalu muda > 35 tahun
resiko tinggi dapat disebabkan karena pada usia tersebut telah terjadi
perubahan jaringan alat reproduksi uterus sudah melemah dan kurang subur,
sehingga dapat menyebabkan perdarahan antepartum sering terjadi (Manuaba,
1998).
2.4. Hubungan Usia Ibu Hamil
dengan Haemoragik Antepartum Karena Plasenta Previa
Kehamilan terjadi melalui proses
konsepsi, nidasi dan implantasi, dimana usia kurang dari 20 tahun endometrium
di fundus uteri belum sempurna atau belum siap menerima implantasi,
mengakibatkan implantasi telur yang rendah dan implantasi plasenta yang rendah
pula sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Sedangkan pada
usia lebih dari 35 tahun, plasenta previa terjadi karena keadaan endometrium di
fundus uteri yang kurang baik atau kurang subur. Mengakibatkan plasenta harus
tumbuh di bagian endometrium yang subur atau di bagian bawah segmen bawah rahim
yang dapat mendekati/menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Dengan
keadaan rahim yang semakin lama semakin besar menyebabkan istmus uteri tertarik
pada dinding rahim, hal ini mengakibatkan bagian plasenta di atas akan terlepas
dari dasarnya yang menimbulkan perdarahan pada kehamilan (Sulaeman
Sastrawinata, 1984).
Faktor predisposisi terjadinya
haemoragik antepartum karena plasenta previa salah satunya adalah usia ibu
hamil, hal ini mungkin terjadi karena vaskularisasi yang berkurang atau
perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau atau keadaan
endometrium yang kurang baik (Hanifah Wiknjosastro, 1990).
2.5. Kerangka Konsep
Usia ibu hamil yang di bawah 20 tahun
dan yang di atas 35 tahun mempunyai hubungan terhadap kesehatan kehamilan serta
lebih besar kemungkinan untuk terjadi HAP karena plasenta previa, sehingga usia
ibu hamil mempunyai hubungan (HAP) karena plasenta previa.
Variabel
Independent Variabel
Dependent
2.6. Definisi Operasional
No
|
Variabel Independent
|
Definisi Operasional
|
Cara Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Usia ibu hamil
|
Lamanya hidup ibu hamil atau sejak ia dilahirkan
sampai ulang tahun terakhir
|
Pedoman dokumentasi
|
< 20 tahun atau > 35 tahun = 1
20-35 tahun = 2
|
Nominal
|
2
|
Haemoragik antepartum
|
Perdarahan saat kehamilan pada trimester ketiga
sebanyak 50-100 cc atau lebih yang disebabkan oleh plasenta previa, dimana
plasenta menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir
|
Pedoman dokumentasi
|
Plasenta previa = 1
Perdarahan lain = 2
|
Nominal
|
2.7. Hipotesis
Ho : Tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara usia ibu hamil dengan haemoragik
antepartum karena plasenta previa di ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.
Ha : Terdapat
hubungan yang signifikan antara usia ibu hamil dengan haemoragik antepartum
karena plasenta previa di ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dari bulan Maret sampai dengan Juli
2007.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil dengan haemoragik antepartum
sebanyak 68 orang di ruang kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu pada bulan Maret
sampai dengan Juli 2007.
Sampel
Sampel dalam
penelitian ini adalah sampel total artinya seluruh ibu yang mengalami
haemoragik antepartum sebanyak 68 orang di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu pada
bulan Maret sampai dengan Juli 2007.
Desain Penelitian
Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini cross sectional yang mana variabel dependent dan independent
diambil secara bersamaan.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
data sekunder yang diperoleh peneliti dari catatan atau dokumentasi di ruang
kebidanan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Teknik Pengolahan Data
1.
Editing : untuk melihat apakah isi
jawaban atau data yang akan diolah tersebut sudah tersedia lengkap dan apakah
sudah relevan dengan tujuan penelitian.
2.
Coding : kode pada setiap jawaban.
3.
Tabulating : mentabulasi data
berdasarkan kelompok data yang telah ditentukan ke dalam master tabel.
4.
Entry : memasukkan data yang sudah
dilakukan editing dan coding tersebut ke dalam komputer dengan
menggunakan perangkat lunak komputer.
5.
Clearing : untuk memastikan apakah sudah
siap dianalisis.
Teknik Analisa Data
Univariat
Analisa
yang dilakukan adalah analisis univariat dengan maksud untuk menggambarkan
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti baik variabel
independent maupun variabel dependent dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
P = x 100%
P = Persentase yang dicari
F = Jumlah frekuensi dari
masing-masing variabel.
n = Jumlah sampel (Arikunto,
1998)
Bivariat
Analisis
bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel
independent dan variabel dependent dengan menggunakan uji statistik chi-square (X2). Untuk melihat keeratan hubungan digunakan uji contingency coefficient untuk mengetahui
kekuatan antara dua variabel terjadi secara signifikan dan ukuran OR, dimana OR
digunakan untuk mengetahui berapa resiko kejadian dari variabel tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. S, 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Chalik, TMA, 2002. Danforth Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.
Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu, 2005. Profil Kesehatan Propinsi Bengkulu. Bengkulu
: Dinkes Propinsi Bengkulu.
Dorlan, 1999. Kamus
Kedokteran. Jakarta
: EGC.
Farrer, Hellen, 1999. Perawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Luz Heller, 1981. Obstetri Gawat Darurat. Jakarta
: EGC.
Lukman, 1996. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke 2. Jakarta
: Balai Pustaka.
Manuaba I.B.G, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta
: EGC.
Medical Record. 2005. Data Kasus Plasenta Previa.
Mochtar Rustam, 1995. Sinopsis Obstetri. Jakarta
: EGC.
_____________, 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta
: EGC.
Notoatmodjo. S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Syaifuddin Abdul Bari, 2001. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Nasional dan Neonatal. Jakarta : JNPKKR-POGI.
Sarwono, 1990. Ilmu
Kebidanan. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
_______, 1999. Ilmu
Kebidanan. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
_______, 2001. Ilmu
Kebidanan. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
_______, 2002.
Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sastrawinata, 1984. Obstetri Patologi. Bandung
: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Shoc, 1992. Fisiologi
Angin. B. C. Dr. Fi. Lilenula.
Spector, 1993. Pengantar
Patologi Umum. Edisi II. Yogyakarta : Gajah
Mada Universitas Press.
Wiknjosastro Hanifah, 1990. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP.
Wira K, 2003. Majalah
Obstetri dan Ginekologi. Jakarta.
Yoseph, 2003. Cermin
Dunia Kedokteran. Jakarta.
No comments:
Post a Comment